Keysa menatap pria di depannya dengan sedikit terkejut. Lebih-lebih cek kosong yang diberikan pria yang kini menjulang tinggi di hadapannya, "Kevin, maksudnya apa?" tanya Keysa bingung.
"Buatin gue seratus lukisan tema Alam. Isi nominal sendiri, itu cek asli," jelas Kevin.
"Jangan ngadi-ngadi!"
"Ngadi-ngadi apanya? Gue beneran. Dan bulan ini harus jadi. Awas kalau gak jadi, gue makan lo idup-idup!" Ancam Kevin. Sebenarnya Keysa sangat bahagia, lebih bahagia lagi ketika melihat cek kosong yang bahkan dia bisa mengisinya dengan bebas. Satu lukisan saja bisa dibandrol harga satu juta sampai lima juta. Apalagi kalau seratus lukisan. Auto beruang mendadak.
"Eh btw, lo dapat uangnya darimana?" tanya Keysa heran.
"Itu bukan urusan lo. Yang harus lo urus adalah cara nyelesain semua lukisan itu."
Kevin tersenyum simpul melihat binar kebahagiaan di wajah Keysa. Kevin terkekeh sebentar, akhirnya dia bisa menghabiskan uang kakeknya, si sultan Stevano. Stevano rutin memberikannya uang tiap bulan. Nominalnya pun juga tak main-main. Kakeknya itu selalu memandikan cucu-cucunya dengan uang yang berlimpah. Bahkan sepupunya dari pihak Ayah, yaitu Keenan, Kris, dan Keyara juga selalu banjir transferan. Itu karena Stevano yang menyesali kelakuannya di masa muda yang telah meninggalkan istrinya demi mencari kebahagiaan yang baru. Stevano meninggalkan Erlinda, ibu Husein dan Regan saat Erlinda masih mengandung Husein. Saat itu mereka berjuang sendiri demi untuk bertahan hidup. Erlinda mampu menjadi single parent, menyekolahkan anaknya sampai Sarjana Hukum dan Kedokteran. Di usianya yang tak lagi muda, penyesalan datang menyergap Stevano. Membuat pria itu selalu berusaha menyenangkan cucu-cucunya dengan uang berlimpah. Berharap itu bisa menebus semua kesalahannya.
Tadi Kevin sangat penasaran dengan Keysa, membuatnya membuntuti Keysa sampai di jalan Gatot Subroto ini. Awalnya Kevin ingin menghampiri Keysa, tapi dia kalah cepat dengan gadis muda memakai baju merah. Jadilah kevin di belakang mereka mendengar semua pembicaraan dua gadis itu. Yang dapat Kevin simpulkan adalah, Keysa hidup sendiri berpisah dengan orangtua. Kevin tidak menyangka kalau kehidupan Keysa tidak mulus yang seperti dia kira.
"Vin, satu lukisan lima juta loh!" ucap Keysa memancing. Keysa takut kalau Kevin menyesali perbuatannya.
"Rewel banget, tinggal isi apa susahnya?" Kesal Kevin. Kevin merasa tersentil dengan keraguan Keysa. Kai yang sedari tadi menyimak makin kesemsem dengan Kevin. Bagi Kai, Kevin adalah type cowok idamannya. Ganteng, manis, imut dan kelihatan liar.
"Aaahhh! Aku ingin memelukmu!" Jerit batin Kai menatap lapar ke arah Kevin.
"Awas kalau ntar nyesel!" Ancam Keysa.
"Gue jamin gue gak nyesel, gue malah bangga bisa beli lukisan lo, tapi kalau sampai lukisan lo jelek jangan harap lo bisa memijak tanah dengan tenang!" balas Kevin tersenyum setaan.
"Gak usah sok psychopath, lo!" Ketus Keysa menabok wajah Kevin.
"Kak!" Sela Kai yang beberapa waktu hanya diam. Keysa dan Kevin menoleh bersamaan.
"Buat apa kakak beli lukisan sebanyak itu?" tanya Kai pada Kevin dengan kepo. Saat berbicara dengan Kevin, Kaifania menyembunyikan rona merah di pipinya. Ditatap Kevin saja membuat ia makin meleleh.
"Buat gue pajang. Lukisan Keysa ini paling bagus soalnya," jawab Kevin sok membela.
"Tapi kenapa banyak sekali?"
"Lo tau, rasa penasaran yang tinggi membuat orang cepat mati," jawab Kevin seadanya. Mendengar jawaban Kevin membuat Keysa terbahak-bahak. Ia sangat senang melihat wajah pias adik sombongnya.
"Hahahahah!" Tawa Keysa meledak. Kai yang merasa terhina pun segera pergi dari sana, tapi dia tak serta-merta melepas Kevin. Ia akan meminta ayahnya yang punya banyak uang dan punya kuasa tinggi, untuk mendekatkannya pada Kevin. Dari kejauhan, Kai mefoto Kevin diam-diam. Mengirimkannya pada papanya agar papanya mencari tau seluk-beluk pria yang disukainya itu.
"Lo cuma ngeprank, kan? Lo cuma berlagak sok pahlawan kan di depan adek gue?" tanya Keysa yang masih curiga.
"Sekali lagi lo ngomong, gue cipok lo!" Ancam Kevin dengan suara datarnya.
"Ututuuu sok-sokan nyipok, di grepe aja udah kalang-kabut!" ucap Keysa gemas. Ia menarik-narik pipi Kevin sambil menggoyangkan kepala pria itu ke kanan dan ke kiri.
"Diamku mengintai. Jangan sampai gue khilaf. Kalau gue khilaf, sekali tusuk perut lo langsung melendung."
* * * * *
Liana berjalan pelan di koridor kelasnya. Perasaan dia dandan juga gak berlebihan, bahkan Liana hanya mengenakan bedak tabur tanpa memakai lipbalm seperti yang digunakan teman-temannya. Namun, kenapa semua orang memandangnya dengan aneh. Bahkan mereka dengan terang-terangan juga berbisik-bisik. Liana jadi kikuk saat segerombolan cowok-cowok yang juga ikut menatapnya. Ada apa sebenarnya?
Saat memasuki kelasnya pun, Liana masih mendapat tatapan-tatapan dari teman-temannya. Liana yang kikuk pun langsung duduk di bangkunya dekat Ahzar.
"Liana, sekali main dapat berapa?" tanya Risa pada Liana yang langsung ditanggapi tawa teman-teman sekelasnya.
"Apa?" tanya Liana dengan bingung.
"Lo kok bisa sih tidur bareng sama Bima? Gue tau betul dia itu Drumer di Angel band, kan?" tanya Risa.
"Iya, emang kenapa? "
"Kok bisa lo tidur sama dia? "
"Hah ... Siapa yang tidur?" Liana bingung dengan pembahasan teman-temannya yang juga ikut membahas tentang dia tidur dengan Bima. Memang benar dia tidur dengan Bima, tapi kenapa Risa dan lainnya juga tau?
"Lihat nih! Gue gedeg sama lo. Lo polos atau g****k sih. Mau aja diajak tidur sama Om-om!"
"Bima bukan Om-om!" Sangkal Liana. Memang benar, kan? Umur Bima saja dan dia hanya terpaut empat tahun. Liana melihat layar hp Risa yang menunjukkan screen recorder saat Bima dan dirinya tidur bersama. Bima mencium lehernya, mengelus dadanya dan mencuri ciuman bibirnya. Melihat itu membuat Liana memalingkan wajahnya, gadis itu mengepalkan tangannya dengan erat. Liana sangat kesal dengan Bima.
"Huuuuu!" Sorakan teman-teman Liana menambah kekesalan gadis itu.
"Jangan murahan deh, Li. Lo harus ingat Bima itu pria dewasa, anak kuliahan. Di luar sana banyak cewek yang lebih cantik dari lo," Jelas Risa. Kata-kata Murahan membuat Liana sebal.
"Lagian lo emang ganjen, sok-sokan banget jadi cewek. Dari kelas satu lo emang kegatelan, semua cowok lo embat sendiri," Sinis Devika menyaut.
"Siapa yang ngembat cowok. Mereka aja yang baper sama senyuman gue!" Balas Liana nyolot.
"Lo kalau iri emang wajar. Karna lo gak bisa kayak gue," tambah Liana dengan senyum mengejek.
"Alah, cantik dimodalin Om-om aja bangga!"
"Huuuuuu!!!" Sorakan demi sorakan Liana terima dari teman-temannya. Liana makin geram, dia menatap satu persatu mereka yang menertawakannya. Liana bangkit berdiri, gadis itu menuju ke bangku Devika dengan wajah yang sudah memerah.
Brakk!
Liana menendang meja Devika dengan keras, membuat sang empu berjengkit kaget, "Tau apa lo soal gue?" tanya Liana tajam. Liana paling tidak suka kalau ada orang yang menginjak-injak harga dirinya.
"Mau membela diri? Emang kenyataannya gitu. Kalau gak dibayarin Om-om, mana bisa lo beli tas branded kayak gitu," ucap Devika yang langsung mendapat sikutan keras dari Lisa.
"Lo lupa kalau Liana anak donatur dari sekolah ini? Dia anak nya Pak Akbir, bos bokap lo!" Bisik Lisa. Devika sontak membulatkan matanya terkejut.
"Arghhhh!" Pekik Devika saat Liana menjambak keras rambutnya.
"Lo ngatain gue gak mampu? Ngaca lo! Ayah lo cuma bawahan papa gue. Gue bisa aja suruh papa gue buat pecat ayah lo!" pekik Liana menarik rambut Devika ke kanan ke kiri. Devika juga ikut menyambar rambut Liana, gadis itu menjambaknya sangat kuat.
"Ayah lo cuma bawahan bokap gue! Inget itu baik-baik!" teriak Liana sengaja mengeraskan ucapannya agar semua teman-temannya tau.
"Gue kaya dari lahir, bukan setengah-setengah kayak lo yang sombongnya melebihi langit. Tanpa gue sama Bima, gue bisa beli apapun yang gue mau!"
"Apa lo pikir kekuasaan lo dibawa mati, hah? Bisa jadi saat ini keluarga lo jadi bos, tapi besok bisa jadi gelandangan!" Pekik Devika tak mau kalah.
Teman-teman mereka tidak ada yang berani melawan. Liana yang pendiam berubah jadi sangat bringas saat marah. Devika sudah acak-acakan, rambutnya banyak yang rontok, dan kancing seragamnya sudah lepas.
Priiit!!
Tiupan peluit yang kencang menghentikan aksi Liana dan Devika. Mereka melihat guru olahraga dan guru BK yang memandangnya tajam. Guru BK dan guru olahraga langsung menyeret kedua murid nakal itu ke ruangan konseling. Tampak napas Liana yang ngos-ngosan, walau begitu Liana puas sudah membuat rambut Devika acak-acakan dan rontok di mana-mana.
"Duduk!" Titah bu Dina tajam saat mereka sudah sampai di ruangan konseling. Bu Dina adalah guru senior yang sudah mengajar sejak jaman Veve, Mama Liana.
Liana dan Devika duduk, Devika sibuk menutupi dadanya yang terbuka karena kancing-kancing seragamnya terlepas.
"Telfon orang tua masing-masing!" titah bu Dina.
"Papaku gak bisa. Hari ini papaku ada binis ke makasar," jawab Liana. Memang tadi pagi papanya baru pulang dari Singapura sudah harus pergi lagi ke Makasar.
"Mamamu kan ada," ucap bu Dina. Bu Dina yang dulu mengajar bahasa kini jadi guru di konseling setelah kuliah lagi. Bu Dina juga lebih galak dari sebelumnya.
"Mama gak bisa. Mamaku itu gak boleh keluar rumah sama Papa. Bu Dina tau kan, seposesif apa papaku?" Bu Dina terkekeh, ia merutuki dirinya yang pernah jahat pada Akbir dan Veve. Karena obsesinya, dia sampai tega pada Veve. Dan lihatlah, sekarang mantan muridnya itu mempunyai anak secantik Liana yang kini juga jadi muridnya.
"Hubungi siapa aja. Asal walimu!"
Liana menimang-nimang siapa yang akan dihubungi. Pilihannya jatuh pada Bima. Jam segini, kelas Bima sudah selesai. Dengan cepat dia menelfon Bima, menyuruh pacarnya untuk ke sekolahan. Selama menunggu, Bu Dina mengajak ngobrol Liana. Tampak obrolan mereka terdengar sangat asik. Sedangkan Devika meremas rok nya, dia yang korban di sini. Kenapa Liana yang tampak baik-baik aja? Liana juga tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Papamu itu dulu idaman murid-murid sama guru-guru. Keren banget papamu itu," puji bu Dina.
"Makanya aku juga keren kan, Bu? Kayak papa," ujar Liana yang dijawab gelak tawa oleh Bu Dina.
Suara ketukan pintu terdengar, Bu Dina menyuruh orang itu masuk. Pak Sutomo dan Bima datang bersamaan. Pak Sutomo yang masih berpakaian koki ikut duduk di samping anaknya. Sedangkan Bima duduk di samping Liana. Sutomo memandang Liana, dia tersenyum ramah. Tau kalau Liana anak dari bosnya. Devika tersenyum masam saat ayahnya saja hormat sama Liana. Ayah Devika koki di restoran pusat usaha Akbir.
"Karena wali sudah berkumpul. Ada yang mau kalian jelaskan?" tanya Bu Dina dengan tegas pada Liana dan Devika.
"Devika yang mancing-mancing duluan, Bu!" ujar Liana.
"Liana yang kasar, Bu. Lihat seragamku sampai rusak!" Sangkal Devika.
"Lo duluan kan mancing gue!" Pekik Liana yang menjambak lagi rambut Devika. Bima segera menarik lengan Liana dengan sedikit kasar.
"Bisa diam, gak?" tanya Bima dengan tajam. Liana tidak menanggapi Bima, pandangan Liana masih tajam menusuk ke arah Devika.
"Awas, besok Ayah lo bakal dipecat!" Ancam Liana pada Devika.
"Liana, jangan kekanakan! Jangan karena papamu berkuasa, kamu jadi seenaknya!" ucap Bima yang membuat Liana lantas terdiam.
"Cepat minta maaf dan masalah selesai!" tegas Bima.
"Dia yang salah kenapa aku yang minta maaf?" tanya Liana esal Liana, bahkan sekarang Liana sudah menatap berang ke arah Bima.
"Liana Valery Putri Dewangga! Minta maaf sekarang!" titah Bima mendesis.
"b*****t!" jerit Liana dalam hati. Liana paling tidak suka kalau Bima memanggil nama lengkapnya.
Liana tetap tidak bergeming. Demi apapun Liana tidak mau menjatuhkan harga dirinya untuk meminta maaf, "Minta maaf, Liana!" titah Bima sekali lagi. Devika yang melihat itu lantas tersenyum sinis. Ia pikir Bima akan membela Liana mati-matian. Nyatanya Bima malah menyuruh Liana minta maaf.
"Sudah-sudah. Saling minta maaf saja!" ucap bu Dina menengahi.
"Aku mau jelasin dulu, Bu!"ucap Liana yang langsung dipersilahkan.
"Tadi, Devika ngatain Liana murahan, ngatain Liana jalan sama Om-om biar bisa beli tas mewah. Karena Liana tak terima, Liana jambak aja!" jelas Liana yang membuat Bima menghela napas.
"Tapi yang dilakukan Liana juga salah. Ini namanya kekerasan!" sangkal Devika.
"Lo ngatain gue duluan kalau gue murahan. Kalau lo gue katain murahan lo bakal diam saja? Enggak kan?" serobot Liana dengan kasar, biar sekalian Bima dengar kalau ini gara-gara dia yang mengunggah foto tidur bersama.
"Semuanya salah! Ayo Liana, Devika, minta maaf! Kalian ibu skors selama tiga hari!" ucap Bu Dina dengan tegas.
"Scors aja selamanya. Aku mau pindah sekolah!" Ketus Liana beranjak bediri.
"Li!" Panggil bu Dina dan Bima bersamaan. Liana tak menggubris. Ia berlari ke kelasnya, mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas. Bima mencegah langkahnya, mencengkram erat tangan Liana agar Liana tidak kabur.
"Kamu panggil aku kesini cuma gara-gara ini? Malu-maluin!" ucap Bima dengan tajam. Liana meringis karena tangannya yang sakit, gadis itu mencoba melepas cekalan tangan Bima.
"Lepasin!" ringis Liana.
"Ayo pulang!" Bima menyeret lengan Liana dengan kasar. Ia tak menghiraukan Liana yang berontak minta dilepaskan. Bima tidak peduli, laki-laki itu menyeret Liana menuju parkiran di mana mobilnya berada.
"Masuk!" Bima mendorong Liana masuk ke mobil. Yang membuat Liana bingung adalah saat Bima menyuruhnya masuk ke bangku belakang.
"Ava?" Kaget Liana saat mendapati Ava duduk di depan samping kemudi.
"Ngapain lo ada di mobil pacar gue?" Sentak Liana.
"Liana, jaga sikap!" tegur Bima yang membuat Liana langsung keluar dari mobil.