Rahma berbaring di atas ranjang, di apartemen Selvi, ia menatap langit-kangit kamar. Ia merenungi keputusan yang sudah ia ambil. Keputusan yang diambil, sebagai bentuk pembalasan dendam pada Rendra.
Rahma tahu, Rendra sudah benar-benar jatuh cinta padanya, Rendra sudah terperosok begitu dalam dengan pesonanya. Rahma merasa, memang sudah saatnya ia meninggalkan Rendra, menoreh luka di hati pria yang sudah menjadi suaminya. Untuk membalaskan sakit hati, atas penderitaan yang pernah ia rasakan, akibat dari perbuatan Rendra.
'Apakah aku bahagia sekarang? Ya, bahagia karena satu dendam sudah terbalaskan.'
Rahma memejamkan mata, ingin mendengar jawaban yang sebenarnya, dari lubuk hati yang paling dalam. Tak terasa, air mata mengalir di sudut matanya, tak bisa dipungkiri, bukan hanya Rendra yang terperosok dalam pesonanya, namun ia juga terjatuh dalam pesona Rendra yang luar biasa.
Meski Rahma berusaha mengingkari perasaannya, dengan tidak pernah mengatakan cinta pada Rendra, tapi cinta itu tumbuh subur di dalam hatinya. Dan hampir mengubur rasa dendam yang tersimpan selama belasan tahun.
Belasan tahun ....
Rahma meremas dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Mengingat kejadian yang merenggut masa depannya. Memberinya luka yang seakan tak ada habisnya. Melemparkannya kesebuah kehidupan yang tak pernah ia duga.
Rahma berusaha menahan tangisan, namun ia tak mampu melakukannya. Ia menangis, menumpahkan semua yang terasa menyesakan dadanya. Sampai akhirnya ia tertidur.
***
Rendra tidak bisa konsentrasi bekerja, ia tidak mendapatkan info apapun tentang Rahma. Ia merasa bodoh, kenapa tidak pernah bertanya lebih jauh tentang keluarga, dan asal usul Rahma. Ia terlalu sibuk menikmati rasa cintanya pada Rahma.
Hari kedua Rendra lost kontak dengan Rahma, tiba-tiba ia teringat dengan Selvi, kecurigaan terhadap Selvi muncul. Cepat diraih ponselnya, dan ditelpon Selvi, untuk menuntaskan kecurigaannya.
"Hallo, ada apa?"
"Apa kamu yang menyembunyikan Rahma, Selvi?" Tanya Rendra langsung, tanpa basa basi, bahkan mengucap salam saja tidak ia lakukan.
"Kamu ini bicara apa, Rendra. Malam-malam menelponku dengan tuduhan yang aku tidak mengerti!"
"Rahma menghilang, aku yakin kalau kamu berada di balik semua ini!" Volume suara Rendra meninggi, untuk mengimbangi suara Selvi yang nyaris berteriak.
"Heyy, jangan menuduh sembarangan, Rendra, aku memang tertarik padanya, tapi aku bukan orang yang suka main paksa!" sahut Selvi bernada geram, meski hatinya tertawa senang, karena sudah merasa menang.
"Kamu jangan bohong, Selvi, kamu jangan bohong! Aku tahu, kamu menyukai Rahma, iyakan!"
"Sudah aku katakan, aku memang tertarik dengannya, tapi aku bukan orang yang suka memaksakan kehendakku."
"Dengar, Selvi. Kalau dugaanku benar, maka aku tidak akan segan-segan membongkar aibmu. Kamu tahu maksudku, bukan?"
"Kamu bisa mengancamku, aku juga bisa. Jangan merasa bersih, Rendra. Kamu juga seorang petualang wanita!"
Rendra tertawa, suaranya tawanya terdengar sumbang, dan sedikit bergetar.
"Seorang pria seperti aku, kaya, tampan, dan mapan. Tidak aneh kalau menjadi petualang, itu masih normal, Selvi, normal! Lihatlah dirimu, bercerminlah, apa yang kamu lakukan adalah aib, aib! Aib dengan ketidak normalanmu!"
Kali ini Selvi yang tertawa.
"Kamu marah karena aku tidak tertarik padamu? Hhhh, kasihan sekali kamu, Rendra. Jangan kamu pikir, semua wanita bisa kamu taklukan!"
"Ini bukan karena kamu tidak bisa aku taklukan, lagipula siapa yang ingin menaklukanmu? Aku tidak berselara pada wanita yang orientasi seksnya menyimpang, Selvi. Aku jijik melihat kaum sepertimu! Seburuk-buruknya aku, aku masih normal, tidak sepertimu yang penyuka sesama jenis! Ingat Selvi, jika kamu terlibat dalam hilangnya Rahma, aku tidak segan-segan melaksanakan ancamanku. Aku tidak peduli, jika kita harus hancur bersama, camkan itu!"
Rendra mematikan ponselnya. Ia merasa geram, kecurigaannya pada Selvi tidak bisa ia abaikan. Ia bisa merasakan, kalau Selvi tertarik pada Rahma. Ya, tertarik seperti dirinya. Karena Selvi seorang lesbian.
Rendra meremas rambutnya, ia merasa putus asa. Rasa cemas, dan rasa rindu menyatu di dalam hatinya.
'Rahma, kamu di mana, Sayang. Aku tidak percaya kalau kamu pulang kampung, seperti pengakuanmu pada pemilik rumah. Aku tidak percaya! Rahma.... '
***
Rahma menatap air yang mengaliri kaca jendela kamarnya. Suasana malam terasa syahdu dengan turunnya hujan. Tidak terasa satu bulan sudah ia pergi dari Rendra. Rasa rindu terkadang membuatnya meneteskan air mata.
Sampai saat ini ia belum melakukan apa-apa, selain mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh seorang guru private, bernama Nora, yang diundang Selvi ke apartemennya.
Ia harus belajar akting, belajar bersikap di depan kamera, belajar berpose. Dan, banyak hal lagi. Selvi mengatakan, dia harus mencari waktu yang tepat untuk debut Rahma dalam dunia barunya. Juga untuk menghindari kecurigaan Rendra nantinya.
Sesuai janjinya, Selvi memberikan Rahma uang, dua kali lipat dari gajinya di kantor Rendra. Sikap Selvi kepadanya, sebenarnya semakin membuat Rahma penasaran. Meski ia pernah memergoki Selvi berciuman dengan Mey, asistennya di dalam mobil. Tapi, Rahma berpikir, itu tidak seperti yang ia pikirkan.
"Rahma!"
Rahma menolehkan kepala, Selvi berdiri di ambang pintu kamarnya yang memang ia biarkan terbuka.
"Ya, Bu." Rahma menatap Selvi yang melangkah ke arahnya.
Mereka berdiri berhadapan. Mata mereka saling pandang.
Tatapan Selvi turun ke bibir Rahma, ia tak mampu lagi menahan dirinya. Selvi meraih dagu Rahma, Rahma mendongak ke arahnya. Selvi mengusap lembut bibir Rahma. Jantung Rahma berdegup lebih cepat. Dadanya berdebar karena rasa cemas yang hadir dengan tiba-tiba.
Mata Rahma membesar, saat bibir Selvi tiba-tiba memagut kasar bibirnya. Rahma berusaha mendorong tubuh Selvi, tapi Selvi justru mendekap erat tubuhnya. Tubuh Rahma ia tekan, sehingga punggung Rahma mengenai kaca jendela. Kedua tangan Rahma ia rangkum di atas kepala Rahma.
Rahma bergidik, ia ingin muntah, ia merasa sangat jijik. Tapi, ia harus menahan ini semua, demi rencananya, rencana yang akan menghancurkan Selvi, dan keluarganya.
Selvi melepaskan ciumannya, ditatap wajah merah Rahma.
"Kamu sudah tahu bagaimana aku, bukan? Kamu sudah melihatku bermesraan di mobil dengan Mey waktu itu. Tapi, kamu tidak takut menerima tawaranku. Aku anggap, artinya kamu sudah siap untuk menjadi kekasihku. Hhhh, Rahma, aku jatuh cinta dari pertama melihatmu di kantor Rendra ...." Selvi menggenggam kedua telapak tangan Rahma, lalu ia kecup dengan bibirnya. Rahma bergidik, merasa jijik.
"Nanti kamu akan terbiasa. Hari ini, cukup sampai di sini, lain hari aku akan mengajarimu, lebih dari sekedar berciuman."
Selvi mengusap pipi Rahma, lalu dikecup bibir Rahma.
"Tidurlah, aku pulang dulu. Selamat malam, Rahma."
Selvi memutar tubuhnya, lalu pergi ke luar dari dalam kamar Rahma. Tubuh Rahma luruh, ia terduduk di atas lantai. Ternyata rencana balas dendamnya, harus ia bayar dengan sangat mahal.
BERSAMBUNG
100 komen