Hidup memang terkadang terasa seperti tak adil, tapi inilah kehidupan dimana semuanya harus serba memilih. Memilih dalam sebuah pilihan yang pastinya sulit dan menyakitkan. Dan pilihan yang aku ambil dalam beberapa waktu kebelakang ini adalah menikah dengan lelaki yang statusnya sudah beristri. Aku rela menjadi istri kedua demi kehidupan keluarganya agar lebih baik dari sebelumnya. Aku pun merasa sudah lelah mencari uang setiap malam lalu pulang dalam keadaan mabuk setengah sadar.
Sebenarnya, aku ingin mempunyai kehidupannya yang lebih baik tapi takdir seperti tak berpihak padaku. Hidup dalam kemiskinan itu tak enak bahkan sangat berat sekali. Kemiskinan membuatku mau tidak mau harus bekerja keras demi bisa memberi makan Ibu dan adikku-Rosa yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kejamnya dunia membuat aku harus rela kerja malam dan pulang pagi, tak hanya itu saja. Demi mendapatkan uang banyak dan lebih, aku juga rela datang ke salah satu orang pintar untuk memasang sesuatu di bagian tubuh indahku ini agar memberikan daya tarik sendiri untuk orang yang melihatnya.
Aku memang mengakui bahwa wajahku ini tak terlalu ayu, bahkan bisa dibilang tak cantik. Menurut banyak orang, aku ini manis dan seksi. Aku memanfaatkan bagian tubuhku yang seksi untuk ditanamkan susuk yang dapat membuat orang lain tergila-gila padaku. Awalnya, aku ragu tapi melihat pasang pasar setiap malam yang semakin hari semakin banyak pesaing, akhirnya aku memberanikan diri untuk pasang susuk.
Aku tak peduli dengan konsekuensi yang nantinya akan kudapatkan, bagiku saat ini yang terpenting adalah bisa memberi nafkah Ibu dan Rosa. Mereka menggantungkan hidupnya padaku, Ibu sudah jelas tidak mungkin bisa bekerja lagi karena usia yang sudah semakin tua, sedangkan Rosa masih sekolah. Jadi, aku mengalah demi kebahagiaan mereka. Aku rela menderita untuk mereka, keluargaku.
Semakin hari hidupku semakin tak tertata, semuanya hancur karena dunia malam. Aku mulai belajar minum alkohol agar pelanggan merasa nyaman dekat denganku, aku pun mulai merokok agar menyeimbangi pelanggan tapi aku tak pernah merusak diriku dengan berhubungan seksual. Aku menjauhkan diri untuk hal yang satu itu, hingga aku bertemu dengan lelaki yang benar-benar baik, bagiku.
Aku menjalani hubungan dengan penuh bahagia, ia selalu membuatku bahagia setiap waktunya. Namun, malam itu duniaku runtuh, hidupku semakin hancur, dan hatinya pecah hingga berkeping-keping. Lelaki yang selama ini aku percaya, aku cinta, sayang dengan ketulusan ternyata memperkosaku saat kami mabuk bersama. Entah itu sengaja atau tidak, tapi ia meninggalkan aku begitu saja setelah merasakan nikmatnya duniaku.
Malam petaka itu membuat hidupku semakin hancur dan tak terarah lagi. Aku seperti tak punya harapan lagi, masa depanku sudah hancur tak tersisa. Aku membentuk pribadi yang baru, pribadi yang semakin nakal dan hanya memikirkan uang tanpa pernah memikirkan lagi sebuah rasa. Lelaki itu yang menghancurkan hidupku, ia merusakku dan menjadikan aku semakin tak jelas hidupnya.
Aku merasa tak ada lagi harga diri yang tersisa dan mulai berpikir untuk apa lagi aku menjaga diri dan tubuh indah ini? Semuanya sudah habis tak tersisa, aku sudah tak lagi mempunyai mahkota yang selama ini aku jaga. Ini adalah sebuah pil pahit yang harus aku telan tanpa air, sakit, kering dan susah sekali untuk tertelan.
Berbagai kehidupan sudah aku jalani. Aku mulai menjadi simpanan orang-orang kaya, bahkan rela tidur bersama orang-orang baru karena saking sudah merasa tak punya harga diri lagi. Aku kembali pada orang pintar, memasang kembali susuk di dalam surga duniaku. Aku sengaja melakukan hal itu agar dapat membuat pelangganku merasakan sensasi yang tak pernah mereka rasakan dirumah atau diluaran sana.
Namaku sebagai wanita seksi, legit dan memuaskan semakin naik. Banyak orang-orang yang mencari dan ingin menikmati permainanku di atas ranjang. Mereka selalu memberiku bonus karena merasa terpuaskan dengan service yang kuberikan. Aku menjadi idola para hidung belang yang tak pernah merasakan kenikmatan surga dunia yang indah.
Sampai suatu malam, aku kembali bertemu dengan lelaki yang baru. Tak sengaja bertabrakan dengannya di dalam salah satu klub malam yang baru beberapa waktu ini menjadi tempat baruku untuk mencari nafkah. Wajahnya sungguh tampan, sebelumnya aku tak pernah melihat lelaki yang menjadi pelangganku itu setampan dirinya. Untuk beberapa saat kami saling memandang dan terpana, lalu ia pergi berlalu begitu saja.
Dalam hatiku berkata bahwa ingin memilikinya bagaimana pun caranya. Aku terus memperhatikannya dari jauh, ia bersama seorang bos besar di kalangannya. Kulihat, lelaki itu sudah terlalu banyak sekali minum namun tak juga berhenti. Beberapa kali kulihat temannya menghentikan, namun ia tak peduli akan hal itu. Tiba-tiba ia bangkit dengan sempoyongan, aku memanfaatkan momen ini.
Aku pun bangkit dan berjalan ke arahnya, kami kembali bertabrakan. Kali ini, aku sengaja menggodanya secara tidak langsung, mengedipkan satu mataku dengan tatapan yang menggoda. Ia memandangku dari atas hingga bawah, aku paham sorot mata itu. Sorot mata penuh gairah dan ingin terlepaskan. Ia menubrukku dan menciumku dengan sangat liar. Ah, aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Ia menghentikan ciuman itu dan membuatku justru merasa kehilangan. Seperti tak ingin kehilangan momen, ia langsung menarikku cepat dan masuk ke dalam mobil. Aku tahu, ia pasti akan mengarahkan laju mobilnya ke salah hotel terdekat. Lelaki itu seakan tak sabar untuk menuntaskan dahaga di dalam dirinya. Kami masuk ke dalam salah satu kamar yang cukup besar dan terjadilah sebuah kegiatan yang sungguh melelahkan.
Lelaki itu cukup kuat di atas ranjang, ia bermain dengan sangat liar. Aku tak tahu, apakah ia memang seperti ini atau justru karena pengaruh alkohol. Tapi, aku tak mempermasalahkan hal itu, aku justru menikmati setiap permainannya yang membuat kewalahan. Kami berdua sama-sama sangat liar hingga dahaga yang ia tahan pun tertuntaskan.
Rasa lelah mendera tubuh, bagian sensitifku terasa sangat panas karena permainan yang sangat luar biasa dan berkali-kali itu. Kami berdua terlelap sambil berpelukan, cukup lama tertidur dan ia terbangun merasa terkejut dengan kehadiranku. Namun, ia hanya sementara sebab ia melihat keindahan tubuhku dan memainkan permainan yang luar biasa kembali.
Malam yang indah dengan sejuta pengalaman luar biasa. Aku tak mampu melupakan hal indah itu, memainkan permainan liar dengannya itu seperti candu yang tak bisa kulepaskan. Kami melanjutkan hubungan dan semakin intens saja, hingga kutahu bahwa dia adalah Gama Gemilang pemilik pabrik batik yang cukup terkenal di kota ini. Memiliki seorang istri dan dua anak gadis yang cantik membuatku minder dan merasa tak punya harapan lebih.
Tetapi, Gama seperti terus memberikan harapan padaku bahwa kami bisa dan akan bersama. Aku mulai mengetahui bahwa ia ingin sekali memiliki anak laki-laki, aku menawarkan diri bahwa aku bisa mewujudkan keinginannya itu. Gama mulai mengajakku menikah tapi hanya sebagai istri kedua dan menikah siri. Aku tak langsung menerima ajakannya itu, aku berunding dulu dengan Ibu dan Rosa, ternyata mereka berdua justru mendukung dengan harapan hidup kami akan semakin lebih baik karena ada yang menanggung, kala itu.
"Terima saja! Setidaknya, hidup kita akan lebih baik nantinya! Tak usah memikirkan hal lain."
"Tapi bagaimana dengan istrinya, Bu?"
"Biar saja! Tak usah pedulikan! Yang penting, hidup kita semua terjamin! Urusan istri pertamanya itu mudah! Nanti kita pikirkan bersama ketika kalian sudah menikah! Kalau perlu, kamu singkirkan wanita itu dan jadilah satu-satunya istri, Gama."
"Apa mungkin bisa, Bu? Secara mereka menikah sudah puluhan tahun dan juga punya dua orang anak gadis, Bu!"
"Tak masalah, Nak! Anak-anaknya sudah besar, bukan?" Mawar mengangguk. "Mereka akan paham nanti bahwa memang ibunya tak bisa memberikan adik laki-laki sehingga ayahnya memilih untuk menikah lagi. Mereka harus terima konsekuensinya, dong! Suruh siapa gak bisa memberikan anak laki-laki, ya 'kan?"
"Hm … iya sih, Bu. Ada benarnya, juga."
"Terima saja, Mbak! Rosa juga capek hidup miskin terus! Siapa tahu kita bisa ikut kaya raya nantinya!"
"Baiklah, kalau kalian setuju. Aku akan menerima permintaan Mas Gama."
"Minta mahar yang besar, Mawar! Kamu jangan bodoh, ya! Minta uang bulanan juga yang besar!"
"Iya, Bu! Tenang saja!"
"Kalau nanti kamu berhasil memberikan anak laki-laki, minta hadiah rumah dan mobil!"
"Baik, Bu! Aku akan melakukan semua itu!"
"Bagus!"
Seminggu kemudian pernikahan digelar dengan sangat sederhana sekali. Pernikahan kami hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat saja dan untuk keluarga Mas Gama itu hanya menghadirkan saksi dan keluarga bayaran. Tak mungkin juga jika Mas Gama meminta keluarganya untuk hadir, mungkin akan gagal rencana pernikahan kami. Aku menuruti permintaan ibu, meminta mahar yang cukup besar yaitu lima puluh gram emas dan Mas Gama menyanggupinya.
Aku resmi menjadi istri sahnya dengan julukan istri kedua. Tak apalah, itu tak menjadi masalah, balik lagi yang terpenting hidup keluargaku terjamin. Setelah menikah, Mas Gama semakin royal saja pada keluargaku. Beberapa kali kami jalan ke mall bersama tapi memilih mall yang memang agak jauh dari tempat tinggal kami agar tidak ketahuan oleh keluarganya. Aku sih tak mempermasalahkan hal itu, kalaupun ketahuan aku punya hak yang sama seperti istri pertamanya, karena kami sama-sama istri Mas Gama.
Dua bulan menikah, aku di nyatakan hamil. Mas Gama semakin bahagia mendengarnya, ia semakin perhatian dan banyak waktu yang dihabiskan bersamaku. Beberapa kali pun ia menginap cukup lama dirumah kontrakan kami, Mas Gama belum memberikan rumah karena masih bingung harus mengambil uang perusahaan. Aku tak mempermasalahkan hal itu, nanti aku akan berani minta ketika berhasil melahirkan anak lelaki.
Usia empat bulan, jenis kelamin janin sudah semakin terlihat, Dokter mengatakan bahwa aku mengandung anak lelaki. Mas Gama bahagianya bukan main, ia mengajak kami semua makan bersama diluar tepatnya di restoran mahal, katanya syukuran karena akan memiliki anak laki-laki. Ibu semakin bangga padaku karena berhasil menarik seluruh perhatian, cinta dan kasih sayang Mas Gama. Lelaki itu lebih sering pulang ke rumah kami, sekarang.
Dasarnya mungkin memang anak di dalam kandunganku saat ini membawa hoki. Menurut pengakuan Mas Gama, banyak sekali permintaan konsumen yang sangat luar biasa semenjak aku hamil anak laki-laki, maka dari itu Mas Gama lebih sayang padaku. Aku menikmati saja semuanya, ia membelikan banyak sekali barang-barang mahal untukku dan ternyata ia sudah mempersiapkan rumah besar dengan harga yang cukup fantastis bagiku.
Memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk kami semua dan aku tak harus memikirkan lagi bagaimana caranya bayar kontrakan. Raka Gemilang, nama yang indah untuk anak lelakiku. Aku benar-benar melahirkan anak laki-laki dan itu membuat Mas Gama bahagia juga bangga. Kami semua langsung diboyong ke rumah baru. Baru juga menikmati enam bulan tinggal di rumah baru, Mas Gama menghilang.
Aku merasa khawatir, Ibu pun ikut cemas karena takut tak ada lagi yang menanggung biaya kami. Maka dari itu, kemarin aku memberanikan diri untuk datang ke rumah besarnya dan mencari suamiku. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui dirinya masuk rumah sakit akibat dihajar habis-habisan oleh anak gadisnya, Manda.
Rupanya, gadis itu tak bisa diremehkan. Mas Gama sudah mulai ketahuan, artinya aku harus main cantik sekarang. Aku tidak boleh ceroboh untuk banyak hal agar hidup keluargaku masih aman. Mas Gama pun masih enggan untuk melepas dan meninggalkan Melati. Ia mengatakan aku cukup menikmati semua yang ada saat ini tanpa meminta lebih untuk dijadikan istri pertama.
Ah, aku tak bisa membantah perkataannya itu. Untuk sekarang, lebih baik aku cari aman saja agar tidak menimbulkan kemarahan dari Mas Gama.
"Bu, sudah sampai," ucap supir taksi online.
"Oh iya, maaf, Pak."
Aku turun dari mobil dan melangkah gontai menuju pintu masuk. Membuka pintu perlahan dan ternyata ada ibu yang sepertinya sudah sangat khawatir menunggu kehadiranku.
"Mawar, kamu kemana saja, sih?" tanyanya khawatir. "Kamu tidak bawa ponsel membuat Ibu khawatir saja!"
"Maaf, Bu. Sepertinya ponselku ketinggalan, ya?"
"Iya, di atas nakas tv!" ucap Ibu. "Gimana? Sudah bertemu dengan Gaam?"
"Sudah, Bu. Tapi sebentar ya, Bu. Aku tidurkan Raka dulu di kamar."
Ibu mengangguk, aku melangkah menuju kamar dan ternyata ibu mengekor di belakangku. Aku menatap lekat bayi tampan di dalam gendongan, Raka memang sangat tampan seperti ayahnya. Dan aku, begitu sangat mencintai mereka berdua. Bagiku sekarang, mereka adalah hidupku. Maka dari itu aku sangat khawatir dengan keadaan Mas Gama.
Memang, aku tidak munafik kalau tujuan utamaku menikah karena harta tapi semakin lama bersama dengannya membuat benih-benih cinta itu hadir dan melekat di dalam hati. Aku ingin memilikinya tanpa harus berbagi, karena aku tak ingin membagi apapun lagi. Tak ingin membagi cinta, kasih sayang, perhatian, dukungan dan kekayaan. Aku ingin menjadi satu-satunya istri, Mas Gama.
"Tadi kamu bertemu dengan Gama, Nak?"
"Iya, Bu."
"Lalu apa katanya? Kenapa ia menghilang begitu saja?"
"Mas Gama tidak menghilang, Bu!"
"Lalu apa namanya kalau tidak menghilang? Ia tak ada kabar berita, ditambah lagi uang bulanan belum dikasih, pampers Raka sudah menipis, segala macam bahan makanan pun sudah mulai semakin menipis."
"Bu, diam! Jangan banyak bicara dulu! Aku pusing mendengarnya!"
"Kamu ini gimana sih, Mawar! Kamu harusnya mikir dong semua itu harus dibeli."
"Iya, Bu. Aku paham! Tapi gak sekarang!"
"Kenapa? Kamu pasti gak minta uang pada Gama, 'kan? Gimana sih! Kamu gak mikir apa kalau selama ini hidup kita terjamin darinya! Kalau begini, gimana kita bisa makan, Mawar!"
"Ibu, diam! Tenang dulu bisa gak sih! Bikin pusing saja ngoceh terus, heran!"
Aku melangkah keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil minum. Tenggorokan terasa kering sekali, diluar panas, sampai dirumah justru mendengar segala macam celotehan Ibu yang membuatku semakin jengah. Gak tahu apa kalau anaknya ini sedang pusing dengan keadaan suaminya, heran.
Aku membawa satu botol air minum dan gelas lalu duduk, menuangkan air dingin itu dan langsung meneguknya hingga tandas. Tenggorokan yang sejak tadi terasa sangat sakit, panas dan gersang akhirnya kembali adem dan lega.
"Kamu gak bisa diam begini saja, Mawar! Cepat hubungi suami kamu itu! Dan minta uang padanya!"
"Nanti, Bu! Nanti!" bentakku. "Ibu gak bisa sabar apa? Mas Gama itu sedang sakit! Masuk rumah sakit! Berhenti membicarakan uang, uang, uang terus! Aku pusing!"
"A-apa? Masuk rumah sakit? Kok bisa, Mawar?"