“Kamu mengancamku? Bukankah apa yang aku katakan itu memang benar? Kau hanya memanfaatkan kekayaan Raymond.” Aura bangkit dan berusaha menyindir Rose.
“Aura ... aku tahu betul siapa kamu, artis tidak laku. Sayang sekali, cantikmu itu murahan. Usiamu masih muda, tapi caramu licik untuk mendapatkan posisi di dunia entertainment Indonesia.”
“Tutup mulutmu, Rose. Kau dulunya juga sudah redup. Pernikahanmu dengan Raymond yang kembali membuat namamu melambung.” Aura menunjuk Rose dengan tangan kirinya.
Gaven bangkit dan berdiri di depan Rose, “Cukup, Mbak! Berhenti menghina mbak Rose. Sayang sekali kamu itu wanita, kalau saja kamu itu pria, pasti sudah aku habisi,” Gaven membalik tubuhnya dan menatap ke arah Rose, “Ayo, Mbak. Kita segera tinggalkan tempat ini.”
“Ya,” jawab Rose seraya melangkahkan kakinya meninggalkan gedung salah satu radio yang cukup ternama di Jakarta.
Rose menunggu Gaven di gerbang gedung itu, sementara Gaven pergi menjemput mobil ke parkiran. Sesampainya di gerbang, Gaven dengan sigap kembali turun dan membukakan pintu untuk majikannya.
“Silahkan, Mbak.”
“Terima kasih.”
Gaven dengan cepat segera menuju kursi kemudi dan mulai melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang. Sesekali ia menatap majikannya dari kaca spion yang ada di bagian atas kepalanya.
“Gaven, apa saja yang sudah dikatakan wanita tadi?” Rose membuka pembicaraan, raut wajahnya tampak kesal.
“Apa wanita tadi adalah rival anda, Mbak?”
“Lain yang aku tanyakan, mengapa lain pula jawabanmu, Gaven?” Rose menatap netra Gaven dari kaca spion kecil itu.
“Maaf, Mbak.”
“Memangnya apa saja yang ia katakan kepadamu?”
“Ia menawari saya bekerja padanya. Katanya, ia akan membayar lebih tinggi.”
“Oiya? Terus apa jawabanmu?”
“Mbak ini bagaimana? Mbak yang sudah membantu saya keluar dari keterpurukan ekonomi. Mbak yang sudah menawari saya pekerjaan baik ini. bahkan mbak tidak sungkan untuk memberi setengah dari gaji saya di awal. Sementara saya belum bekerja pada mbak. Jadi tidak mungkin saya mengkhianati mbak.”
“Oiya, begitu setianya kamu pada saya?”
“Tentu saja saya setia pada majikan saya.”
“Gaven, kalau memang kamu setia, apa kamu mau melakukan sesuatu untuk saya?” Rose menatap jalanan lewat kaca mobilnya. Jalanan yang sangat sepi semenjak pandemi.
“Melakukan apa, Mbak?”
“Bunuh wanita itu!” Rose mengatakannya seraya memukul pelan bangku penumpang bagian depan yang ada di hadapannya.
“Ap—apa maksud mbak Rose? Bukankah hal itu tidak ada dalam perjanjian kerja kita?”
“Gaven, kamu bekerja pada saya. Katanya kamu setia. Seharusnya kamu menuruti semua yang saya perintahkan.”
“Ta—tapi?”
“Gaven, saya akan membayar lebih tinggi untuk hal itu.”
“Ta—tapi, Mbak?”
“Gaven, saya tidak mau mendengar kata tapi. Atau kesetiaan yang kamu katakan tadi itu hanyalah kebohongan belaka?”
“Tidak ... saya tidak berbohong.”
“Kalau begitu, lakukan perintah saya.”
“Kapan saya harus membunuhnya?”
“Sekarang juga!”
“Baiklah.”
Gaven memperlambat laju mobilnya, lalu menepikan mobil itu. Gaven lalu mengeluarkan secarik kertas yang sudah ia lipat sedemikian rupa. Kertas yang selalu ada kemana pun Gaven pergi. Tidak hanya kertas yang ada dalam kantong celana pemuda itu. Sebuah pensil merk terkenal, juga ada di dalam sana. Pensil yang sudah di potong oleh Gaven hingga berukuran secukupnya masuk ke dalam celana.
Gaven mencari sesuatu untuk digunakan sebagai alas melukisnya.
“Apa yang kamu cari, Gaven?” Rose ternyata memperhatikan setiap pergerakan pemuda itu.
“Apakah ada seuatu yang bisa saya gunakan untuk alas menggambar? Saya harus menggambar wajah wanita itu secara detail.”
“Owh, jadi begitu. sebentar, saya akan cari.”
Rose mulai mencari-cari sesuatu yang bisa ia berikan kepada Gaven. Di dalam kantong bagian belakang kursi kemudi, Rose menemukan sebuah majalah dewasa. Gambar wanita setengah telanjàng, terpampang jelas di bagian depan majalah itu.
“Maaf, hanya ada ini.” Rose memberikan majalah itu kepada Gaven.
“Tidak apa-apa. Terima kasih, Mbak.”
Gaven meletakkan majalah itu di atas stir mobil yang ia kendarai. Lalu meletakkan kertas di atas majalan tersebut. Perlahan, Gaven mulai menggambar wajah Aura dengan sangat jelas dan detail. Rose memajukan sedikit posisi duduknya. Perhatiannya tidak luput sedikit pun dari tangan Gaven.
Lima menit berlalu, lukisan wajah itu sudah selesai. Gambar seorang wanita yang sangat cantik dengan senyuman yang begitu menggoda, terpampang di sana.
“Wau ... lukisanmu sangat indah dan detail. Apa seperti itu caramu membunuh?”
Gaven tidak menjawab. Ia malah merentangkan telapak tangan kirinya ke arah Rose, menyuruh wanita itu diam.
Rose langsung terdiam. Ia terus memperhatikan apa yang dilakukan pemuda tampan yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba, mobil itu berubah menjadi merah. Sinar mata Gaven menyinari seisi mobil, hingga tembus keluar mobil. Rose spontan menutup matanya karena silau cahaya merah itu sudah menganggu penglihatannya. Walau hanya sekejap, namun sinar merah yang keluar dari netra Gaven, cukup mampu membuat siapa saja bergidik. Sinar merah yang menyeramkan dan menakutkan.
Setelah semua selesai, Gaven melipat kertas—yang berisi gambar Aura—dengan baik. Ia menyimpan kembali semuanya dengan baik ke dalam saku celananya.
“Apa semua sudah selesai?” tanya Rose setelah membuka kembali matanya.
“Sudah, Mbak. Tunggu saja beritanya sebentar lagi.” Gaven kembali melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang.
“Gaven, maaf ... apa sinar merah dari matamu tidak berpengaruh kepada saya?” Rose sedikit bergidik, karena ia merasakan perasaan aneh setelah menyaksikan langsung cara Gaven melakukan pembunuhan hingga netranya berubah merah semerah darah.
“Tidak, Mbak. Mbak tidak perlu khawatir. Orang yang bukan saya tuju, tidak akan merasakan efek apa pun terhadap sinar itu.”
“Hhmm ... syukurlah.”
Rose langsung mengambil gawaynya dan membuka salah satu portal berita online. Belum ada apa-apa di portal berita itu. Portal yang biasanya selalu update.
Rose menyimpan kembali gawaynya. Perasaannya tidak menentu. Rose benar-benar penasaran, apa yang kini sedang terjadi pada Aura.
Sekilas info hari ini. Seorang penyanyi muda bernama Aura Novelia, ditemukan tewas mendadak sesaat setelah melakukan kegiatan on air di radio Bahagia. Aura di duga meninggal karena serangan jantung. Namun ada juga dugaan bahwa Aulia meninggal karena terjangkit virus mematikan yang kini tengah melanda seluruh dunia ...
Rose terperanjat, ia seakan tidak percaya. Aura diberitakan tewas mendadak oleh Radio tempat wanita itu baru saja selesai on air.
“Gaven, Stop!”
“Ada apa, Mbak?” Gaven menepikan mobilnya dan berhenti seketika.
“Kita kembali ke tempat tadi.”
“Maksud mbak ke tempat radio tadi?”
“Iya.”
“Untuk apa?”
“Balik saja, tapi agak menjarak ya ... aku ingin lihat apa yang terjadi di sana.”
“Baiklah, kita akan kembali ke sana.”
Gaven memutar kemudinya dan kembali ke tempat ia bertemu dengan wanita bernama Aura. Gaven mengetahui nama itu dari Rose dan dari berita yang ia dengar lewat siaran radio.
Tidak jauh dari lokasi, Gaven menepikan mobilnya. Gedung radio itu sangat ramai oleh orang-orang yang penasaran ingin melihat apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana.
Beberapa orang petugas kesehatan berpakaian APD lengkap, datang untuk mengevakuasi jasad Aura yang sudah terbujur kaku secara misterius di gedung itu. Kuat dugaan Aura meninggal karena serangan jantung atau terjangkit virus.
“Hahaha ... rasakan Aura, berani macam-maca denganku, maka nyawamu taruhannya.” Rose menatap sinis ke arah tandu yang tengah dibawa oleh petugas kesehatan. Tandu yang di akhirnya di masukkan ke dalam mobil ambulans. Salah satu anggota tim kesehatan itu, menyemprotkan cairan desinfektan ke semua lokasi yang menjadi tempat persinggahan Aura.
“Maaf, Mbak. Apa tidak terlalu berlebihan membunuhnya untuk membalas sakit hati mbak?”
“Apa yang kamu katakan Gaven? Sakit hati? Aku rasa bukan aku seorang yang bahagia dengan kematian wanita itu. Banyak jiwa yang lain yang juga berbahagia dengan kematiannya. Bahkan aku yakin, orang tuanya juga senang dengan kematiannya.” Rose tersenyum kecut.
“Maksud, Mbak?”
“Kamu ini terlalu polós apa memang kurang update tentang perkembangan dunia artis, Gaven? Kamu cari saja sendiri di goggle. Siapa dan bagaimana seorang Aura Novelia. Baik di kehidupan nyata mau pun dunia maya.
“I—iya ... Baik, Mbak. Maaf kalau saya sudah lancang.”
“Tidak Gaven, aku justru suka dengan pria kritis sepertimu. Sudahlah, mari kita menuju butik Igun. Aku ingin mencoba baju yang akan aku gunakan untuk acara nanti.”
“Siap, Mbak. Kita berangkat sekarang!”
Gaven kembali mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Ia turut senang melihat Rose bahagia.