PART. 4 TENTANG SELVI

849 Kata
Rahma menerima telpon dari Rendra. "Apa kamu memikirkan tawarannya? Apa kamu tergoda ingin menjadi artis terkenal?" Tanpa basa basi, Rendra langsung menyerang Rahma dengan pertanyaan itu. Entah, apa yang dikatakan Selvi pada Rendra, sehingga Rendra semarah itu. "Aku menolaknya," jawab Rahma lirih, berharap amarah Rendra cepat surut. Terdengar jelas kalau Rendra menghela kuat napasnya. "Itu pilihan bagus, Rahma. Mungkin saja Selvi bisa benar-benar membuatmu menjadi artis terkenal. Tapi, ada hal yang harus kamu bayar dengan harga yang sangat mahal, demi sebuah ketenaran. Kamu pasti tahu, banyak artis yang terkenal karena sensasi yang mereka buat, untuk menaikan nama mereka, sebagai cara instan untuk menjadi terkenal. Aku tidak ingin kamu terjerumus ke dalam hal seperti itu, Rahma." "Aku tahu, Pak. Aku sudah katakan, aku tidak berminat, tapi Bu Selvi terus saja memaksa, dengan memberi tempo dua minggu untuk aku berpikir." "Tidak perlu dipikirkan, abaikan saja. Kamu mengerti!" "Iya, Pak." "Aku mencintaimu, Rahma. Sangat mencintaimu. Aku tidak ingin kamu terperosok, dalam jurang yang kamu tidak tahu, apa yang menunggumu di dasarnya." "Aku tahu, Pak." "Baiklah, aku harus secepatnya menyelesaikan pekerjaanku. Agar aku bisa segera pulang. Aku merindukanmu. Jauh darimu, benar-benar membuatku tersiksa rindu." "Ehmm, Bapak." Wajah Rahma merona. "Sudah ya, i love you." "Hati-hati di sana, Pak. Jangan lupa, makan yang teratur." "Ya, Rahma." Pembicaraan mereka berakhir. Rahma meletakan ponselnya di atas meja. Lalu ia duduk termenung. Rasa penasaran atas banyak hal semakin menggila di dalam benaknya. Rahma kembali mengambil ponselnya. Ia ingin mencari tahu, sepak terjang artis dari SF management milik Selvi. Lingga, dan Rendra mengatakan, artis di management Selvi, adalah artis pencari sensasi, tanpa prestasi. Artis penyuka settingan, demi sebuah ketenaran. Meski ketenaran itu berkonotasi negatif, mereka tak peduli, asal nama mereka bisa jadi bahasan di media gosip. Dan, nama mereka bisa dikenal orang banyak. Lalu mereka bisa stripping di acara-acara gosip untuk klarifikasi. Rahma menarik napasnya, setelah mengetahui nama-nama artis yang tergabung dalam SF management. Apa yang dikatakan Lingga, dan Rendra memanglah benar adanya. Artis-artis yang penuh sensasi, yang namanya menghiasi kolom gosip setiap hari. Yang menjadikan aibnya sendiri sebagai ladang penghasilannya. Rahma tidak tahu, kenapa tiba-tiba Selvi menawarinya pekerjaan seperti itu. Apakah karena Selvi merasa dirinya benar-benar berpotensi menjadi terkenal, ataukah ada maksud lain di balik semua itu. Rahma jadi teringat dengan kejadian di parkiran rumah makan, saat ia melihat Selvi sedang berciuman di dalam mobil. 'Apakah seperti itu kehidupannya? Apakah Pak Rendra tahu tentang kelakuan istrinya. Hhhh, kenapa tiba-tiba ada rasa kasihan di hatiku untuk Pak Rendra. Oohh, ayolah Rahma, jangan goyah. Kamu sudah di sini, saat balas dendam itu hanya tinggal menunggu waktu.' *** Rendra kembali dari luar negeri. Begitu tiba di bandara, dan dijemput oleh supirnya, ia langsung minta diantar ke rumah Rahma. Ia membawa oleh-oleh untuk Rahma, semuanya barang branded. Dari sepatu, pakaian, dan tas. Rahma yang tidak diberitahu, kalau Rendra pulang malam itu, sangat terkejut melihat kedatangan Rendra. "Kenapa bengong, tidak merindukan aku?" Rendra mengembangkan kedua tangannya, siap menerima Rahma ke dalam dekapannya. Rahma mendekat, dilingkarkan tangan di tubuh Rendra, disandarkan kepalanya di d**a Rendra. Rendra mendekap Rahma dengan erat, dikecup puncak kepala Rahma dengan mesra. "Maaf, Tuan, barang Tuan ingin diturunkan dari mobil, atau bagaimana?" "Turunkan saja, bawa masuk ke dalam kamar Rahma. Setelah itu kamu boleh pulang, Yan, besok pagi jemput aku di sini." "Baik, Tuan." "Bik, tolong tunjukan kamar Rahma pada Yayan, ya." "Baik, Tuan." Rahma menjauhkan tubuhnya dari Rendra. "Sudah makan?" "Belum, aku lapar sekali." "Lapar sekali? Memangnya berapa hari tidak makan?" "Dari aku berangkat, sampai sekarang aku belum makan." Rendra menatap lekat wajah Rahma, wajah yang sangat ia rindukan. "Haah, yang benar, jangan becanda!" Rahma mencubit perut Rendra. "Benar, aku tidak bohong, Rahma." "Maaf, Tuan, saya permisi pulang," pamit Yayan. "Ya, Yan, hati-hati di jalan. Oh ya, tunggu sebentar, aku punya sesuatu untuk putrimu!" Rendra masuk ke dalam kamar Rahma, diikuti oleh Rahma. Rendra membuka kopernya, lalu mengambil sesuatu yang terbungkus paper bag dari kopernya. Dibawanya barang itu ke luar, diberikan pada Yayan, supirnya. "Untuk putrimu, siapa namanya, aku lupa?" "Yanti, Tuan." "Ooh iya, semoga dia suka ya." "Terima kasih banyak, Tuan." Mata Yayan tampak berkaca-kaca, terharu akan perhatian Rendra pada putri kecilnya. "Saya permisi pulang dulu, Tuan." "Silahkan, Yan." "Permisi, Bu Rahma." "Iya." Rahma mengangguk. "Bapak mau makan dulu, atau mandi dulu?" tanya Rahma saat mereka berjalan beriringan kembali ke dalam kamar Rahma. "Makan dulu," jawab Rendra mantap. "Kalau begitu, aku minta bibik siapkan makanannya dulu. Sebaiknya, Bapak ... hmmpp." Rahma terkejut, dengan ciuman Rendra yang tiba-tiba. "Aku tidak makan dari berangkat, sampai sekarang. Aku menahan laparku, demi setia padamu. Ooh, Rahma. Aku harus jujur, kalau aku takluk pada cintaku padamu. Bahkan, wanita-wanita di luar sana, yang mencoba menggodaku, tak mampu membuat aku berselera untuk memuaskan rasa laparku." "Bapak, kalau lapar makan, apa hubungannya dengan setia dari godaan wanita?" Rahma menatap Rendra manja, ia hanya pura-pura tidak tahu akan maksud Rendra. "Rahma, kamu ini pura-pura tidak paham maksudku!" "Jangan marah ...." Rahma menarik diri dari tubuh Rendra. Ia melepas pakaiannya dengan gerakan slow motion. "Rahma ...." Rendra mengerang pelan, reaksi tubuhnya sungguh luar biasa. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN