'Maju Rahma, ini kesempatan terbaikmu untuk menghempaskan Rendra. Lanjutkan balas dendammu!'
"Rahma!"
"Ooh, iya. Baik, Bu." Rahma menganggukan kepala, lalu ia mengambil tasnya, dan mengikuti langkah Selvi yang meninggalkan mejanya.
Mereka tiba di rumah makan, di mana dulu Rahma melihat Selvi bermesraan di dalam mobil. Tubuh Rahma bergidik, perasaannya sedikit cemas. Tapi, ia tidak ingin mundur lagi, apapun resiko yang harus ia terima.
Selvi membawa Rahma lebih ke dalam, bukan duduk di ruangan makan seperti pengunjung lainnya. Rahma mengikuti langkah Selvi dengan hati bertanya-tanya, tapi ia memilih tidak bersuara.
Mereka berhenti di sebuah lorong, di mana terletak rak berisi hiasan kristal kecil dalam berbagai bentuk. Selvi mendorong rak berisi hiasan dari kristal itu, dan kristal-kristalnya tidak bergerak dari tempatnya.
Rak itu ternyata sebuah pintu, Selvi masuk, dan ia meminta Rahma mengikutinya. Rahma tercenung sejenak, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebuah ruangan dengan dinding menyerupai rak yang tadi, tapi ini berisi buku-buku.
Selvi mendorong salah satu rak buku, rak buku itu terdorong ke belakang, menyerupai sebuah pintu, sama seperti rak berisi kristal.
"Masuklah!" Selvi tersenyum pada Rahma, Rahma melangkahkan kaki dengan rasa penasaran yang semakin berlipat ganda.
Selvi menutup pintu dari rak buku itu. Lalu ia membuka pintu yang ada di hadapan mereka. Begitu pintu terbuka, terdengar suara riuh yang tadi tidak terdengar dari luar.
Suasana senyap, saat Selvi berdiri di hadapan para wanita, yang dikenal Rahma sering masuk media gosip.
"Ini Rahma, dia akan menjadi salah satu artis SF management." Selvi memperkenalkan Rahma sebagai anggota baru managementnya.
"Girls, ayo kenalan dulu dengan Rahma!" seru Selvi. Semua bangkit dari duduk mereka, satu persatu menyalami Rahma, dan memperkenalkan nama mereka pada Rahma.
"Rahma, nanti asisten pribadiku, Mey yang akan mengurus kontrakmu." Selvi berbisik di telinga Rahma, sangat dekat, Rahma seakan merasa kalau Selvie sudah meniup lubang telinganya, dan Rahma merasa berhalusinasi kalau lidah Selvi sudah menjilat daun telinganya.
Semua mata, hanya menatap dengan senyum di bibir mereka.
"Duduklah, Rahma, kita akan segera makan siang bersama," Selvi menunjuk salah satu kursi yang kosong. Rahma duduk di kursi yang ditunjuk Selvi.
Pintu terbuka, dua orang pelayan membawa meja dorong berisi makanan, dan peralatan makan. Semua makanan di meja dorong dipindahkan ke atas meja panjang yang ada di sana. Meja yang sudah dikelilingi oleh Selvi, dan artisnya, termasuk Rahma juga.
***
Hari itu juga, setelah kembali dari makan siang, Rahma pindah tempat tinggal, ke salah satu apartemen milik Selvi. Semua barangnya, hari itu juga dibereskan, dan dipindahkan ke apartemen. Semua Selvi yang mengurusnya.
Semua dilakukan dengan cepat, sebelum Rendra kembali ke Jakarta. Bibik Aini, ikut pindah bersama Rahma.
Sebuah nama baru, dan identitas baru dibuat untuk Rahma. Dengan kekuatan make up artis management Selvi, wajah Rahma akan dibuat sangat berbeda dengan tampilannya selama ini.
Bisa dipastikan, Rendra tidak akan bisa mengenali wajah Rahma. Ponsel Rahma sudah diganti, beserta dengan sim cardnya agar Rendra benar-benar tidak bisa lagi menghubungi Rahma.
***
Rendra membanting ponselnya ke atas ranjang. Ia kesal luar biasa, karena Rahma tak bisa ia hubungi. Tiba-tiba, Rendra teringat dengan Lingga. Ia segera menelpon Lingga, menanyakan di mana Rahma.
"Tadi pagi dia masuk kerja, Dra. Tapi setelah makan siang, aku sibuk di studio."
"Coba kamu tanyakan Security, mungkin mereka melihat Rahma pergi!"
"Ya, Dra. Akan aku tanyakan besok," sahut Lingga.
"Besok!"
"Iya, Dra, inikan sudah malam."
"Sekarang, Ga! Sekarang! Telpon kepala security, tanyakan siapa yang bertugas siang tadi. Cari tahu nomer telponnya, paham!"
"Hhh, iya, iya ...." Lingga menghela napas, menerima kepanikan bosnya. Dan, baru kali ini Rendra panik hanya karena urusan wanita.
"Rahma, kamu di mana?" Rendra benar-benar tidak bisa tenang. Ia ingin cepat pulang. Tapi, masih banyak yang harus ia kerjakan. Ia tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya, sebagai seorang pimpinan perusahaan besar.
Ponsel Rendra berbunyi, cepat dijawab panggilan dari Lingga.
"Tadi, saat jam makan siang, Security melihatnya ke luar untuk makan siang. Tapi, Rahma tidak terlihat kembali lagi ke kantor."
"Apa? Ada yang melihat dia pergi dengan siapa?"
"Menurut Security, dia pergi sendiri dengan mobilnya," jawab Lingga, membuat Rendra menggeram putus asa.
Dimatikan ponselnya, tapi sesaat kemudian ia nyalakan lagi. Yayan, sopirnya adalah orang yang ia telpon selanjutnya.
"Yan!"
"Ya, Tuan?"
"Sekarang juga, kamu pergi ke rumah Rahma. Kalau dia ada di rumah, minta dia menelponku. Karena aku tidak bisa menelponnya!"
"Baik, Tuan."
Rendra meletakan ponselnya. Ia duduk di tepi ranjang, diusap wajah dengan kedua telapak tangannya.
"Argghhh, Rahma kamu di mana!?" Rendra tak mampu lagi menahan kegelisahan. Diremas kuat rambutnya.
Ini pertama kali, ia merasakan hal seperti ini. Rahma memang bukan cinta pertamanya. Sejak duduk di bangku SMP, ia sudah merasakan yang namanya jatuh cinta. Dengan semua modal yang ia punya, wanita mana yang tidak terpikat padanya.
Namun, ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Rindu yang sulit ia tahan, rasa cemas karena ponsel Rahma tidak bisa dihubungi. Ini sungguh aneh menurutnya.
'Apakah ini yang dinamakan benar-benar cinta?'
"Arghhh, Rahma, apa yang terjadi denganmu, Sayang. Kamu di mana, kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi. Rahma ...." kepala Rendra tertunduk dalam. Diremas kuat rambut hitam, dan tebal yang menghiasi kepalanya.
Ia teringat akan saat pertama kali bertemu Rahma. Ia langsung jatuh cinta pada pandang pertama. Dan, ia tidak bisa lepas lagi dari pesona Rahma.
Cukup lama Rendra termenung, sampai suara ponsel membuyarkan lamunannya.
"Ya, Yan, bagaimana?"
"Rumahnya kosong, Tuan. Dan, ada tulisan dikontrakan di pintu rumah. Saya sudah menghubungi nomer yang tertera di iklannya itu. Pemilik rumah mengatakan. Rahma pindah dari sana hari ini, sekitar jam tiga siang."
"Pindah ke mana?"
"Kata pemilik rumah, Rahma pulang kampung, itu saja informasi yang saya dapatkan, Tuan."
"Kampungnya di mana?"
"Pemilik rumah tidak tahu, Tuan."
"Hhh, ya sudah, terima kasih, Yan. Kamu pulang saja."
"Ya, Tuan, selamat malam."
"Selamat malam."
Rendra memejamkan mata, kepalanya mendongak, ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Selama ini, Rahma tidak pernah mau menceritakan tentang keluarga, dan asal usulnya. Rendra juga tidak pernah memaksa Rahma menceritakannya. Sekarang, hal itu menjadi penyesalan bagi Rendra.
BERSAMBUNG
60 komen