BAB 14 – Menyentuh Liliana

1406 Kata
Setelah selesai dari butik Igun dan memastikan pakaian yang ia pesan sudah sesuai dengan keinginannya, Rose meminta Gaven kembali mengantarkannya pulang ke rumah. Rose tidak ingin berada terlalu lama di luar rumah. Ia takut, sewaktu-waktu dirinya bisa saja terjangkit virus yang mematikan itu. Sesampai di basement, Rose mengajak Gaven naik ke atas menuju ruang kerja pribadinya. Ia ingin memberikan bonus untuk pekerjaan Gaven hari ini. “Gaven, selain membunuh, apa lagi kelebihanmu? Apakah kau bisa menyembuhkan orang yang sakit?” ucap Rose sesaat setelah sampai di ruang kerja pribadinya. Rose duduk di salah satu sofa, sementara ia menyuruh Gaven duduk di sofa lainnya. “Tidak, Mbak. Saya hanya bisa membunuh, itu saja.” “Oiya? Apa kamu sudah mencari tahunya?” “Tidak, bahkan saya sudah melupakannya. Korban pertama waktu itu adalah bocah berusia enam tahun. Kala itu saya berusia tiga tahun. Setelah itu tidak ada korban lagi, tidak ada kekuatan lagi sampai saya bertemu dengan pengawal pribadi anda.” “Oiya? Kalau memang sudah redup, kenapa bisa muncul kembali secara tiba-tiba?” “Itu karena saya tidak mampu mengendalikannya. Perkataan pengawal anda serta keadaan ekonomi, membuat saya panik dan emosi saya menjadi tidak stabil.” “Gaven, kalau kamu mau, kamu bisa bekera sama dengan suami saya. Kamu bisa mendapatkan bayaran yang sangat tinggi untuk itu. Saya pastikan, kamu bisa membahagiakan ke dua orang tuamu. Kamu bisa memberikan rumah, mobil dan apa pun yang ke dua orang tuamu mau.” Rose menawarkan Gaven pekerjaan tambahan lainnya. “Maksud, Mbak?” “Nanti saja kamu bicarakan hal itu dengan suami saya. Oiya, bisa saya minta nomor rekening? Saya mau mentransfer sejumlah uang untuk bonus atas pekerjaanmu hari ini. Atau apa kamu mau saya bayar cash?” “Ta—tapi?” “Sudah, jangan sungkan Gaven. Mau di bayar cash atau transfer ke rekening?” “Transfer saja, sebentar saya lihat dulu nomor rekening saya.” Gaven mengambil gawaynya dan mulai membuka aplikasi ­mobile banking yang ada pada gaway itu. pemuda itu kemudian memberikan nomor rekeningnya kepada Rose. “Aku sudah kirim sepuluh juta rupiah, cukup’kan?” “Se—sepuluh juta?” “Iya, kenapa? Kurang ya?” “Ti—tidak, Mba. Terima kasih.” Gaven jengah, wajahnya memerah karena merona. “Kalau kamu mau bekerja sama juga dengan suami saya, saya pastikan kamu bisa dapat lebih dari itu. Dalam tiga sampai empat bulan, kamu pasti sudah bisa membelikan mobil untuk ke dua orang tuamu.” Rose kembali membujuk Gaven. “Nanti akan saya pikirkan lagi.” “Baiklah Gaven, saya mau istirahat. Sepertinya hari ini saya tidak akan kemana-mana lagi. Silahkan jika kamu mau pulang. Tapi ingat, kapan pun dalam dua puluh empat jam, kamu harus siap saya hubungi dan datang ke sini.” “Siap, Mbak!” “Kalau begitu saya mau ke atas, mau beristirahat di kamar saya. Kamu silahkan kembali dulu.” “Ya, Mbak. Terima kasih.” Rose pun berlalu meninggalkan Gaven menuju kamar pribadinya yang terdapat di lantai tiga rumah itu. Tidak lama, Gaven pun pergi meningalkan ruang kerja pribadi Rose. Ia ingin pulang dan mengistirahatkan diri di ranjangnya. Setelah melakukan kekuatannya, Gaven sedikit lelah. Bugh ...!! “Aww ...!!” Tepat di saan Gaven baru keluar dari ruangan itu, Liliana juga lewat di depan sana. Tanpa sengaja Gaven menubruk tubuh cantik Liliana hingga gadis itu tersungkur. “Ma—maaf ... maaf, saya tidak sengaja, Mbak.” Gaven menjulurkan tangan kanannya untuk membantu Liliana berdiri. Liiana menerima uluran tangan itu. tangan Liliana yang halus dan lembut bertemu dengan kulit Gaven yang juga tidak kalah halus. Cukup lama mereka berpegangan tangan dan saling tatap. Walau Liliana sudah dalam posisi berdiri sempurna, namun sepasang tangan yang saling dekap itu masih belum mau terlepas. Baik Liliana maupun Gaven, merasakan ada getaran-getaran yang tidak biasa dalam hati mereka. “Mbak, anda tidak apa-apa?” Pertanyaan Gaven malah membuat Liliana segera melepaskan tangannya dalam dekapan tangan Gaven. Gadis itu jengah. “Ti—tidak apa-apa.” “Maaf, saya tidak sengaja menabrak anda. Saya baru keluar dari pintu dan tiba-tiba saja anda sudah tersungkur.” Gaven merasa bersalah. “Tidak, bukan salahmu. Saya yang salah, saya yang tidak melihat jalan. Kalau begitu saya permisi, saya mau ke taman belakang, ingin berenang.” “Oiya? Manis sekali.” Liliana mengernyit, “Maksudmu?” “Ah, Tidak ...  anda jangan salah paham. Saya pikir, anda pasti sangat manis ketika berenang.” “Kenapa? Jadi kalau sekarang saya tidak manis?” Liliana mulai menggoda Gaven. Ia cukup tertarik dengan sikap sopan pemuda itu. “Ti—tidak, maksud saya bukan begitu.” Gaven menyugar rambutnya berkali-kali, ia jengah. “Mau berenang juga?” “Apa?!” Gaven tersentak tatkala mendengar tawaran Liliana. “Mengapa wajahmu jadi memerah? Saya hanya mengajak berenang, bukan bercìnta.” “He—eh ... maaf, Mbak. Saya harus segera pulang.” Gaven benar-benar jengah. Ia tidak mampu lagi menyimpan rona merah di pipinya. Terlebih dadanya juga berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Liliana membiarkan Gaven pergi. Gadis itu tersenyum manis tatkala melihat langkah kaki Gaven yang begitu tergesa-gesa. Ia pun akhirnya membalik badan dan berjalan menuju kamarnya. Di dalam kamar mewah berukuran tujuh kali tujuh meter miliknya, Liliana terduduk di atas ranjang seraya mencium tangan kananya. Sentuhan lembut dan tulus dari Gaven, masih terasa di jari-jari panjang dan lentik itu. Tuhan ... mengapa aku jadi memikirkan pria itu? Mama benar, Gaven memang sangat tampan dan sopan. Hatiku jadi berdebar, Liliana bergumam dalam hatinya seraya menatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin besar yang terdapat dalam kamar itu. Liliana terus memikirkan tatapan Gaven yang tidak biasa. Tatapan kagum penuh cinta. - - - - - Gaven mulai mengendarai motor besar yang dipinjamkan oleh Rose sebagai kendaraan operasional untuknya. Ia mengendarai kendaraan roda dua itu dengan perasaan berdebar. Sama seperti Liliana, Gaven juga merasakan ada getaran yang tidak biasa di dalam hatinya. Tangan kanannya yang sudah menyentuh telapak tangan mulus Liliana, terasa begitu istimewa. Berkali-kali pemuda itu menciumi telapak tangannya. Halusinasinya membuat Gaven merasakan seolah-olah wangi Liliana melekat erat di kulit tangannya, sehingga Gaven merasakan tangannya begitu wangi. Liliana ... sayang, kamu terlalu tinggi untuk aku raih. Aku harus sadar diri, Gaven bergumam dalam hatinya. Untuk pertama kalinya Gaven mengenal rasa, dan itu kepada wanita yang salah menurutnya. Gaven terus melajukan kendaraannya. Hari ini dua keburuntungan menyertainya sekaligus. Bonus yang besar, dan juga pertemuannya dengan Liliana. Gaven benar-benar bahagia. Sesampainya di rumah, Gaven langsung disuguhkan berita kematian seorang penyanyi muda lewat televisi yang tengah ditonton oleh Anna dan Matheo. Artis yang diduga meninggal karena virus jahat yang sudah menyebar di seluruh pelosok negeri. Virus jahat yang berasal dari negeri tirai bambu. Artis cantik itu, mendadak kembali terkenal setelah namanya mulai redup semenjak pandemi. Bukan terkenal karena prestasi, tapi terkenal karena kematiannya yang penuh misteri. Semua media memberitakan seorang Aura Novelia. Gaven mendengar manajer Aura menyatakan bahwa Aura tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit lainnya. Aura bahkan terkenal merupakan salah satu artis yang begitu menjaga penampilan dan kesehatannya. “Kalau begitu, kuat dugaan jika Aura meninggal karena virus ya?” Gaven mendengar wartawan menanyakan hal itu kepada narasumber. “Entahlah, bisa jadi. Tapi Aura tidak pernah mengeluhkan sakit selama ini. Tiba-tiba saja ia tumbang dan meninggal dunia sesaat setelah keluar dari studio setelah melakukan kegiatan on air.” Sejenak kemudian, Gaven melihat sepasang paruh baya tengah diwawancara di tempat berbeda.  Sepasang paruh baya yang sama sekali tidak tampak bersedih. Paruh baya dengan mimik wajah yang biasa saja. “Jadi bagaimana perasaan bapak dan ibu atas tewasnya Aura Novelia yang secara tiba-tiba? Apakah bapak dan ibu tidak berniat mengunjungi Aura?” “Untuk apa? Bagi kami, Aura Novelia sudah lama mati. Yang kalian beritakan itu bukanlah Aura anak kami. Aura anak kami sudah mati lima tahun yang lalu. Ketika ia dengan pongahnya mengusir kami berdua dari rumahnya. Kami menyusulnya ke Jakarta karena rindu, tapi ia malah mengusir kami dan melempar suami saya keluar dari rumah mewahnya itu.” Wanita paruh baya yang merupakan ibu kandung dari wanita yang sudah dibunuh Gaven, terisak menceritakan kisah hidupnya. “Maaf, jadi semenjak kejadian lima tahun yang lalu, Aura Novelia tida pernah mengunjungi bapak dan ibu lagi?” “Tidak, ia sudah menganggap kami mati, dan kami pun juga demikian.” Gaven tersentak setelah menyaksikan berita siang ini. Anna dan Matheo juga begitu fokus menyaksikan hebohnya berita kematian seorang penyanyi muda berbakat Indonesia. Karena terlalu fokus, mereka tidak tahu jika Gaven sudah berada di tengah-tengah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN