Liana makan dengan canggung. Bagaimana tidak canggung kalau Bima menyuapinya dengan wajah yang amat sangat datar, tidak ada ekspresi hangat di wajah pria itu. Liana hanya meremas jari-jari tangannya sambil makan bubur ayam yang Bima beli dari komplek depan. Bima yang mengerti kecanggungan Liana hanya diam sembari terus menyuapi. Memangnya selain itu dia harus ngapain?
"Kamu sekolah apa enggak?" tanya Bima pada akhirnya. Liana mengangguk mengiyakan.
"Gunanya mulut untuk apa, ya?" tanya Bima sinis. Nyatanya setelah Liana sakit, tidak membuat Bima lantas luluh dengan gadis itu. Bima masih marah perkara Liana yang tidak membalas pesannya.
"Iya kak, Liana sekolah," jawab Liana pada akhirnya. Sungguh menyebalkan manusia yang ada di hadapannya itu.
"Sudah habis, sekarang kamu mandi. Kakak siapkan bajunya!" ucap Bima biasa aja. Liana sudah melotot karena kaget.
"Aku bisa sendiri!" ucap Liana.
"Kenapa? Aku hanya ingin menyiapkan seragammu dan pakaian dalam-" buru-buru Liana menutup bibir Bima dengan tangannya.
"Jangan ucapkan kata-kata mesuum! Aku tidak suka!" ucap Liana dengan tajam. Bima tergelak melihat tingkah Liana. Sungguh pacarnya sangat menggemaskan sekali.
"Iya iya!" ucap Bima sembari mencekal tangan Liana.
"Kamu gak usah sekolah, Li. Badan kamu masih anget," ucap Bima ketika merasakan tangan Liana masih hangat.
"Aku mau sekolah!" jawab Liana kekeuh. Kalau dia di rumah, sudah pasti itu akan bahaya karena ada Bima yang sedang libur kuliah. Bisa bisa, ia diapa-apain Bima yang nekat. Kalau sampai itu terjadi, ia mau minta tolong dengan siapa? Sedangkan orangtuanya sedang tidak di rumah.
"Sebaiknya gak usah sekolah!" ucap Bima memegang leher Liana. Ada nada paksaan di intonasi Bima.
"Trus kenapa tadi tanya?" teriak Liana tanpa sadar.
"Hem, sudah berani berteriak ya!" ucap Bima mengetukkan jarinya di dagu.
"Bodo amat!" kesal Liana dalam hati. Namun, dia hanya berani mengumpat di hati, kalau dia keluarkan secara lisan bisa habis dia nanti.
Setelah makan Bima menyuruh Liana tidur dengan bersandar pada dadanya. Alhasil, Liana dipangku Bima. Sungguh posisi yang menguntungkan Bima karena bisa grepe-grepe, tapi bukan posisi yang nyaman untuk Liana. Liana terus bergerak tidak nyaman.
"Berhentilah bergerak, dan pejamkan matamu!" titah Bima.
Dasarnya memang Liana adalah cewek pemalas dan hobby tidur, bersandar di apapun dan di manapun selalu cepat pulas. Di daada Bima contohnya. Lima menit bersandar, Liana sudah jatuh ke alam mimpinya. Apalagi tangan Bima yang mengelus lembut puncak kepalanya membuat Liana makin nyenyak. Liana memeluk perut Bima dengan erat bak koala, membuat Bima terkekeh karena gemas. Kalau sedang begini Bima tidak marah lagi, tapi kalau Liana sudah membuka matanya ada saja yang membuat Bima marah.
"Tadi gerak gak nyaman, sekarang tidur juga!" ujar Bima terkekeh. Ia mengecup kepala Liana yang dia harap kelak akan menjadi istrinya. Pemuda itu rupanya memang sangat percaya diri. Ini dunia nyata yang pacaran lebih dari delapan tahun saja belum tentu jodoh, lalu kenapa harapan Bima setinggi itu untuk memperistri Liana?.
Bahagianya Bima itu cukup simple, yaitu bisa menjerat Liana ke dalam kungkungannya dan Bima mendapatkan Liana untuk hidupnya. Memang kan persahabatan antara laki-laki dan perempuan sangat mustahil bila tak ada cinta. Apalagi Bima sudah mengenal Liana sejak dirinya umur empat tahun. Bima mengenal Liana sejak gadis itu masih bayi, masih sering nangis dan ngompol. Bima terkekeh geli saat mengingat Liana yang berumur empat tahun, saat itu Liana tidak mau pisah dengan dirinya. Ingin selalu ngintilin Bima kemanapun Bima pergi. Namun, Liana lebih terbuka dengan Kevin. Menurut Liana Kevin lebih asyik diajak becanda ketimbang Bima yang tak banyak omong.
Bima menyambar hp Liana yang tergeletak di nakas. Mengecek apa isi hp gadisnya. Bima tersenyum miring saat melihat banyak orang yang menghujat Liana karena story yang Bima buat. Bima menandai satu persatu orang yang menghujat Liana. Di postingan i********: yang dia buat kemarin, Liana langsung banjir DM dari para teman-temannya. Seratus persen DM menghujat, "Awas kalian!" batin Bima.
Di sisi lain, Kevin berjalan dengan mengendap-endap ke arah kelasnya. Tangannya tepat berada di selakangann, melindungi barang berharga agar tak disentuh wanita bar-bar seperti Keysa. Saat sampai di kelasnya, Kevin memandang Keysa yang sibuk menulis, "Ah syukurlah gadis itu tak melihatku!" batin Kevin mengambil duduk. Saking takutnya Kevin menutupi wajahnya dengan buku agar Keysa tak melihatnya. Kevin masih trauma soal Keysa yang memegang tubuh bagian bawahnya, itu kali pertama Kevin digrepe cewek. Meski Kevin terkenal playboy, tidak sekalipun Kevin berani aneh-aneh, tapi ini dia yang dianeh-anehin cewek. Sungguh memalukan.
Keysa yang melihat gelagat Kevin dari kejauhan terkikik geli dalam hati. Bisa-bisanya Kevin bertingkah sepolos itu. Ide usil terlintas di pikiran Keysa. Entah kenapa ia jadi sangat suka menjahili Kevin. Kalau biasanya cowok yang menjahili cewek, ini malah cewek yang menjahili cowok.
Keysa beranjak dari duduknya, ia berjalan menghampiri Kevin yang tidak sadar kalau dirinya mendekat, "Kevin!" bisik Keysa tepat di telinga Kevin. Kevin langsung merinding, pria itu menurunkan bukunya dan melihat Keysa tersenyum menggoda di hadapannya. Bulu kuduk Kevin makin meremang.
"Yang kemarin rasanya gimana?" tanya Keysa dengan genit.
"A ... apa?" tanya Kevin gagu. Ia merutuki dirinya yang gugup di depan cewek penggoda itu.
"Yang kuremas kemarin apa?" tanya Keysa merubah ekspresinya menjadi sok bertanya.
"Dasar wanita Siinting!" ketus Kevin setelah menguasai dirinya.
"Kalau enak ngaku enak. Aku bisa lakukan lagi,"
"Stop it, Key!" teriak Kevin dengan wajah yang merona malu.
"Gemecin banget kalau lagi merona!" ujar Keysa mencolek pipi Kevin. Sontak kelakuan mereka berdua dapat tatapan dari teman-teman kelasnya.
Keysa terbahak melihat ekspresi kesal Kevin. Tawa Keysa membuat semua teman-temannya membulatkan matanya. Seorang Keysa sang preman fakultas bisa tertawa lepas dengan seorang pria bernama Kevin? Dalam hati mereka memuji Kevin yang bisa membuat Keysa tertawa. Selama ini, kehidupan Keysa tidak ada yang tau. Perempuan itu selalu menampilkan ekspresinya yang garang dan tak tersentuh. Keysa memang cewek yang unik. Dia berbeda. Dirinya pun tak pernah dandan mencolok, selalu pakai celana sobek-sobek dan kaos yang dibalut jaket. Fakultas seni di universitasnya membebaskan mahasiswa berpakaian sesukanya asal tidak melewati batas.
Sepulang kuliah, Keysa melajukan motornya ke suatu tempat yang sudah menjadi hidupnya. Di jalanan Gatot subroto, tempat ia menuangkan segala pemikirannya. Setelah memarkirkan motornya, Keysa langsung menuju standnya di samping para seniman jalanan lainnya. Keysa menata kanvas dan cat-cat air yang selalu ia gunakan untuk melukis. Di jalan inilah para pelukis jalanan menyalurkan bakatnya. Hobby yang menyenangkan, kalau ada yang membeli itu bonus.
Daripada pulang ke rumah, Keysa lebih nyaman berpanas-panasan di jalan dengan lukisannya. Keysa bisa menjadi diri sendiri. Bisa merasakan hawa kebebasan yang tidak dia dapatkan di rumah. Hidup sungguhlah kejam, di era modern ini siapa yang kuat bakal menang, siapa yang lemah bakal ditindas. Keysa tersenyum kecut mengingat fakta itu.
Terlahir dari keluarga kaya bukan lah keinginan yang Keysa miliki. Kalau boleh menawar, Keysa lebih memilih lahir di keluarga sederhana namun harmonis, melimpahkan seluruh kasih sayang yang tulus, juga memberi kebebasan untuk berekspresi.
Keysa duduk di kursinya sembari sibuk mecoret-coret kanvas dengan kuas yang sudah dia ceupkan di cat air. Keysa sangat menyukai seni lukis, tapi papanya tidak memperbolehkannya. Mengambil jurusan seni saja dia harus bersitegang dengan papanya.
"Kakak!" panggil seorang gadis cantik memakai dress selutut warna merah. Keysa tidak mendongakkan kepalanya. Ia hapal betul siapa yang memanggilnya. Dia Kaifania atau biasa dipanggil Kai. Gadis cantik yang merupakan adik kandung satu-satunya, Kaifania hanya beda dua tahun dari Keysa. Seperti biasa gadis itu akan menyeret kakaknya untuk pulang ke rumah dengan dalih orang tua mencarinya. Cih, bahkan Keysa tidak ingat jalan rumahnya.
Sudah tiga tahun Keysa memutuskan hidup sendiri, menyewa kontrakan dekat kampusnya. Papa Keysa selalu mengalirkan uang ke rekening gadis itu. Jadi Keysa tak pernah khawatir tak bisa makan. Papa dan mama Keysa menentang keras Keysa yang mengambil jurusan seni. Karena bagi mereka jurusan seni tidak menguntungkan. Setelah bersitegang, Keysa memilih hidup sendiri menjauhi keluarganya. Keysa juga memaksa papanya untuk mengiriminya uang karena itu memang kewajiban orangtua memberikan nafkah untuk anak. Orangtua Keysa lebih sayang pada Kaifania yang mengambil jurusan Ekonomi. Kai yang selalu digadang-gadang menjadi penerus papanya. Apa Keysa peduli? Sama sekali tidak.
"Kak?" panggil Kai lagi.
"Pulanglah, aku sedang sibuk!" jawab Keysa sembari melukis abstrak. Menyalurkan kekesalannya saat melihat adik sombongnya itu. Imaginasi yang sudah Keysa bangun hancur seketika saat melihat Kaifania. Aura Kaifa selalu buram di mata Keysa.
"Kakak bodoh banget. Di rumah sudah dikasih fasilitas mewah dengan papa, malah panas-panasan di jalanan dan melakukan hal tak berguna!" teriak Kai yang sudah kesal menghadapi tingkah kakaknya.
"Jangan ngomong sembarangan, kalau gak mau di keroyok para seniman yang lainnya!" ucap Keysa dengan santai.
"Lihatlah, kakak sudah seperti gembel. Siapa yang mau membeli karya kakak yang jelek ini?" tanya Kai tersenyum mengejek.
"Aku mau memesan seratus lukisan dengan tema alam. Harus jadi bulan ini!" ucap seorang pria yang tiba-tiba datang sembari mengusung senyum lembutnya.
"Ini cek kosong, isi berapa nominal yang harus aku bayar!" ucap pria itu menyerahkan kertas pada Keysa. Dengan kebingungannya Keysa menerima cek kosong itu. Kaifania melotot melihat cek yang dipegang Keysa, lebih melotot lagi saat dia melihat wajah pria itu yang menurutnya lebih dari kata tampan.
"Ini yang namanya pangeran!" batin Kai menjerit.