Pukul lima pagi, Lion, Liana dan Kevin sudah siap menggunakan Jeep yang Kevin sewa. Mereka beralasan pada Akbir jalan-jalan ke puncak Bogor. Dan tanpa curiga, Akbir dan Veve mengizinkan putra-putri mereka.
Liana mengantongi hp nya. Seraya tersenyum kecil, ia menggosokkan tangannya untuk menghilangkan kegugupan yang dia rasa. Ia gugup dengan konsekuensi apa saja yang bisa terjadi, bila Bima mengetahui dia mendaki.
"Kamu kenapa kayak takut gitu, Dek?" tanya Lion menepuk pundak adiknya. Liana nampak tersenyum sekilas.
"Lo takut sama Bima? Lo sadar gak sih. Bima itu siapa Lo? Cuma sahabat kan? Gak usah takut berlebihan!" ujar Kevin santai seraya menyetir.
Benar kan yang dikata Kevin? Bima hanya sahabat Liana. Lantas kenapa Liana takut? Liana sadar, kalau selama ini ia terlalu menuruti apa kata Bima. Dikit-dikit takut, membuat Liana tidak merasakan kebebasan.
Sesampainya di tempat pendakian, mereka segera berkumpul dan membentuk tim. Setiap Tim terdiri dari enam orang. Setelah mendengarkan instruksi, mereka segera mendaki. Liana sangat senang, akhirnya setelah sekian lama ia bisa merasakan hawa pegunungan lagi.
"Lo kuat kan, Li?" tanya Kevin memastikan. Liana mengangguk. Jelas ia kuat, dia kan sering mendaki.
"Kalau capek bilang, Dek!" Ucap Lion memperingati Liana. Liana mengacungkan jari jempolnya pada sang kakak.
Di sisi lain. Bima tengah menahan amarahnya saat ia mengecek lokasi Liana di ponselnya. Liana sedang mendaki dan tanpa seijinnya. Pantas tadi malam Liana tidak membalas pesannya. Kali ini Bima merasa kecolongan oleh gadis kecilnya. Bima sudah mengaktifkan fitur lokasi di HP Liana, hingga memudahkan Bima menemukan gadis itu. Namun kali ini Bima merasa sangat dibodohi. Bisa-bisanya Liana pergi tanpa seijin nya.
"b*****t!!" maki Bima menendang motor Kevin yang diparkir di halaman rumahnya.
"Lo udah berani main-main sama gue, Vin," geram Bima saat mengecek lokasi Kevin di tempat yang sama dengan Liana. Bima sudah menebak kalau Kevin lah dalang di balik pendakian.
"Nak, ngapain sih? Marah marah gitu?" tanya Rara sambil membawa sapu.
"Mommy, Bima nikah boleh?" tanya Bima balik.
"Nikah? Emang ada yang mau sama kamu?" semprot Husein kaget. Pria itu sejak tadi berdiri tak jauh dari Bima dengan membawa selang air. Mumpung hari minggu, ia dan istri berencana bersih-bersih rumah.
"Daddy gak usah kumat deh. Pokoknya Bima mau nikah sekarang juga!" sungut Bima kesal. Husein terbahak mendengar ucapan anaknya.
"Dad, Bima serius. Mommy boleh ya Bima nikah?" tanya Bima memohon pada Rara.
"Emang mau nikah sama siapa?" tanya Rara lembut. Ini yang disukai Bima dari Mommy-nya. Tak pernah sekalipun sang mommy membentaknya. Kalau dia salah, pasti mommynya akan menasihati dengan cara lembut. Tidak seperti daddy-nya yang selalu mencak-mencak kayak orang kesurupan.
"Sama Liana," jawab Bima yang langsung membuat Husein melotot.
"Tidak bisa. Jangan merusak masa depan anak gadis orang!" sentak Husein. Ia tidak setuju Bima mengajak Liana menikah muda. Menikah tidak seenak yang dibayangkan. Apalagi mereka masih muda. Husein tau betul tabiat anak sulungnya yang gak ada sabar-sabarnya. Dan berumah tangga sangat butuh kesabaran. Belum lagi Liana, Liana belum tentu mau dengan Bima. Apalagi Akbir dan Veve juga. Husein yakin mereka tidak akan merestuinya. Veve sudah pernah bilang tidak akan mengizinkan putrinya nikah di usia muda. Karena nikah muda juga pernah dirasakan Veve, Veve merasakan nikah muda itu sangat menyiksa. Bagaimana ia dikucilkan dan di bully. Sampai sekarang pun, teman Veve hanya Rara.
"Bima gak peduli. Pokok Bima mau nikah sama Liana. Dan tolong daddy kasih tau sama Kevin, jangan coba-coba ikut bersaing dengan Bima. Bima gak akan segan-segan kalau Kevin melewati batas," ucap Bima pada daddynya. Ia mengambil kunci mobilnya dan melenggang pergi begitu saja.
"Turunan gue seratus persen," cibir Husein melihat punggung Bima yang menjauh.
******
Liana menahan napasnya yang sudah ngos-ngosan. Liana melirik Lion dan Kevin yang serius dengan pendakiannya. Tangan Liana merogoh saku celananya. Seketika wajahnya berubah pucat pasi. Ia melupakan sesuatu yang wajib dia bawa kemanapun. Liana berhenti sebentar. Membongkar tas untuk mencari sesuatu yang ia butuhkan.
"Ada apa, Dek?" tanya Lion yang melihat adiknya berhenti. Liana tersenyum manis agar kakaknya tidak khawatir.
"Gak papa kak. Cuma ambil minum," jawab Liana sesekali meraup udara rakus. Lion hanya mengangguk.
"d**a gue sesak banget," ringis Liana memegangi dadanya. Mau kembali ke pos tapi sangat sayang. Ia juga tidak ingin membuat Lion dan Kevin khawatir.
"Liana nyusul aja kak. Kaka dan yang lain duluan aja!" ucap Liana mengurut dadanya sendiri.
"Baru segini aja payah lo!" ejek Kevin menjitak kening Liana. Liana mendengus sebal, selalu seperti itu.
"Kapten basket SMA garuda, terkapar lemah tak berdaya saat mendaki gunung," cibir Kevin seoalah pembawa acara berita.
"Woy, ngajak baku hantam lo? Sini gue ladenin!" teriak Liana menjambak rambut Kevin.
"Aduuhh ... duhh ... rambut gue," pekik Kevin memukul lengan Liana agar melepas jambakannya.
"Sudah sudah. Ayo lanjutkan perjalanannya!" ajak Lion yang diangguki keduanya. Liana berjalan terlebih dahulu. Membuktikan pada Kevin kalau dia bisa.
"Lihat aja. Gue bakal sampai ke puncak lebih dulu!" kesal Liana mengejek Kevin.
"Preeeet paling keras!" ucap Kevin santai yang malah membuat Liana kesal. Ia berjalan tergesa-gesa tanpa melihat ada batu licin yang membuatnya terpeleset.
"Akhhh!!"
"Liana!" pekik Lion dan Kevin bersamaan. Dua orang tim mereka juga ikut menoleh. Liana terperosok di tebing yang terjal mengarah ke jurang. Jantung Liana seakan berdetak lebih cepat, dadanya serasa terhimpit. Liana berpegangan pada batang pohon yang sangat besar. Untung refleks yang dia miliki bagus. Bisa meraih batang pohon itu agar tak jatuh ke jurang.
"Dek, tenang ya! Kakak akan ambil tali dulu!" teriak Lion dari atas. Ia membongkar tasnya. Mencari keberadaan tali yang dia siapkan jikalau dibutuhkan saat darurat.
Liana makin sesak. Beberapa kali ia mengambil napas dengan rakus lalu menghembuskan perlahan kembali.
"Liana sabar dulu!" panik Kevin saat melihat wajah merah Liana. Liana bukannya takut terjatuh ke jurang. Ia hanya takut karena dadanya makin sesak. Penyakit asmanya kambuh di situasi tidak tepat.
Lion menjuntaikan tali untuk Liana. Namun, Liana tak serta langsung mengambil tali itu. Fokus Liana terbagi. Kepalanya juga sudah mulai berkunang kunang. Sedangkan Kevin dan Lion sudah panik karena keterdiaman Liana.
"Liana pegang talinya!" teriak Kevin. Liana menggelengkan kepalanya. Dadanya ia pegang dengan erat. Saat saat seperti ini, hanya Bima yang ada di pikiran Liana. Andai Bima ada disini. Pria itu akan membantunya dengan cara yang paling mudah.
"Dek, cepat tarik talinya. Cuacanya mulai tidak bagus!" teriak Lion sudah tidak sabar. Liana menangis, mereka hanya bisa teriak-teriak tanpa tau apa yang dia rasa. Kaki dan tangan Liana juga sudah kesemutan.
"Liana bicara sesuatu!" bentak Lion melihat keterdiaman Liana.
"Bang, cepat hubungi tim yang lain!" panik Lion yang menyadari penyakit Liana kambuh. Kalau dibiarkan terlalu lama, bisa berakibat fatal.
"Sinyalnya tidak ada. Kita juga gak ada yang bawa HT," jawab Kevin membuat kepanikan makin menjadi.
"Kak, kakiku kesemutan," ucap Liana lemah.
"Dadaku juga sakit, sesak kak."
"Dek, tenang dulu, oke! Tarik napas hembuskan perlahan. Kakak akan turun cari bantuan," ucap Lion memalingkan wajahnya menyembunyikan kepanikannya.
"Tidak perlu!" ucap seseorang yang berdiri di belakang Lion dan Bima.
Brukk!!
"Hirup!" Liana menghirup botol oksigen yang disodorkan Bima. Entah datang darimana pria itu, hingga saat ini ikut bergelantungan dengan dirinya di dahan pohon.
"Sudah mendingan?" tanya Bima yang langsung diangguki Liana. Mengetahui Liana sedang mendaki membuat Bima tak bisa berhenti khawatir walau dalam keadaan marah. Tanpa pikir panjang, Bima segera menyusul ke tempat Liana. Untung gunung yang didaki hanya sebelah Kota. Hanya perlu waktu tidak lebih dari satu jam.
"Peluk aku!" titah Bima pada Liana. Liana diam, tidak tau maksud Bima. Liana juga ragu. Ia tidak mimpi bukan? Bagaimana bisa Bima berada di sini? Di tengah tebing yang terjal sama dengan dirinya. Salah memijak sudah masuk jurang. Liana mendongak, melihat Lion dan Kevin yang masih menatapnya.
"Peluk aku, Liana!" bentak Bima membuat Liana kaget. Dengan perlahan, Liana memeluk Bima dengan hati-hati. Liana mengalungkan tangannya di leher Bima, sedangkan kakinya dia lingkarkan di pinggang Bima.
"Jangan dilepas sampai kita sampai atas!" Liana mengangguk. Bima mengambil tali yang langsung ia ikatkan di tubuhnya.
"Angkat!" teriak Bima yang langsung dilaksanakan Kevin. Liana takut, bisa ia lihat punggung Bima tergores batu batu di tebing, tapi sedikitpun pria itu tidak meringis atau mengeluh sakit.
Kevin dan Lion bersusah payah menarik tubuh Bima dan Liana. Berat, tentu saja. Setelah sepuluh menit, mereka berhasil membawa Bima dan Liana keluar dari jurang.
Dengan mode diamnya, Bima menyerahkan air mineral pada Liana yang langsung gadis itu minum.
Bugh!
"Arkhhh!"
Kevin mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Tonjokan Bima sangat kencang, "Ini untuk lo yang sudah mulai lancang," desis Bima kentara sekali kalau ia sedang marah.
Bugh!
"Dan ini untuk lo yang tidak bisa menjaga Liana."
Hening, beberapa orang yang menyaksikan Bima menonjok Kevin, hanya diam tanpa membela. Sorot mata Bima yang tajam mampu membuat semua orang tak berkutik.
"Kalian semua laki-laki, tapi menjaga satu cewek pun tidak ada yang becus!" teriak Bima marah.
"Dan Lo, Lion. Lo seolah paling mampu menjaga Liana. Tapi, nolongin dia terjatuh pun lo tak ada nyali!" ujar Bima mengejek. Ia menekan d**a Lion keras dengan tangannya.
Liana menangis melihat Bima yang seperti itu. Apalagi di kaos Bima bagian punggung terdapat robekan yang menampilkan punggung Bima yang banyak luka gores. Bima berbalik menghadapnya, pria itu merendahkan tubuhnya setengah berjongkok.
"Naik ke punggungku!" perintah Bima pada Liana. Liana menggeleng, "Aku bisa jalan sendi-"
"Aku bilang naik, Liana!" bentak Bima yang lagi-lagi membuat Liana tersentak.
"Tapi punggung kam-"
"Jangan buat aku mengulangi untuk ketiga kalinya, Liana!" sela Bima cepat. Dengan ragu, Liana menaiki punggung Bima. Liana melihat ekspresi Bima yang sama sekali tidak merasa kesakitan.
"Satu lagi, sebelum mendaki pikirkan secara matang-matang rencana dan kebutuhan kalian! Ini alam, jangan main main!" ucap Bima pada orang-orang.
Bima menggendong Liana untuk turun. Liana menangis dalam diam. Ia merasa bersalah dengan Bima, ia selalu merepotkan Bima dalam keadaan apapun.
Setelah sampai bawah. Mereka di sambut dengan para panitia. Saat panitia kesehatan ingin menolong Liana. Bima mencegahnya. Tatapan matanya menghunus tajam kepada siapapun.
"Tidak perlu diperiksa, periksa saja otak panitia acara. Mungkin dia sedang stres hingga tidak membawakan HT untuk para pendaki," ucap Bima dengan tajam. Baginya, ini kesalahan panitia acara yang tidak menyiapkan pendakian secara matang. Ada orang terperosok tidak ada yang cepat tanggap membantu.
Bima membawa Liana ke mobilnya. Mendudukkan Liana di kursi belakang. Bima datang ke tempat ini dengan satpam rumahnya yang ia suruh untuk menyetir, "Pulang pak!" perintahnya pada Pak Maman, satpam rumahnya.
Bima mengambil kotak P3K. Membawa paksa kaki Liana ke pangkuannya. Dalam diam, Bima mengobati Liana. Mengurut Kaki Liana yang kesemutan. Sesekali Liana meringis sakit karena Bima menekan terlalu kencang.
Bima meraih kepala Liana, membawa kepala gadis kecilnya ke pangkuannya, "Tidurlah!" perintah Bima mengusap air mata Liana.
"Tapi punggungmu."
"Jangan pedulikan aku, Liana. Aku bukan siapa-siapa kamu," jawab Bima datar.