Rahma menatap Rendra yang tertidur memeluknya. Kebimbangan di hatinya semakin merajalela. Ia datang ke Jakarta dengan misi balas dendam dalam benaknya. Tapi, hatinya mulai sedikit goyah, karena orang yang harusnya ia benci, justru membuatnya merasa disayangi, dicintai, dihargai, dan diperhatikan.
Rahma tidak bisa memungkiri, ia merasa nyaman berada di dekat Rendra. Rendra bagai menjadikan ia ratu di dalam hidupnya, meski statusnya hanyalah istri siri.
Rahma memejamkan mata, ia tidak bisa menghentikan misi balas dendamnya. Balas dendam harus terus terlaksana. Ia tidak ingin pulang dengan tangan hampa.
Dua sudut hatinya terus berperang, membuat perasaan Rahma sungguh tidak tenang. Satu sisi hatinya, menolak ia untuk meneruskan misinya, dan melupakan rasa dendam yang sudah bersemayam selama belasan tahun di dalam hatinya.
Satu sisinya yang lain, mengingatkannya, betapa berat perjuangannya sampai bisa pada titik ini, hanya untuk melakukan sebuah pembalasan, karena penderitaan panjang yang harus ia rasakan.
Rahma menarik dalam napas, ia bangun dari berbaring, ia merasa perlu secangkir kopi untuk menenangkan perasaannya. Rahma masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Lalu ia mengambil pakaian dari dalam lemari, ia kenakan, lalu ditatap Rendra yang masih tertidur lelap, barulah ia ke luar dari dalam kamar. Rahma menuju dapur, ia menyeduh kopi s**u untuk dirinya.
Rahma duduk di kursi dapur. Pembicaraan Rendra, dan Selvi terngiang kembali di telinganya. Sepasang suami istri itu memperebutkannya, seperti mereka tengah memperebutkan wanita yang mereka suka.
Rahma mengaduk perlahan kopinya, berbagai dugaan, dan pertanyaan berseliwiran di benaknya. Semuanya butuh kepastian, juga butuh jawaban.
Hubungan Selvi, dan Rendra sebenarnya sangat memuluskan niat balas dendamnya. Dendamnya pada Rendra, juga dendamnya pada orang tua Selvi. Jika Selvi jatuh, Rahma yakin, orang tua Selvi juga ikut jatuh.
Namun keraguan menghantuinya, saat mengetahui kalau ternyata, hubungan Rendra, dan Selvi yang tidak saling mencinta. Perjuangannya meraih Rendra ke dalam pelukannya, tidak berdampak apapun pada rumah tangga Rendra, dan Selvi. Karena rumah tangga mereka tidak pernah di bangun. Rumah tangga yang berhenti hanya sekedar di buku nikah saja.
"Melamun?" Rendra mengecup puncak kepala Rahma dengan tiba-tiba. Rahma terjengkit, tapi ia mampu menguasai dirinya.
Rahma mendongakan wajahnya, Rendra membungkuk, dan mengecup bibir Rahma sekilas.
"Ingin minum?" tawar Rahma.
"Ini saja berdua, ya." Rendra menarik cangkir kopi Rahma. Rahma tersenyum, ditatap Rendra yang menyeruput kopi miliknya.
"Kamu sedang memikirkan apa, Rahma?"
"Tidak ada, hanya sedang ingin minum kopi saja."
"Aku harap, kamu tidak coba-coba untuk mempertimbangkan tawaran Selvi. Lupakan hal itu! Kamu mengerti!?"
Kepala Rahma mengangguk.
"Bapak yang habiskan, atau saya yang habiskan?" Rahma menunjuk cangkir kopinya.
"Kamu saja," Rendra mendorong cangkir kopi ke hadapan Rahma.
Rahma mengangkat cangkir kopi, lalu meminum kopi tanpa ampas itu sampai tandas, tak bersisa.
"Aku cuci ini dulu, baru kita kembali ke kamar ya." Rahma bangkit, ia menuju tempat pencucian piring. Rendra berdiri di belakangnya, melingkarkan tangannya di perut Rahma, bibirnya mengecup tengkuk Rahma.
"Bapak nanti saja di kamar.... " Rahma meletakan cangkir di rak. Lalu diputar tubuhnya, mereka berhadapan. Rendra mengangkat Rahma, dibopong Rahma menuju kamar tidur. Andai tak ada bibik, dapur bisa dipastikan akan menjadi tempat mereka bercinta.
***
Rendra sudah jarang pulang ke rumahnya, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Rahma, di rumah istri sirinya. Pagi ini, Rendra berangkat ke bandara dengan diantar sopirnya. Ia ada urusan bisnis selama beberapa hari, dibeberapa kota.
Rahma seperti biasa pergi ke kantor dengan menyetir sendiri mobilnya. Waktu dua minggu yang diberikan Selvi pada Rahma sudah berakhir. Rahma menduga-duga, apakah Selvi akan datang, dan kembali memaksanya.
Rahma sudah banyak berpikir beberapa hari ini. Ia memantapkan hati, jalan mana yang akan ia pilih. Sebuah rencana sudah tersusun di kepalanya, satu tepuk dua nyamuk akan ia dapatkan sekaligus. Dendamnya pada Rendra, juga dendamnya pada orang tua Selvi, akan segera terbalaskan.
Rahma akan menghempaskan Rendra yang sudah membuat masa depannya suram. Menghempaskan Selvi, yang orang tuanya sudah membuat orang tua Rahma berpulang.
'Mantapkan hatimu, Rahma. Kembali pada tujuanmu semula. Jangan lagi tergoda oleh manisnya sikap Rendra. Ingat penderitaan panjang yang kamu alami karena dia!'
Setiap mengingat masa lalunya, gigi Rahma bergemerutuk, kemarahan, dan kesedihan menjadi satu dalam dirinya. Kebencian itu berkobar, dan membakar hatinya. Hanya rasa dendam, yang membuatnya mampu bertahan.
Sekarang, jalan untuk balas sendam itu terbuka lebar. Percakapan Rendra, dan Selvi di ruangan Rendra seakan membuka jalan baru baginya untuk lebih mempermudah rencananya.
Rahma terjengkit kaget, saat ponselnya berbunyi. Video call dari Rendra.
"Pak.... "
"Aku baru tiba di sini, tapi hatiku sudah merindumu setengah mati, Rahma."
Rahma tersenyum, mendengar kegombalan Rendra.
"Rahma, senyummu membuat rinduku berlipat ganda jadinya."
"Bapak, terlalu lebay gombalannya!" seru Rahma manja.
"Uhhh, Rahma. Suara seksimu itu membuat adikku menggeliat bangun.... "
"Bapak, Bapak sedang bekerja, saya juga. Nanti malam saja lagi Bapak telpon saya, ya."
"Hhh, iya. Tapi, nanti malam, kamu telanjang ya."
"Bapak!"
Rendra tertawa, memperlihatkan giginya yang putih, dan sepasang lesung di pipinya.
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku merindukanku, i love you."
Rahma tidak menjawab, ia hanya tersenyum menanggapi ungkapan cinta Rendra untuknya.
Rahma meletakan ponselnya, ia terkejut karena Selvi sudah berdiri di depan mejanya.
"Bu!" Rahma langsung berdiri dari duduknya. Matanya menangkap sorot cemburu di mata Selvi. Dan itu mengganggu perasaan Rahma. Cemburu Selvi terasa aneh baginya. Bukankah tidak ada cinta di antara Rendra, dan Selvi, lalu kenapa....
"Rahma, bagaimana jawabanmu?" Selvi langsung pada pertanyaan inti, tanpa basa basi. Rahma masih merasa gamang, tapi niat balas dendam harus ia tuntaskan.
Kepala Rahma mengangguk pelan. Senyum mengembang di bibir Selvi, matanya berbinar seakan ia baru saja menang perang.
"Keputusan bagus, Rahma."
"Tapi, bagaimana dengan Pak Rendra, Bu?"
"Kamu tenang saja soal itu. Hmmm, bagaimana kalau kita makan siang ke luar? Banyak hal yang harus kita bicarakan."
Rahma menatap Selvi, kebimbangan kembali menyergapnya. Ia ragu lagi akan rencana yang sudah ia susun.
"Rahma!"
"Ooh.... "
Mata mereka saling tatap, sorot mata Selvi terasa aneh bagi Rahma.
BERSAMBUNG
50 komen.