Pagi harinya, Rahma memulai aktifitas yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia memasak sarapan untuk mereka berdua. Dan, Rendra masih saja sempat untuk mengajaknya bercinta di dapur. Sehingga dapur menjadi ajang percintaan panas mereka.
Setelah sarapan, mereka berdua bersiap untuk pergi ke kantor.
Meski Rendra tinggal di rumah Rahma, tapi mereka tidak berangkat ke kantor bersama-sama. Rendra dijemput oleh supirnya, sedang Rahma tetap berangkat dengan mobilnya sendiri seperti biasa.
Rendra lebih dulu tiba di kantor, Rahma datang belakangan. Mereka bersikap biasa saja, seakan tidak ada sesuatu di antara mereka, agar tidak ada yang tahu, tentang hubungan gelap mereka.
Rahma menemani Rendra meeting di sebuah rumah makan. Mereka berangkat dengan mobil Rahma. Selesai meeting, mereka menuju tempat parkir. Tapi tiba-tiba Rendra pamit ingin ke kamar kecil.
Rahma sendirian menuju tempat parkir. Tanpa sengaja ia menatap sebuah mobil yang parkir tidak jauh darinya. Tubuhnya mematung, sungguh ia tidak menduga akan melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Cepat Rahma bersembunyi di dekat mobilnya. Dua orang yang ia lihat berbuat tidak senonoh di dalam mobil itu, ke luar dari mobil mereka. Lalu bergandengan tangan menuju pintu masuk rumah makan.
Rahma memperhatikan dari kejauhan, ia yakin, Rendra akan bertemu dengan kedua orang itu. Rahma menunggu dengan hati berdebar. Apakah Rendra akan terlibat pertengkaran nantinya.
Rendra memang bertemu dengan mereka, dan terlibat pembicaraan singkat, namun tak terjadi pertengkaran seperti yang Rahma duga. Mereka, tampak terlihat santai saja.
Rahma mengerutkan keningnya, merasa heran dengan sikap mereka yang terlihat biasa saja.
Rendra mendekati Rahma.
"Ayo pulang." Rendra membuka pintu mobil untuk Rahma. Rahma menatap wajah Rendra.
"Ada apa?"
"Ibu tidak marah, Bapak tidak pulang semalam?"
"Untuk apa marah. Yang membuat kami terikat, hanya sepasang buku nikah, Rahma. Tidak ada yang lainnya. Tidak ada anak, tidak ada juga cinta. Ayo, masuk ke dalam mobil."
Rahma menatap wajah Rendra. Ia merasa kembali melakukan sebuah kesalahan fatal dengan rencananya. Bagaimana ia bisa merusak sesuatu yang tidak pernah dibuat. Bagaimana ia bisa menghancurkan rumah tangga Rendra, yang ternyata tidak pernah dibangun.
Sekarang ia tahu, Rendra, dan Selvi sama-sama pelakon hebat. Tampak bagai suami istri yang saling mencintai, tapi ternyata itu hanya sandiwara belaka.
"Apa lagi, ayo kita pulang."
"Iya." Rahma masuk ke dalam mobil. Rendra memutari bagian depan mobil, lalu duduk di belakang stir.
"Hey, ada apa? Jangan melamun, Rahma!" Rendra mencolek dagu Rahma. Rahma menoleh, dan berusaha tersenyum.
"Ehm, maaf, Pak. Masa sih, Bapak, dan Bu Selvi menikah beberapa tahun, tinggal satu atap, tidur satu ranjang, perasaan cinta itu tidak tumbuh di antara Bapak, dan Ibu?"
Rendra tertawa lepas mendengar pertanyaan Rahma. Dinyalakannya mesin mobil.
Ditarik napas dalam, lalu ia hembuskan dengan perlahan. Rahma menatap Rendra, menunggu Rendra menjawab pertanyaannya.
"Kami memang tinggal satu rumah, Rahma. Tapi tidak pernah tidur satu kamar, apa lagi satu ranjang."
"Apa!?" Rahma menatap Rendra yang tengah menyetir, dengan rasa tidak percaya. Rahma berpikir cepat, ia curiga, kalau hal ini ada hubungannya dengan apa yang baru saja ia lihat.
"Hhh, kamu pasti tidak percayakan, tapi itulah kenyataannya." Rendra mengangkat kedua bahunya.
"Itu tidak mungkin, Pak. Bu Selvi sangat cantik, seksi, tidak mungkin Bapak tidak tergoda."
"Hhh, maafkan aku, tapi aku tidak bisa menjelaskannya padamu soal itu." Rendra menatap mata Rahma.
"Apa, ada seseorang yang dicintai Bu Selvi juga, Pak?"
Rendra mengangkat bahunya.
"Mungkin," hanya itu jawabannya.
Rahma menatap jalan di depannya.
"Ehh, ini jalan ke rumahku, bukan ke kantor, Pak!" Rahma baru menyadari kalau mereka tidak kembali ke kantor.
"Apa kamu tidak mendengar, kalau aku tadi mengatakan, ayo kita pulang!?" Rendra menoleh pada Rahma sesaat.
"Kantor bagaimana, Pak?"
"Biar Lingga yang mengurusnya. Hari ini aku tidak ada meeting lagikan?"
"Tidak ada, Pak."
"Nah, karena itu, aku ingin kita meeting di ranjang, berdua saja."
Rahma menatap Rendra dari samping, pria tampan bermata elang itu tersenyum ke arahnya. Lalu kembali fokus pada jalan di depannya.
Rahma menundukan kepala, ia merasa sudah terperosok semakin dalam, di lubang yang sudah ia gali sendiri. Perjuangan untuk membalaskan dendamnya, terasa semakin tak berarti. Terkikis oleh pesona, dan sikap manis Rendra padanya.
Rahma menarik napas, lalu ia hembuskan dengan perlahan. Rendra menolehkan kepala, karena mendengar hembusan napas Rahma.
"Ada apa, Rahma? Ada yang kamu pikirkan?"
"Ehmm tidak, Pak. Aku hanya merasa, apa yang terjadi di antara kita, bagai mimpi belaka."
Rendra memarkir mobilnya di halaman rumah yang memang tidak berpagar. Tanpa Rahma duga, Rendra menarik lengannya, lalu mencium bibirnya dengan lembut.
"Apa ini terasa bagai mimpi?" Rendra menyentuh bibir Rahma dengan jari telunjuknya. Kepala Rahma menggeleng, ia berusaha tersenyum, untuk menutupi getaran di dalam hatinya.
***
Rendra menginap satu minggu di rumah Rahma. Mereka benar-benar bebas untuk bercinta di mana saja. Di dapur, di ruang tengah, juga di ruang makan.
Keduanya sangat menikmati momen percintaan mereka. Bagi Rendra, Rahma selalu bisa membuat ia terpuaskan. Karena ia bebas ingin bercinta seperti apa dengan Rahma. Tidak seperti saat ia meniduri para wanita di luar sana, ia harus berhati-hati, agar jati dirinya tidak terungkap.
Malam ini, malam terakhir Rendra menginap di rumah Rahma. Mereka duduk di sofa ruang tengah, Rahma duduk di atas pangkuan Rendra.
Mereka baru saja melewati percintaan panjang yang luar biasa. Karena Rendra akan pergi untuk urusan bisnis ke luar negeri.
"Kamu ingin menitip apa, Rahma?"
"Tidak ada." Kepala Rahma menggeleng.
"Tidak juga ingin memintaku untuk setia, agar aku tidak main wanita di sana?"
Rahma tersenyum menerima tatapan, dan pertanyaan heran dari Rendra.
"Aku tidak ingin meminta Bapak agar setia. Bapak jelas tidak akan bisa memberikan itu. Saat ini saja, Bapak sedang berselingkuh denganku."
Rendra menarik napas dalam.
"Apakah tetap bisa dikatakan sebagai perselingkuhan, kalau aku, dan Selvi saja sama-sama tidak ada rasa?"
"Tidak ada rasa yang mengikat, tapi ada janji yang sudah terucap, dan tentunya sepasang buku nikah yang melegalkan hubungan Bapak, dan Ibu."
"Hhh, buat aku, seseorang bisa dikatakan berselingkuh, kalau dia menghianati cinta, pada pasangannya. Kalau tidak cinta, apanya yang dihianati?"
"Jangan marah, Pak. Aku hanya tidak ingin membebani Bapak dengan janji. Aku tidak perlu janji apapun dari Bapak. Biarkan semuanya mengalir saja." Rahma mengusap d**a Rendra, untuk meredakan emosi yang sempat terpicu sesaat.
"Hhhh, Rahma ...." Rendra mendekap Rahma erat, dikecup pipi Rahma lembut.
"Aku mencintaimu, kamu minta atau tidak, aku akan berjanji untuk setia padamu."
"Terima kasih ...." mata Rahma berkaca-kaca, menerima janji dari Rendra. Janji yang bisa Rahma rasakan tulus dari lubuk hati Rendra.
"Aku akan merindukanmu." Rendra menempelkan hidungnya di pipi Rahma.
"Merindukan apanya, Pak?" Rahma mencoba untuk bercanda.
"Jiwa, dan ragamu, dari ujung kaki, sampai puncak kepalamu." Rendra memagut bibir Rahma, sebelum Rahma sempat bersuara.
Rendra tidak ingin, waktu yang tersisa di antara mereka saat ini akan habis dengan sia-sia.
***
Rendra sudah berangkat ke luar negeri, Rahma tetap masuk kantor seperti biasanya.
Siang ini, Rahma baru kembali dari makan siang.
Ia terkejut melihat kedatangan Selvi.
'Apa Ibu tidak tahu, kalau Bapak ke luar negri?'
"Selamat siang, Bu," sapa Rahma dengan sopan.
"Selamat siang," Selvi berhenti di hadapan Rahma.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?"
"Hmmm, sudah berapa lama kamu bekerja di sini?"
Deg
Jantung Rahma terasa berhenti berdetak, berbagai pikiran melintas dikepalanya.
"Baru empat bulan, Bu."
"Berapa Rendra menggajimu?"
Hati Rahma semakin tidak tenang. Tapi dijawabnya juga, dengan menyebutkan sejumlah nominal yang ia terima, sebagai gajinya dari Rendra.
"Hmmm, bersedia bekerja di tempatku? Aku rasa, kamu pantas menjadi seorang artis, Rahma, betulkan itu namamu?"
"Iya, Bu."
"Kamu punya bentuk tubuh yang bagus. Kulitmu bersih, wajahmu ...." Selvi mengamati wajah Rahma dengan sangat intens. Entah kenapa, Rahma malah bergidik.
"Wajahmu, sangat memesona. Kamu tidak terlalu cantik, tapi kamu memiliki daya pikat. Matamu indah, bibirmu seksi, kamu punya modal kuat untuk menjadi seorang selebriti. Kita hanya perlu memolesmu sedikit, memunculkan namamu lewat sensasi, maka namamu akan segera meroket."
"Maaf, Bu. Tapi, saya tidak berminat untuk menjadi artis." Rahma menolak dengan halus.
"Ada, atau tidak ada job untukmu, aku akan menggajimu, dua kali lipat dari Rendra. Kamu hanya perlu mengikuti, kemanapun aku pergi, saat kamu tidak ada kesibukan. Tapi, aku pastikan, aku akan bisa membuatmu terkenal Rahma."
"Sekali lagi, maaf, Bu. Tapi, saya sungguh tidak berminat untuk menjadi orang terkenal. Apa lagi, terkenal karena sensasi. Sekali lagi, saya mohon maaf, Bu."
"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, Rahma, pikirkan saja dulu. Aku beri kamu waktu dua minggu, untuk berpikir. Setelah itu, berikan jawabanmu padaku."
"Maaf, Bu. Saya tidak perlu waktu untuk berpikir, jawabannya tetap tidak." Rahma tetap pada pendiriannya.
"Selvi, kok di sini?" Lingga, tangan kanan Rendra di perusahaan, tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.
"Hay, Ga." Mereka cipika cipiki.
"Ada urusan sedikit dengan, ehmm Rahma," jawab Selvi.
"Urusan apa nih?" Lingga menatap Rahma yang hanya diam saja.
"Aku menawari dia untuk masuk manajemenku, kamu lihat, dia ini punya modal kuat untuk menjadi artis. Cantik, seksi, aura bintangnya terlihat jelas. Kamu tahukan, aku tidak pernah salah dalam menilai seseorang."
"Ya, ya, ya, aku percaya. Tapi, apa Rahma bersedia, apa Rendra setuju. Rahma ini sudah dikontrak selama tiga tahun oleh perusahaan." Lingga menjelaskan.
"Kontrak? Jangan bercanda Lingga!"
"Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung pada Rendra. Karena Rendra yang memintaku untuk membuat surat kontraknya."
"Apa maksud Rendra, dengan surat kontrak itu?"
"Dia malas terlalu sering ganti sekretaris, Selvi. Kamu tahukan, suamimu itu orang yang cukup galak."
"Aku akan bicara dengan Rendra nanti. Rahma, kamu pikirkan dulu tawaranku itu, bayangkan kalau kamu menjadi terkenal. Banyak wanita yang harus bersusah payah mencari peluang untuk terkenal, sedang kamu. Aku datang untuk menawarimu. Okay Lingga, aku pergi dulu ya." Selvi meraih bahu Lingga, mereka cipika cipiki, sebelum Selvi melangkah pergi.
Lingga menatap Rahma.
"Apa kamu tertarik dengan tawaran Selvi tadi, Rahma?"
"Ehmm, tidak, Pak." kepala Rahma menggeleng.
"Sebaiknya memang tidak kamu terima. Satu hal yang aku tidak suka dari Selvi. Dia, dan managemennya, menghalalkan segala cara, demi kepopuleran artisnya. Nyaris tanpa prestasi, hanya bertabur sensasi."
"Iya, Pak."
"Aku kembali ke ruanganku dulu, Rahma. Ingat pesanku, sekuat apapun Selvi merayumu. Sebesar apapun uang yang dia tawarkan padamu, sebaiknya jangan kamu terima tawarannya. Resikonya besar, kalau tidak kuat mental, bisa stress kamu nanti."
"Baik, Pak. Terima kasih atas perhatiannya."
Lingga, pria berusia empat puluh tahun itu pergi meninggalkan Rahma. Banyak hal kini yang menjadi pikiran Rahma. Pikiran yang sungguh sangat mengganggunya.
BERSAMBUNG