Delapan jam sudah berlalu, Salma dan Firman sudah tiba di salah satu rumah sakit yang tidak jauh dari rumah. Salma memilih untuk turun duluan, karena tak sabar untuk segera ke ruangan Gama dan menceramahinya panjang lebar. Sedangkan Firman hanya tahu dimana ruangan Manda jadi memilih untuk masuk ke dalam ruangan Manda.
Fuad dan Fitri lagi pulang dulu karena memang ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan, mereka berdua jadi akan datang lagi sore hari ketika Salma dan Firman datang. Mela dan Lea sedang berada di kantin, mereka sedang membeli makanan karena belum sempat makan siang.
Manda ditemani oleh Ibu yang saat ini sedang berada di kamar mandi. Firman dengan senyum merekah sambil membawakan banyak sekali bingkisan untuk Manda. Firman belum tahu kondisi Manda yang sesungguhnya seperti apa dan bagaimana, sebab Salma hanya mengatakan bahwa anak dan ayah itu memang sedang sakit.
Salma sengaja menyembunyikan terlebih dahulu hal ini, karena tak ingin Firman emosi dan memaksakan diri untuk berangkat semalam. Firman membuka pintu ruangan Manda dengan lebar, mata Manda terbelalak saat melihat Firman muncul dan berjalan perlahan mendekatinya.
"Tidaaakkkk!" teriak Manda lantang membuat langkah kaki Firman berhenti.
"Jangan! Jangan mendekat!" teriaknya lagi. Ibu yang berada di dalam kamar mandi segera menyelesaikan ritualnya.
"Manda, ada apa, Sayang? Ini Pakde," sapa Firman bingung.
"Tidak! Tidak! Jangan mendekat! Pergi! Tidak! Argh! Mami! Nenek! Tolong!" teriaknya semakin histeris.
"Nak Firman!" pekik Ibu terkejut, bergegas mendekati Manda yang tubuhnya sudah berguncang hebat.
Ibu mencoba menenangkan Manda namun gadis itu tetap histeris. Firman hanya menatap bingung Manda dan Neneknya itu secara bergantian, ia belum paham dan mengerti apa yang terjadi pada Manda. Manda terus menangis histeris, setiap selangkah Firman maju maka tangisnya semakin hebat.
"Nak, tolong jangan mendekat dulu!"
"Ta-tapi, Manda kenapa, Bu?" tanya Firman khawatir.
"Tolong ke ruang perawat, bilang Manda kambuh!"
"Kambuh?" cicit Firman bingung.
"Nanti Ibu dan Mela ceritakan semuanya! Tolong! Cepat!"
"Ba-baik."
Firman keluar kamar dengan terburu-buru dan hampir menabrak Mela dan Lea yang baru saja akan masuk. Mereka berdua juga terburu-buru karena mendengar tangisan Manda yang histeris dari luar.
"Mas Firman!"
"Mela!"
"Astaghfirullah, Manda!" pekiknya.
"Kamu hutang penjelasan padaku, Mela!" ucap Firman tegas berlalu menuju ruang perawat dan meminta mereka untuk datang.
Firman kembali bersama dengan salah satu perawat yang sudah membawa obat suntik anti-depresan. Mela sedang berusaha menenangkan anak sulungnya itu, Ibu menenangkan Lea yang ikut menangis karena melihat kakaknya yang menangis histeris seperti itu.
"Jangan masuk!" teriak Manda semakin histeris saat Firman melangkah masuk.
"Mas, tetap di situ, aku mohon!"
Hati Firman mencelos mendengar permohonan dari adik iparnya itu. Ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Tapi, karena tak ingin membuat keadaan menjadi kacau, akhirnya ia mengalah dan memilih melihat keadaan Manda dari jauh saja. Hatinya semakin sakit saat melihat Manda disuntik, tak tahu itu obat apa tapi Firman menebak itu adalah obat penenang karena perlahan Manda jadi tenang dan mengantuk.
"Bu, bukankah Dokter Rina sudah memberi peringatan agar tak ada satupun dulu lelaki yang masuk ke ruangan ini?"
"Iya maaf, Sus. Kakak saya belum tahu mengenai keadaan, Manda."
"Mohon lebih diperhatikan ya, Bu. Ini juga semua demi kebaikan, Manda. Demi kesehatan mentalnya juga, kita sama-sama saling menjaga dan berusaha untuk Manda sembuh ya. Kasihan kalau terus dikasih obat penenang, Bu. Takut nantinya ketergantungan."
"Iya, Sus. Saya paham, sekali lagi maaf ya."
"Iya, Bu. Gak pa-pa, mari."
Perawat berlalu melewati Firman namun lelaki itu mengikuti dari belakang dan menghentikan langkah perawat tadi.
"Sus, maaf," cegahnya.
"Ya, Pak?"
"Ada apa dengan keponakan, saya?"
"Adik Manda kesehatan mentalnya terganggu, Pak. Ia sedang mengalami depresi hebat."
"Astaghfirullah …," lirih Firman.
Bahu lelaki itu seakan-akan dihantam oleh beban yang cukup berat. Lututnya terasa sangat lemas dan gemetar, ia limbung dan hampir jatuh kebelakang. Sigap, sang perawat langsung membantunya.
"Pak, kenapa?"
"Ng … gak pa-pa, Sus," jawab Firman bingung.
"Sus, minta tolong papah saya ke bangku panjang itu."
"Baik, Pak. Mari," ajak perawat tersebut. Setelah duduk, Firman mengucapkan terima kasih, perawat undur diri.
Firman menyandarkan punggungnya, ia merasa sangat lelah dan berharap kembali semangat ketika bertemu dengan anak gadisnya tapi ternyata justru sebaliknya. Ia semakin lelah dan terpukul mengetahui kenyataan pahit ini. Tak menyangka anak gadisnya itu bisa mengalami depresi seperti itu. Firman mulai bertanya-tanya apa sebab anak gadisnya bisa menjadi seperti ini.
Istrinya sudah pasti lebih tahu, sedikit kecewa karena Salma tetap diam tak memberitahunya. Tapi ternyata, Firman mengetahui semuanya sendiri, melihat bagaimana Manda berteriak histeris seperti tadi, menangis hebat dan disuntik obat penenang itu berhasil membuat hatinya terguncang. Ia mengusap wajahnya kasar, air mata mulai jatuh membasahi pipi. Rasanya tak kuat sekali mengetahui ini semua.
"Mas," panggil Mela.
Firman membuka matanya dan menatap lekat wajah sendu Mela. Ia benar-benar penasaran dengan semua yang terjadi. Firman menegakkan tubuhnya dan bergeser memberikan tempat pada Mela.
"Maaf," ucap Mela lirih.
"Apa yang sebenarnya, terjadi?"
"Apakah Mas Fuad belum memberitahu semuanya?"
"Aku tidak tahu apa-apa! Tapi entah kalau Salma!"
"Manda membantuku saat bertengkar dengan Gama."
"Bertengkar? Kenapa? Aku tak pernah sekalipun mendengar kalian bertengkar, tapi jika sampai bertengkar itu artinya ada masalah yang besar."
"Mas Gama selingkuh! Dia punya istri kedua dan sudah memiliki anak laki-laki!"
"A-apa? Kurang ajar! Gama berselingkuh!" serunya mengepalkan tangan. Emosi mulai naik hingga ubun-ubun.
"Mas Gama ingin memiliki anak laki-laki--"
"Dengan cara berselingkuh?" Mela mengangguk ragu, Firman sudah tahu jawabannya tapi ia tetap menanyakan hal itu.
"Tidak tahu diri ternyata manusia itu!"
"Manda … hu hu hu … ia depresi … ha-hampir bunuh dari!"
"Allahuakbar! Ini benar?" tanya Firman tak percaya.
"Iya, Mas."
Mela mulai menceritakan awal mereka bertengkar sampai Gama bisa masuk rumah sakit pun karena ulah Manda yang tak bisa menahan emosinya. Menurut Dokter, gadis itu kecewa terlalu dalam. Papi yang selama ini diidolakan memberikan rasa kecewa yang luar biasa sampai membuat Manda punya pikiran untuk bunuh diri.
Firman mengusap wajahnya kasar berkali-kali. Ia pun merasa kecewa dengan sikap Gama yang menurutnya memang sangat keterlaluan itu, wajar jika Manda kecewa karena dia adalah anaknya Gama tapi Firman sangat menyayangkan sikap Manda. Ia tak menyangka Manda bisa berpikir untuk menghabisi nyawanya sendiri. Firman tidak menyalahkan Manda, tidak! Hanya menyayangkan kenapa bukan Gama saja yang dihancurkan dan dibunuh.
"Aku tak menyangka Manda bisa sampai berpikir seperti itu, Mela! Itu artinya, rasa sakit dan kecewa yang dirasakan benar-benar sangat dalam!"
"Iya, Mas. Dan, Manda tetap memilih diam! Mungkin karena tak ingin membuatku khawatir."
"Bisa jadi, ia sudah mulai menaruh rasa kecewa saat melihat Gama di mall bersama wanita itu."
"Aku tak bisa berpikir akan hal itu, Mas! Entah mulai kapan Manda menaruh rasa kecewa itu, tapi yang jelas beberapa waktu kebelakang ini memang banyak perubahan darinya. Salah satunya adalah sikapnya. Ia lebih banyak diam dan menghindari bertemu dengan Mas Gama. Ia lebih memilih untuk mengirit kata agar tidak terlibat obrolan dengan Mas Gama."
"Sayang banegt, kenapa Manda harus mencoba untuk bunuh diri? Kenapa tidak Papinya saja yang ia buat mati?"
"Mas!"
***
Salma turun dari mobil dengan emosi yang sudah membara, ia berusaha untuk tetap tenang saat dihadapan suaminya tapi ketika menginjakkan kaki tepat di rumah sakit, emosi yang sebelumnya menguar kembali berkumpul jadi satu dan bersemayam di dalam pikirannya. Ia melangkah dengan terburu-buru dan langkahnya sangat besar. Tak sabar ingin bertemu adiknya dan memberikan pelajaran pada Gama.
Baru, setelah memberikan Gama pelajaran maka ia akan melihat kondisi anak gadisnya. Penasaran dan ingin membuktikan apa yang Fuad katakan sebelumnya. Jika benar-benar anak gadisnya depresi, maka ia adalah orang kesekian yang akan hancur dan sakit hatinya. Salma lupa dengan keberadaan suaminya, dalam pikirannya saat ini adalah menemui Gama dan selanjutnya Manda.
Salma membuka kasar pintu ruangan membuat Gama terlonjak kaget. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya, Salma menatap Gama dengan tatapan yang sangat mematikan. Sorot matanya tajam dan seakan siap membunuh. Pintu kembali ditutup dengan sedikit dibanting, membuat Gama kembali terlonjak.
"Mbak--"
"Assalammualaikum, adik durjana!" sapa Salma langsung.
"Wa-waalaikumsalam, M-Mbak."
"Kenapa? Kok gugup?" tanya Salma sambil melangkah maju membuat nyali Gama semakin menciut. "Tidak menyangka aku akan datang? Atau merasa sial karena aku datang dan mengetahui semuanya?"
"Mbak bicara apa sih?" jawab Gama dengan suara tertahan.
"Jangan pura-pura bodoh walaupun kau memang bodoh, Gama!" maki Salma tepat sasaran membuat lelaki itu semakin menciut.
Sungguh, Gama ini paling takut dengan Salma dan Firman. Ia tak akan pernah bisa berkutik ketika berhadapan dengan pasangan galak itu. Semua kata dan rencana yang ada dipikirannya seketika sirna ketika sudah berhadapan dengan tampang keduanya yang menunjukkan amarah.
"Memalukan! Menjijikan!" bentak Salma lantang, Gama kembali tertarik lagi untuk sadar bahwa tengah berhadapan dengan Salma.
"Aku merasa malu punya adik tak berguna seperti kamu! Menjijikan sekali sikap yang kamu lakukan ini, Gama! Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika Mama tahu semua kelakukan anaknya yang menjijikan seperti ini!"
"Kau, bersikap selalu memuliakan Mama, anak dan istri tapi ternyata kelakukan dibelakangnya sungguh minus!"
"Jujur, aku tak paham dengan semua jalan pikiran kamu itu! Kok bisa punya pikiran untuk selingkuh? Melati itu kurang apa? Hah?"
"Dia adalah wanita yang baik, hebat dan lembut! Apa kamu lupa, bahwa kalian hampir saja jadi gembel karena kamu ditipu! Apa Mela meninggalkan kamu? Tidak! Ia justru tetap bertahan dan menyerahkan semua tabungannya untuk kalian buka usaha!"
"Kamu sudah merasa kaya, Gama?"
"Jelas dong, Mbak! Ini 'kan usaha aku juga! Aku yang membuat pabrik itu maju! Jadi, aku punya hak di dalamnya!" jawab Gama lantang walaupun ia merasa takut.
"Bodoh! Haha! Kamu itu bodoh! Pabrik itu sudah atas nama Amanda dan Lea! Kamu dan Mela tak punya hak apa-apa atas pabrik itu!"
"Tidak bisa, Mbak! Aku tetap punya hak!"
"Memang kamu menyumbang apa? Hah? Tenaga? Pikiran? Bukankah tiap bulannya kamu sudah menerima hasilnya? Mela itu memberimu gaji loh dan tidak menuntut nafkah darimu! Tapi ternyata, kamu menafkahi wanita lain! Bodoh!" maki Salma.
"Jangan kamu pikir, aku tidak tahu semua yang terjadi ya, Gama! Aku tidak pernah diam jika menyangkut adik-adikku! Aku mengawasi kamu dan Mela juga Fuad dan Fitri! Jadi, jika terjadi sesuatu dengan pabrik kalian, aku yang pertama tahu!"
"Dan kamu tahu? Saat pabrik kolaps, Mela bukan tidak tahu! Ia tahu tapi tetap diam karena menghargai kamu! Kamu pinjam uang padaku, bukan? Kamu tahu itu uang siapa? Tabungan Mela untuk Manda dan Lea!" teriak Salma tak sanggup lagi menutupi semua kebenaran.
"Mela mungkin sekarang merasa sakit karena perselingkuhan. Tapi jangan lupa, dia itu bisa mencari uang sendiri! Dia adalah seorang wanita yang mandiri! Ketika ia melepasmu! Maka, bukan Mela yang akan menderita tapi kamu! Kamu kehilangan semuanya!"
"Wanita durjana yang kamu nikahi itu, tak akan pernah dapat bagian apapun! Karena aku yang pegang semua kendali! Untung saja, Mela menurut padaku untuk mengganti semua aset atas nama anak-anak, jadi ia tak akan merugi, haha!"
"Gama … Gama … kamu kok bodoh sekali jadi manusia, sih! Kalau mau bertingkah itu sadar diri! Kamu punya apa! Kamu itu tak punya apa-apa!"
"Mbak!" bentak Gama. "Sebenarnya, adik Mbak itu siapa? Aku atau Mela, sih! Kok Mbak dan Mas Fuad justru lebih membela Mela daripada aku yang jelas-jelas adik kalian!"
"Memang kamu sudah memberikan apa pada kami? Hah? Mela itu berjasa! Dia beberapa kali juga membantu usahaku dan Fuad, tanpa sepengetahuanmu! Tak tahu 'kan kamu mengenai semua itu? Itu artinya memang benar-benar kamu tak punya hak apapun!"
"Aku dan Fuad membela Mela itu wajar! Ia adalah ibu dari anak-anak gadis kami! Ia yang sudah menjaga dan merawat anak-anak setulus hatinya, bukan kamu! Kamu lebih sibuk dengan pekerjaan, padahal semuanya sudah tertata! Tapi ternyata dibalik sibukmu itu ada wanita lain, miris!"
"Tapi Manda dan Lea juga anakku, Mbak!"
"Memang, tapi bukankah sekarang kau tak mengharapkan mereka lagi? Kau merasa sudah punya anak baru dari selingkuhanmu itu, bukan? Yang katanya mampu memberikanmu anak laki-laki? Heum?" tanya Salma. "Tapi, aku kok merasa ragu ya kalau anak itu darah dagingmu?" ejek Salma.
"Mbak! Raka itu anak aku!"
"Tapi maaf, aku tidak akan menganggapnya keponakan! Ingat ya, Gama! Keponakanku hanya Manda dan Lea! Mereka adalah anak-anak gadisku!"
"Jika kamu berani menyakiti mereka, maka urusanmu dengan kami semua!" tukas Salma.
"Aku sangat tahu latar belakang wanita yang kau nikahi! Kalau kamu jatuh miskin juga ia pasti akan meninggalkanmu!"
"Mbak! Jaga bicara kamu! Jangan lancang!"
"Kamu yang harusnya jaga bicara! Lancang sekali mulutmu itu!"
Plakkk.
Plakkk.
"Jangan sampai membuat amarahku menggebu, Gama! Pisau kecil itu bisa melayang ke mulut menjijikkan itu, jika aku mau!" ancam Salma membuat Gama kembali ciut, ia memegang pipi yang baru saja ditampar oleh kakak perempuannya. Sakit dan perih sekali rasanya.
"Aku tak sabar, menunggumu menjadi gembel jika semakin banyak berulah!"
"Mbak! Aku tidak akan pernah tinggal diam! Aku pasti bisa memiliki semuanya!"
"Silahkan, kalau bisa! Aku menunggu waktu itu tiba! Dan, aku pastikan kamu tidak akan bisa memiliki semuanya! Pegang saja ucapanku ini! Pasti semua yang aku ucapkan akan terbukti! Kamu, pasti akan benar-benar menjadi gembel jalanan, Gama! Lalu ditinggalkan oleh wanita durjana itu!"
"Hah ... miris sekali!" ejek Salma.