BAB 12 – Pesona Gaven

1631 Kata
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Gaven sudah bersiap hendak pergi ke rumah majikannya. Ia sudah mengenakan pakaian terbaiknya. Gaven terduduk dan tercenung di atas ranjangnya. Mimpinya semalam, begitu mengusik ketenangan jiwanya. Ia masih belum bisa mereka-reka, apa maksud mimpi buruk semalam. Siapa sebenarnya sosok tinggi besar dengan wajah menyeramkan yang ia temui semalam. Mengapa sosok itu malah menyuruh Gaven membunuh siapa saja. Di tengah kegundahan hatinya, tiba-tiba Gaven mendengar suara derik pintu dibuka. Anna masuk ke kamar Gaven dan duduk di samping putranya. “Gaven, ada apa, Nak? Dari tadi ibu panggil, tapi tidak ada jawaban darimu.” “Ibu ... maaf, Gaven tidak mendengar suara ibu.” “Apa ada masalah?” “Masalah? Ti—tidak, Gaven tidak punya masalah apa pun. Gaven hanya memikirkan mimpi Gaven semalam.” “Mimpi? Mimpi apa?” “Ada seseroang yang menemuiku, Bu. Sosok tinggi besar dengan wajah menyeramkan. Ia datang dan mengaku sebagai leluhurku.” Gaven tertunduk. Anna terkejut mendengar penjelasan Gaven, “Nak, apa kamu sudah membunuh pengawal artis itu?” Gaven mengalihkan pandangannya ke wajah ibunya. Kini ia menatap netra ibunya, “Mengapa ibu bertanya seperti itu?” “Gaven, jujurlah pada ibu, Nak.” “Tapi bagai mana jika ayah tahu?” “Ibu tidak akan memberi tahu ayahmu.” Gaven meghela napas panjang. Tidak ada gunanya ia tutupi semua kenyataan yang ada. Jika orang tuanya tahu di kemudian hari, mungkin itu akan lebih menyakitkan. “Ya ... aku sudah membunuhnya.” Anna tersentak, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Ia tidak percaya dengan apa yang disampaikan Gaven. Tujuh belas tahun lamanya Anna dan Matheo berjuang untuk mendidik Gaven agar pemuda itu melupakan kekuatan yang ada pada dirinya. Tujuh belas tahun, Gaven hidup normal tanpa mengingat kembali mata merahnya. Namun kini, putra mereka kembali menjadi seorang pembunuh. Tujuh belas tahun yang lalu, korban pertama Gaven adalah Deno. Bocah enam tahun yang sudah menyakitinya. Setelah itu tidak ada korban lainnya lagi, hingga kini Gaven kembali membunuh seseorang. “Ma—maafkan Gaven, Ibu. Gaven tidak mampu mengendalikan emosi Gaven. Pria itu sudah berlebihan menghinaku.” Gaven menatap Anna, ada gurat penyesalan di matanya. “Hhmm ... semua memang sudah digariskan, ibu tidak mampu untuk mencegah. Ibu hanya berharap agar Gaven tetap berusaha mengendalikan semuanya. Kalau pun sudah waktunya, gunakanlah kekuatan itu untuk kebaikan, jangan sebaliknya.” “I—iya, Bu.” Gaven tidak mampu untuk berkata jujur. Pemuda itu tidak mampu untuk menceritakan semua yang ia alami dalam mimpinya. Ibu dan ayahnya pasti akan kecewa. “Ya sudah, mari kita makan. Ibu sudah memasak untuk kita. Bukankah ini adalah hari pertamamu bekerja? Jangan sampai terlambat dan pastikan kalau semua baik-baik saja. Lindungilah Rose dengan baik, tapi usahakan jangan sampai membunuh. Ingat pesan ibu, Nak.” “Iya, Bu.” “Mari kita keluar.” Gaven dan Anna keluar dari kamar itu menuju ruang makan. Matheo sudah menunggu seraya memainkan gawaynya. Pria paruh baya itu masih sibuk dengan berita semakin meluasnya penyebaran virus mematikan yang sudah menguasai seluruh dunia. “Bu, lihatlah ... ada lagi tenaga kesehatan yang meninggal karena virus. Satu diantaranya adalah seorang dokter.” Matheo memperlihatkan gawaynya kepada Anna sesaat setelah Anna duduk di kursinya. “Kasihan ....” Hanya satu kata yang keluar dari bibir Anna, sementara Gaven hanya terdiam. “Sudahlah, ayo kita mulai sarapan. Ibu sangat bersyukur Gaven bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Sekarang kita tidak perlu khawatir kelaparan lagi.” “Iya, ayo kita makan. Gaven, maafkan ayah jika ayah sudah melibatkan dirimu dalam mencari nafkah. Tidak seharusnya seperti ini.” “Tidak apa-apa ayah ... Gaven senang melakukannya. Marilah kita mulai sarapannya, sebab Gaven harus segera berangkat kerja.” Anna, Matheo dan Gaven menikmati sarapan mereka yang istimewa. Sarapan enak, pertama semenjak PSBB diberlakukan di daerah itu. - - - “Selamat pagi, Mbak.” “Pagi, Gaven ... lima belas menit lebih awal. Bagus, saya suka orang datang di awal waktu. Mau sarapan bareng?” Rose memang sengaja menyuruh Gaven menyusulnya ke meja makan. Di sana hanya ada dirinya dan Liliana. “Tidak mbak, terima kasih. Saya sudah sarapan. Lagi pula tidak pantas rasanya saya ikut sarapan bersama kalian.” Netra Gaven sekilas menatap Liliana yang tengah menyantap sarapannya. Namun sayang, Liliana terus menyantap makanannya tanpa memedulikan Gaven. “Hhmm ... saya pikir kamu belum sarapan, makanya saya suruh ke sini.” “Ma—maaf, saya sudah menyelesaikan sarapan saya.” “Baiklah, kalau begitu silahkan panaskan mobil dulu. Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Ini kuncinya.” “Siap, Mbak. Kalau begitu saya permisi.” “Hhmm ... silahkan.” Gave pun meninggalkan Rose dan Liliana. Dua orang wanita cantik yang tengah menikmati sarapan mewah mereka di meja makan super mewah. Meja makan besar dengan berbagai jenis makanan. Namun di sana, hanya ada mereka berdua yang menikmati makanan itu. “Lian, kamu tidak tertarik dengan Gaven?” Rose mulai menggoda putri sambungnya. “Maksud mama?” “Gaven itu istimewa, ia punya kekuatan yang luar biasa. Kamu bisa manfaatkan dia kalau kamu mau. Mama perhatikan sepertinya Gaven menyukaimu.” “Tidak, Ma. Lian tidak tertarik. Lagian pemuda itukan pengawalnya mama, bukan pengawalku.” “Kamu ini, hehehe ... Pengawal mama’kan pengawalmu juga, Lian?” “Lian gak butuh pengawal, sebab Lian nggak kemana-mana juga. Lian juga nggak seperti mama, yang jadi incaran paparazi, hehehe.” Liliana tersenyum manis. Hubungannya dengan Rose memang cukup baik. “Baiklah, Sayang ... kalau begitu mama pergi dulu. Mama ada acara on air di radio.” Rose mendekati Liliana dan mencium puncak kepala gadis itu. “Iya, Ma. Hati-hati di jalan.” Rose pun berlalu menuju gerbang rumah yang lebih mirip istana itu. Gaven sudah menunggu majikannya di kursi depan rumah seraya kembali mengagumi keindahan dan kemewahan rumah Raymond—suami Rose. “Gaven, ayo berangkat.” “Iya ... Siap, Mbak.” Gaven dengan cepat berjalan lebih dahulu dan membukakan pintu penumpang untuk Rose. “Terima kasih,” ucap Rose. “Sama-sama, Mbak.” Setelah memastikan pintu penumpang tertutup sempurna, Gaven dengan cepat berjalan menuju kursi kemudi, masuk ke dalam mobil dan mengenakan sabuk pengaman dengan baik. “Langsung ke radio, Mbak?” “Iya, saya ada jawal on air dua puluh menit lagi. Setelah dari sana, antarkan saya ke butik Igun, saya mau mencoba baju yang sudah saya pesan.” “Siap, Mbak. Saya siap mengantar kemana pun mbak Rose mau.” Diam-diam, Rose memperhatikan Gaven dari belakang. Wanita itu cukup tertarik dengan ketampanan fisik dan juga tubuh tegap pemuda itu. Paras menawan, tutur bahasa yang lembut dan kekuatan super yang ia miliki, mampu membuat Rose jatuh hati. Rose pun mengambil gawaynya dan mulai merekam Gaven secara diam-diam dari belakang. Setelah puas merekam, Rose pun mulai menikmati rekamannya. “Maaf, Mbak. Kita sudah sampai.” “Oiya? Owh, karena asyik bermain hand phone, saya jadi tidak melihat sekitar.” Gaven kembali dengan sigap turun dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Rose. “Terima kasih ... kamu bisa menunggu saya di ruang tunggu studio. Kamu tidak keberatan bukan?” “Tentu tidak, Mbak.” “Baiklah, saya masuk dulu. Silahkan kamu parkirkan mobil terlebih dahulu.” “Iya, Mbak.” Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Gaven kembali ke ruang studio radio itu. Ia duduk di salah satu kursi tunggu, kursi yang langsung menghadap ke studio tempat Rose melakukan kegiatan on air.  Sesekali, Gaven memperhatikan wanita cantik itu dari balik kaca bening tebal. Gaven cukup kagum dengan kecantikan yang dimiliki Rose. “Hai, sedang menunggu jadwal on air juga.” Gaven dikejutkan oleh sapaan seorang wanita muda. Gaven tidak terlalu mengenal wanita itu, sepertinya artis baru. Apalagi wajah cantiknya tertutup masker. “Tidak, saya sedang menunggu majikan saya.” “Majikan? Maksudnya?” “Iya, saya hanya seorang sopir, Mbak. Mbak Rose adalah majikan saya.” Gaven menjawab jujur. “Wau ... Rose punya sopir sekeren kamu? Beruntung sekali. Dibayar berapa sama Rose.” Gaven memang tengah melepas maskernya karena gerah. Wajah tampannya terlihat sempurna oleh pantulan lampu ruangan itu. “Maksud, Mbak?” “Kalau kamu mau, bekerja denganku saja. Cowok sekeren kamu nggak pantas jadi sopir. Kalau kamu mau, aku bisa bayar lebih tinggi dari Rose, bagaimana?” Wanita muda yang belum Gaven ketahui namanya itu, mulai menggoda. “Maaf, Mbak. Saya tidak ingin mengkhianati mbak Rose. Di saat saya terdesak, beliau yang sudah memberikan saya pekerjaan dan mengeluarkan saya dari masa sulit. Jadi saya tidak mungkin mengkhianatinya.” “Keren, jarang-jarang lho ada lelaki setia seperti kamu. Ke majikan saja setianya seperti itu, apalagi kepada kekasih. Kamu sudah punya pacar?” “Pacar? Tidak, siapa yang mau sama saya. Saya hanya pria sederhana.” Wanita itu mengibas rambutnya. Gaven merasakan wangi bunga dari rambut wanita itu. wanita itu merubah cara duduknya, mengganti masker yang ia kenakan dengan face shield. Wajahnya sangat cantik dengan tubuh yang begitu menggoda kini terlihat jelas. “Kamu mau jadi pacar saya?” “Ma—maksud, Mbak?” “Jadi pacar saya ... terserah kamu menganggapnya pacar beneran atau bohongan. Kamu sangat tampan dan keren, tidak pantas untuk jadi seorang sopir.” Gaven mulai risih, wanita itu sudah mulai berlebihan menggodanya. Rose melihat dari dalam studio bagaimana tingkah rivalnya itu terhadap Gaven. Rose menjadi gelisah dan tidak nyaman. “Maaf, Mbak. Saya tidak suka sebuah kepura-puraan. Saya juga tidak ingin menjalin hubungan jika tidak didasari cinta.” “Ah, kamu sok jual mahal. Dibayar berapa sich kamu sama Rose, ha? Atau jangan-jangan kamu juga simpanannya Rose ya? aku tahu banget siapa Rose itu. Dia itu mana puas sama Raymond. Rose itu hanya memanfaatkan kekayaan Raymond saja.” “Gaven, ayo kita pergi sekarang! Dan kau Aura, jaga ucapanmu itu. Kau akan menyesal karena sudah berkata seperti itu tentangku.” Rose tiba-tiba datang dan langsung mengatakan hal yang membuat Aura bergidik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN