Mawar menyandarkan punggungnya pada kursi meja makan sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing dan sakit. Memang, niat awalnya menemui Gama adalah untuk meminta uang selain rasa khawatir yang ia rasakan. Tapi, setelah tahu kondisi seperti tadi membuat wanita itu segan untuk melanjutkan aksinya. Ibu masih tetap setia berada disamping Mawar untuk melanjutkan pertanyaan namun sedikit memberikan waktu pada Mawar agar tenang terlebih dahulu.
Mawar memejamkan matanya, untuk saat ini ia sendiri bingung harus memikirkan hal apa? Apakah kondisi keuangan keluarganya? Segala macam perlengkapan Raka? Atau memikirkan kondisi Gama yang jelas-jelas saat ini sedang tidak baik-baik saja karena ulahnya yang ceroboh.
"Mawar," panggil Ibu sedikit hati-hati.
"Hm," gumam Mawar sebagai jawaban.
"Gama benar-benar masuk rumah sakit? Maksud Ibu, Gama dirawat?"
"Iya, Bu! Mas Gama sakit dan mau tidak mau harus dirawat."
"Tapi, sakit apa?"
"Bertengkar dengan anaknya."
"Tunggu dulu! Ibu gak paham, bertengkar dengan anaknya kok bisa sampai masuk rumah sakit?"
"Ya, bisa, Bu! Mas Gama ditonjok sama Manda, dihajar habis-habisan sampai tak berdaya dan tak sadarkan diri!"
"A-apa? Anak kurang ajar sekali! Apa gadis itu tidak punya sopan santu sampai menghajar ayahnya sendiri?"
"Entahlah, Bu! Mawar juga bingung, disini siapa yang salah? Mas Gama? Melati? Manda? Atau justru kita?"
"Kok, kita?"
"Ya, karena awal permasalahannya dari kita! Bukan kita sih, tapi aku lebih tepatnya. Aku yang datang dan masuk ke dalam kehidupannya!"
"Mas Gama sudah beberapa kali ceroboh dan mungkin saat ini adalah puncaknya! Sebab, saat ponsel Mas Gama tertinggal dirumah maka semuanya ketahuan dalam sekejap! Mereka bertengkar hebat, ternyata Manda mendengar semuanya!"
"Dan, jadilah seperti sekarang ini! Mas Gama berakhir di rumah sakit dalam keadaan tak berdaya."
"Ibu gak habis pikir, kok bisa Gama kalah sama anak kecil? Padahal, Manda itu badannya kecil, bukan? Kok bisa Gama kalah?"
"Manda atlet, Bu! Jadi tak sulit untuk melumpuhkan lawannya, apalagi Papinya yang sudah diketahui dimana titik kelemahannya. Sekarang, aku sedang, bingung."
"Bingung akan hal apa lagi?"
"Bingung untuk menutup semuanya! Menurut penuturan Mas Gama, semua keluarganya sedang berada disini!"
"Sudah! Tidak usah ambil pusing! Tenang saja!"
"Bagaimana bisa tenang, Bu? Keadaannya sekarang kacau!"
"Aduh, Mawar! Jangan melow dan khawatir begitu, deh!"
"Bu, anda saja aku tak menikah dan menjadi istri kedua. Mungkin, jalan ceritanya gak akan seperti ini, ya 'kan?"
*Kamu ini, jangan menyalahkan diri sendiri! Kamu tidak salah! Kalian menikah juga atas keinginan dan permintaan Gama, 'kan? Ya kamu gak salah dong!"
"Sekarang, bukan waktunya kamu melow! Tapi berpikir bagaimana caranya agar mereka tak mengetahui keberadaanmu!"
"Mungkin, untuk beberapa waktu kedepan aku aman, Bu! Karena mereka fokus pada kesehatan Manda tapi setelahnya aku tidak tahu. Mungkin mereka akan mencari tahu?"
"Tak jadi masalah! Bukankah kau pernah datang ke rumah orang tua, Gama?"
***
Malam ini, Gama tak bisa tidur dengan nyenyak setelah melihat sendiri bagaimana rapuhnya, Manda. Ia benar-benar tak menyangka bahwa anak gadis yang selama ini selalu tersenyum hangat, bahagia dan ceria berubah drastis menjadi gadis yang pendiam. Merasa bersalah pun tak ada gunanya, sekarang semua sudah menjadi bubur dan awal mula datangnya masalah ini adalah darinya. Ia merutuki dirinya sendiri karena sudah menjadi lelaki yang bodoh sekaligus Papi yang jahat.
Sampai tengah malam, ia tak bisa memejamkan mata. Dipaksa pun tetap saja tak bisa, semakin dipaksa ia semakin merasakan sakit kepala hebat dan semakin merasa sangat bersalah. Tak tahu lagi harus melakukan apa sekarang, semuanya sudah berantakan. Ia hanya berharap esok hari ada kedamaian yang hadir untuk kedua keluarganya. Baik itu keluarganya dengan Melati dan keluarganya dengan Mawar.
Ia mencoba untuk terus berdzikir dalam hati agar mendapatkan ketenangan dan bisa istirahat memejamkan mata. Setelah cukup lama tak bisa memejamkan mata, akhirnya ia bisa juga memejamkan matanya. Tubuh dan pikiran yang sangat lelah membuatnya benar-benar tidur dengan pulas.
Kehilangan adalah salah satu cara yang paling menyakitkan. Apapun caranya, bagaimana pun jalannya, kehilangan tetaplah kehilangan. Kehilangan itu banyak macamnya, ada kehilangan tapi suatu saat bertemu kembali dan ada kehilangan yang benar-benar kehilangan selamanya tanpa bisa bertemu kembali karena diantara mereka sudah terpisah oleh alam yang berbeda.
Hidup adalah sebuah pilihan? Ya, benar! Semua kehidupan itu bisa kita pilih, baik itu buruk atau baik! Dan jalan hidup yang dipilih oleh Gama adalah jalan yang buruk. Ia tak bisa bersyukur dalam menikmati setiap keadaan, padahal sudah memiliki segalanya, baik itu kebahagiaan, kekayaan dan kedamaian. Namun karena sebuah keegoisan membuatnya menjadi buta dan memilih jalan yang salah.
Gama berada disebuah persimpangan jalan yang keduanya tak bisa ia hanya pilih salah satu. Sebab, dua persimpangan jalan itu benar-benar hidupnya! Sisi kanan ia punya segalanya, istri, anak dan kekayaan juga kedamaian. Sisi kiri ia hanya memiliki istri dan anak laki-laki. Kedua sisi tersebut terlihat sekali ada para istri dan anak yang menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Sisi kanan, ada cinta, kasih sayang dan sebuah harapan untuk mereka bisa kembali bersama. Merajut asa dan melanjutkan kembali kehidupan yang sebelumnya sempat terhenti karena adanya hambatan dan terpaan badai hebat. Sedangkan sisi kiri, ada anak yang selama ini ia harapkan, inginkan dan dambakan. Dua sisi berbeda namun dalam tujuan yang sama yaitu melanjutkan hidup dengan bahagia.
Gama melangkah maju dan benar-benar berhenti di tengah-tengah persimpangan jalan tersebut. Menatap kedua sisi dengan secara bergantian, Melati dan Lea melambaikan tangannya berharap Gama mendekat ke arahnya sedangkan Manda hanya menatapnya dengan tatapan menerawang jauh ke depan tanpa ada niat untuk memintanya kembali.
Sedangkan sisi sebelahnya, ada Mawar yang setia menggendongnya Raka dan melambaikan tangan dengan senyum hangat penuh bahagia ingin menerima kedatangan Gama. Gama menatap mereka bergantian, bingung harus melangkah ke arah yang mana. Gama belum siap menerima sebuah kehilangan, jujur ia tak ingin memilih karena tak siap kehilangan keduanya. Ia ingin hidup berdua damai dalam satu atap tanpa ada amarah, kekecewaan dan air mata.
Jika ada air mata pun nantinya yang diinginkan adalah air mata kebahagiaan, bukan kesakitan. Memejamkan mata untuk sesaat lalu menatap mereka kembali secara bergantian. Kakinya melangkah untuk mendekat ke arah Mawar namun dari arah sebelah terdengar teriakan lantang dari Lea yang memintanya untuk mendekat dan kembali. Permintaan Lea diangguki oleh Melati tapi Manda masih tetap diam menatap tak berselera.
Gama kembali melanjutkan langkahnya ke arah Melati dan kedua anak gadisnya itu. Ingin menentukan pilihan pada mereka yang sudah memberikannya arti hidup yang sesungguhnya, namun langkahnya terhenti karena sebuah penolakan.
"Pergi kamu! Jangan datang kemari!"
"Aku benci, Papi! Aku lebih baik tak punya Papi daripada memiliki tapi harus terbagi!"