Rendra terbangun, Rahma tidak ada lagi di sampingnya. Semalam, mereka terus bercinta, memuaskan rasa lapar Rendra, yang tak sedikitpun menyentuh wanita saat berada di luar negeri.
"Rahma!" Rendra turun dari atas ranjang, pintu kamar terbuka. Rahma masuk dengan nampan di atas tangannya.
"Sudah bangun, mandi dulu, setelah itu baru kita sarapan. Bapak ada meeting rutin hari ini dengan jajaran direksi." Rahma mengingatkan.
Rendra mengusap wajah dengan kedua tangan. Dihembuskan napasnya.
"Ayo mandi, semangat, semangat, semangat. Aku tidak mau, kalau gara-gara aku, Bapak jadi pemalas. Ayo, Pak, jadikan aku motivasimu untuk semangat bekerja. Ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan Bapak, Bapak harus semangat!" Rahma menatap Rendra yang duduk di tepi ranjang, dengan tanpa mengenakan apa-apa.
Milik Rendra mengacung ke arahnya, Rahma menelan air liur, tapi ia harus menahan keimginannya.
"Kalau Bapak seperti ini, lebih baik aku pergi saja dari hidup Bapak, agar Bapak ... hmmpp!"
Ancaman Rahma membuat Rendra marah, ditarik lengan Rahma, Rahma jatuh ke atas ranjang, lalu dipagutnya dengan kasar bibir Rahma.
Disingkap rok Rahma, ditarik putus g-string yang dipakai Rahma, lalu ia benamkan miliknya.
"Jangan pernah mengatakan hal itu, Rahma, kemanapun kamu lari, aku akan terus mengejarmu! Karena kamu adalah napasku!"
Rendra merenggut kemeja Rahma, sehingga kancingnya lepas semua. Bra Rahma ia naikan, ujung d**a Rahma langsung menjadi sasarannya.
Rahma melenguh, tubuhnya terlonjak seiring tikaman Rendra yang menggila. Tapi, Rahma sangat menikmatinya, meski Rendra mencumbunya dengan rasa marah.
Tubuh Rendra yang mengkilat, ambruk di atas tubuh Rahma. Lalu ia berguling, dengan Rahma bersamanya.
"Maafkan aku, karena sudah kasar padamu. Aku terlalu takut kamu akan meninggalkan aku, Rahma." Rendra mengusap lembut kepala Rahma.
Kepala Rahma mengangguk.
"Mandi yuk, Pak." Rahma bangun dari berbaringnya di atas tubuh Rendra. Matanya lembut menatap wajah Rendra. Rendra bangkit, dengan Rahma masih menempel di tubuhnya.
Rendra melepaskan kemeja, dan bra Rahma. Lalu ia bawa Rahma turun dari atas ranjang. Ia melangkah ke kamar mandi, dengan Rahma berada dalam gendongannya.
***
Mereka sudah tiba di kantor, menjalani aktifitas seperti hari sebelumnya. Selvi datang, lalu mendekati Rahma.
"Bagaimana, Rahma, apa sudah kamu pikirkan?" Selvi menatap lekat wajah Rahma. Rahma merasa tidak nyaman dengan cara Selvi menatapnya.
"Mohon maaf, Bu. Saya tidak tertarik dengan tawaran Ibu."
"Hmmm, baiklah, kamu masih punya waktu lagi untuk memikirkannya. Hmmm, Rendra ada?"
"Ada, Bu."
"Aku ke dalam dulu." Selvi menuju ruangan Rendra. Ia menghilang di balik pintu.
Rahma menghela napas, ia tidak memahami kenapa Selvi begitu gigih membujuknya. Rahma bisa merasakan, ada maksud tertentu di balik rayuan Selvi. Tapi, ia berusaha mengusir pikiran buruknya itu.
Rahma terlonjak berdiri dari duduknya, saat mendengar suara pertengkaran dari dalam ruangan Rendra. Rahma mendekat ke pintu, ia mendengar namanya disebut.
Ternyata, pintu ruangan tidak tertutup dengan rapat. Sehingga suara Rendra, dan Selvi bisa terdengar ke luar.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu, Selvi. Jangan coba-coba menjebak Rahma untuk masuk ke dalam perangkapmu! Dia milikku, tidak akan aku ijinkan kamu menyentuhnya, meski seujung kuku!"
Rahma terkesiap, ia tidak menyangka, kalau Rendra akan mengatakan hal seperti itu pada Selvi.
"Kita lihat saja, Rendra. Apa dia jenis wanita yang tahan godaan akan uang, dan ketenaran. Hhhh, tidak ada yang menolak untuk menjadi terkenal, Rendra!"
"Terkenal dengan caramu, cara yang sangat hina! Kamu pikir aku tidak tahu, apa saja yang kalian kerjakan untuk mencari uang, dan demi mendapatkan kemewahan! Aku tahu, Selvi, aku tahu!"
"Terserah apa katamu, kita lihat saja nanti, Rahma akan memilih siapa?"
"Jangan coba-coba menjadikan Rahma mainanmu. Jangan coba-coba menyeret Rahma ke dalam lembah dosamu. Jika kamu melakukannya, akan aku buka semuanya, semuanya! Aku tidak peduli, jika aku hancur, kamu hancur, kita semua hancur, karena skandal-skandal terselubung, yang selama ini kita simpan rapat. Aku tidak main-main, Selvi!"
Suara Rendra terdengar begitu geram. Jelas sekali kalau ia berada di dalam puncak emosinya.
"Apa kamu sangat mencintainya, Rendra? Apa dia sangat berarti bagi hidupmu? Hehhh, aku meragukan itu, kita lihat saja, berapa lama kamu bisa bertahan dengan rasa cintamu. Aku akan sabar menunggu saat kamu merasa bosan, dan akhirnya meninggalkan Rahma. Bila saat itu tiba, aku akan dengan senang hati memungutnya."
"Itu tidak akan terjadi, Selvi!"
"Biar waktu yang akan membuktikan, aku pergi dulu."
Rahma segera kembali ke mejanya, sebelum Selvi ke luar dari ruangan Rendra.
"Rahma!"
Rahma bangkit dari duduknya, ditatap Selvi yang mendekatinya.
"Ya, Bu."
"Aku tunggu jawabanmu!" Hanya itu yang dikatakan Selvi, lalu ia berlalu dari hadapan Rahma. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam benak Rahma.
Ucapan Rendra terngiang di telinganya, ada rasa haru, ada rasa bangga, di dalam hatinya. Namun, juga ada rasa cemas, saat mendengar ucapan Selvi.
"Rahma!" Rendra muncul di ambang pintu ruangannya. Rahma bergegas mendekat.
"Ya, Pak."
"Masuk!"
Rahma melewati Rendra yang berdiri di ambang pintu. Rendra menutup, dan mengunci pintu. Mereka berdiri berhadapan, Rahma merasa sedikit gugup, ia menjilat bibirnya. Rendra meraih pinggangnya, lalu mengunci bibir Rahma dengan ciumannya.
Rendra membopong Rahma, ia duduk di sofa, dengan Rahma di atas pangkuannya.
"Apapun yang dijanjikan Selvi padamu, kamu tidak boleh percaya, Rahma. Itu hanya siasat, hanya jebakan yang akan membuat kamu tersesat."
"Ehmm, aku mengerti, Pak."
"Tidak ada ketenaran yang abadi, tidak ada juga ketenaran instan yang bertahan lama. Apa lagi jika itu didapatkan dari sensasi. Kamu mengertikan maksudku?"
Kepala Rahma mengangguk, meluncur dua bening dari matanya. Ia terharu dengan perhatian Rendra yang begitu besar padanya
"Hey, kenapa menangis?"
Rahma menyembunyikan wajahnya di atas bahu Rendra. Rendra mengusap lembut kepala Rahma.
"Aku mencintaimu, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu," Rendra meraih jemari Rahma, ia kecup dengan mesra. Kebimbangan kembali melanda perasaan Rahma.
BERSAMBUNG