Perempuan adalah mahluk cengeng yang mudah terbawa perasaan, itu karena mereka adalah calon ibu. Dan seorang ibu harus punya hati yang lembut. Jangan salahkan perempuan yang mudah baperan walau hanya dengan kata-kata, apalagi kata-kata dari cowok yang disukai. Perempuan selalu memberi riba dalam mencintai, begitu juga kadang membenci. Kamu beri satu perhatian pada perempuan, maka mereka akan membalas seribu perhatian. Ada yang realistis mencinta. Misal, sudah tidak dicintai, maka akan pergi. Namun ada juga yang bodoh mencinta. Sudah disakiti, tetap mencintai.
Dan Liana masuk dalam kategori bodoh mencinta dan berujung terluka. Perhatian Bima yang sering dia dapatkan, kali ini tidak ia rasakan lagi. Bima tega membiarkannya hujan-hujanan tanpa uang sepeser pun. Tas yang berisi dompet dan hp nya juga tertinggal di kamar Bima. Siapa yang gak takut satu kamar dengan seorang cowok dewasa. Bahkan tidur satu ranjang. Sebaik-baiknya Bima, pasti pria itu juga bisa khilaf.
Liana tidak pulang ke rumah, ia memilih pergi ke Hotel milik Papanya. Karena dari rumah Bima ke Hotel Papanya lebih dekat daripada rumahnya. Sesampainya di Hotel, para staff menatap Liana aneh. Mereka kenal dengan Liana, tapi keadaan Liana yang basah kuyup membuat mereka bertanya-tanya. Lantai yang baru saja dipel, kini basah oleh jejak kaki Liana. Namun mereka juga tak berani menegur. Mana ada yang berani menegur anak Bos? Kalau Liana ngadu ke papanya, karirnya yang dipertaruhkan.
"Papaku mana?" tanya Liana pada sekretaris papanya yang berada di meja depan ruangan papanya.
"Ada di dalam, Li," jawab Bu Winda dengan ramah. Liana lantas memasuki ruangan papanya. Perempuan itu ingin mengadu pada papanya tentang apa yang dilakukan oleh Bima.
"Pa!" panggil Liana mendekati papanya yang tengah duduk sembari memandangi layar laptop.
"Loh kenapa kamu basah kuyup begitu?" tanya Akbir dengan kaget. Liana cemberut, perempuan itu ingin menangis dan meraung pada papanya.
"Tadi kamu ke sini sama siapa? Kenapa hujan-hujanan?"
"Aku kesel sama Bima, Pa. Bima jahat banget biarin aku hujan-hujanan," isak Liana menangis. Akbir menutup latopnya dengan kasar ketika mendengar ucapan Liana. Pria itu tidak peduli kalau belum selesai meracik menu baru untuk makanan tamu hotel.
"Kita pulang aja, badan kamu juga udah kedinginan!" ucap Akbir yang menarik tangan putrinya. Liana mengangguk, ia mengikuti langkah papanya sembari bibirnya terus mengoceh tentang kelakuan Bima hari ini. Semua uneg-uneg Liana tumpahkan pada papanya. Akbir hanya menyimak sembari menuntun anaknya untuk keluar dari kawasan hotel. Beberapa staff tampak menyapa Akbir ramah saat berpapasan, Akbir membalasnya tidak kalah ramah.
Akbir membawa Liana untuk masuk ke mobil. Buru-buru Akbir memutari mobilnya dan duduk di bangku kemudi. Pria dua anak itu mulai menjalankan mobilnya untuk pulang ke rumah.
"Pa, nanti kalau Bima datang ke rumah. Bilangin kalau Liana belum pulang, ya!" ucap Liana memohon. Biarin Bima mencari-cari Liana. Salah sendiri Bima tega menelantarkan Liana.
"Hanya karena sepele, kamu marah sama Bima?" tanya Akbir sembari menyetir.
"Sepele kata papa? Dia ninggalin Liana di mobil tanpa makanan, sampai Liana ketiduran. Terus Liana juga dikatain anak kecil sama Bima!" protes Liana.
"Lah memang kamu anak kecil. Kalau kamu sudah dewasa, kamu gak bakal ngadu sama papa!" jawab Akbir. Akbir memarkirkan mobilnya di garasi yang sudah dibuka satpam rumahnya.
Mendengar penuturan papanya membuat Liana membulatkan matanya. Kenapa papanya malah membela Bima? Liana keluar dari mobil, membanting pintunya keras karena kekesalannya pada sang papa. Melihat tingkah putrinya membuat Akbir hanya mengusap dadanya. Akbir tidak membela Liana maupun Bima. Menurutnya sikap Bima wajar saja kalau membelikan skincare untuk putrinya, hanya saja putrinya yang perasa terlalu berlebihan. Liana sama seperti Veve, mudah perasa dan mudah kesal dengan hal yang tidak diinginkan. Selagi Bima tidak berbuat aneh-aneh, Akbir tidak akan ikut campur.
Liana berjalan menuju ke rumahnya sambil menghentakkan kakinya kesal. Langkahnya terhenti saat Bima sudah berdiri menjulang di hadapannya. Mata Liana membulat sempurna karena kaget. Bima kenapa cepat sekali sampai ke rumahnya? Bukankah tadi pria itu bilang gak akan menyusul Liana?
"Minggir!" ketus Liana mendorong bahu Bima yang menghalanginya masuk rumah. Bima mencekal lengan Liana.
"Kita bicara dulu!" ucap Bima dengan datar.
"Kamu gak lihat badanku udah basah gini? Masih mau ajak aku berdebat sampai aku mati masuk angin?" tanya Liana dengan emosi menggebu-gebu. Hari ini hari paling sial untuk Liana. Sudah ditelantarkan Bima, disalah-salahin, dimarah-marahin, papanya juga tidak membela, tambah perutnya yang sakit karena mau datang bulan.
Melihat keterdiaman Bima, membuat Liana bergegas masuk ke rumah dengan mendorong kasar tubuh Bima, "Tau gini gak usah punya pacar!" kesal Liana yang masih bisa didengar Bima. Liana memasuki kamarnya. Gadis itu segera mandi dan berganti pakaian. Setelah selesai, bukannya menemui Bima, Liana malah merebahkan tubuhnya di kasur. Melanjutkan tidurnya yang tertunda. Bodo amat dengan Bima.
Akbir menatap tajam pada Bima yang duduk tanpa rasa bersalah di hadapannya. Sebenarnya Akbir tidak masalah soal Bima yang membelikan skincare Liana, tapi dia lupa kalau Liana tadi juga mengatakan Bima mengurung Liana di kamar pria itu.
"Bim, apa maksudnya mengurung Liana di kamarmu?" tanya Akbir dengan tajam.
"Om, beneran Bima gak ngapa-ngapain. Tanya aja sama Liana. Gak Bima apa-apain kok!" jawab Bima setengah membela diri.
"Terus maksudnya ngatain wajah Liana berjerawat apa?"
"Ya memang berjerawat kan, Om? Niat Bima baik, cuma ingin wajah Liana kelihatan bersih."
"Ya tapi gak gitu caranya. Kamu niat serius gak sama Liana? Liana itu sensitif walau masalah sepele. Kamu harus mengerti dia, Bim!" jelas Akbir.
"Iya, Om. Bima minta maaf," jawab Bima ngalah.
"Siapa Ava?" tanya Akbir yang membuat Bima mengerutkan dahinya. Apa Liana juga cerita tentang Ava? Benar-benar gadis itu suka mengadu. Masalah Ava saja sampai diadukan sama papanya.
"Ava, vokalis yang sering manggung sama Bima," jawab Bima.
"Jangan pernah banding-bandingin Liana dengan orang lain. Karena sampai kapanpun mereka tidak akan pernah sama!" Bima mengangguk mendengar penuturan calon mertuanya.
"Memang jaman sekarang mencari pasangan yang menerima apa adanya itu hanya bulshit. Pasti ada salah satu sifat yang tidak disukai, ataupun ada tingkah yang bikin kegi. Sebenarnya itu bukan masalah besar. Tinggal bagaimana kamu mensyukuri apa yang tengah kamu miliki!" jelas Akbir lagi panjang lebar.
Di bawah hujan yang deras, Kevin bermain basket sendirian di lapangan basket yang ada di belakang rumahnya. Daddynya yang membuatkan lapangan itu. Kevin meluapkan kekesalannya dengan mendrible bola kuat-kuat. Kenapa Kevin harus punya saudara sebangsat Bima? Bima sudah kelewatan dengan meniduri Liana. Ingin rasanya Kevin menonjok wajah Bima sampai babak belur, tapi atas dasar apa? Kalau ia mengatakan atas dasar mencintai Liana sudah pasti hubungannya dengan Liana akan makin retak. Kevin sengaja menjauhi Liana untuk melatih hatinya agar selalu terbiasa tanpa sahabat kecilnya, yang tiap hari menari-nari di pikirannya.
"Dasar bodoh!" maki seorang perempuan yang menghampiri Kevin. Kevin menolehkan kepalanya, ia membulatkan matanya saat melihat Keysa berdiri tak jauh darinya dengan badan yang basah kuyup.
"Lo kok bisa kesini?" tanya Kevin bingung.
"Tadi gue mau ngembaliin dompet lo yang terjatuh. Karena pintu depan dikunci, gue inisiatif lewat belakang. Dan gue lihat orang bodoh tengah hujan-hujanan kayak anak kecil," ucap Keysa. Keysa menemukan dompet itu di kampus dengan tidak sengaja, saat melihat kartu tanda mahasiswa ia beriniasiatif mengembalikan sendiri. Untung ada teman sekelasnya yang memberitahukannya alamat Kevin.
"Mulut lo kalau ngomong. Blak-blakan minta di tabok?"
"Bodo amat. Main sini sama gue!" ucap Keysa merebut bola basket yang dipegang Kevin.
"Main apa nih? Mumpung dingin-dingin, lo ngajak main yang iya-iya pasti?" selidik Kevin dengan tampang mesumnya.
"Gue daftar kerja di rumah lo boleh?" tanya Kesya tiba-tiba.
"Mau jadi apa lo?"
"Mau jadi tukang sapu otak lo yang ngeres."
"Candaan lo receh banget. Gak punya selera humor?" tanya Kevin terkekeh.
"Punya sih, tapi ya gimana. Wajah gue datar-datar aja soalnya," jawab Keysa. Kevin mengamati wajah Keysa yang hampir tak punya ekspresi selain jutek. Keysa sosok gadis langka menurut Kevin, harus dijaga agar tidak dirampas, eh.
"Mana dompet gue?"
"Ada di tas gue yang gue taruh di sana!" tunjuk Keysa pada tas yang dia letakkan di teras belakang.
"Lo hobby banget ninggalin dompet. Kemarin ditemuin kembaran lo, sampai dia tau lo nyimpen foto cewek dia. Hahahah ...." ejek Keysa yang tertawa masih mempertahankan ekspresi juteknya.
"Sumpah gue ngeri deket-deket sama lo!" aku Kevin jujur.
"Lo cowok bukan sih?"
"Lo mau lihat anu gue? Boleh, silahkan!" ucap Kevin ancang-ancang memelorotkan celananya. Niatnya menggoda Keysa, tapi harus pupus saat Keysa tak bereaksi apapun. Keysa malah menaikkan sebelah alisnya menantang Kevin.
"Kenapa gak jadi dipelorotin?" tanya Keysa menantang. Mendengar ucapan Keysa membuat Kevin jadi salah tingkah.
"Gue cowok lah. Gak usah gue tunjukin anu gue, juga udah kelihatan kalau gue cowok," ujar Kevin menaikkan lebih tinggi celanannya.
"Lo gak bisa rokok dan gak bisa mabuk ngaku cowok? Lemah," ejek Keysa. Keysa menatap rintihan hujan yang tak sederas tadi.
"Itu memang dari dulu Bima selalu ngelarang gue. Kalau gue ada masalah, pasti kembaran gue akan desak gue untuk cerita daripada melampiaskan sama minuman ataupun rokok!" jelas Kevin jujur.
"Itu tandanya Bima sayang sama lo!" ucap Keysa serius yang membuat Kevin berfikir sejenak. Iya, Bima selalu memecahkan masalah yang sedang dia hadapi hingga Kevin tidak sampai mabuk ataupun sekadar merokok. Menyedot sebatang rokok pun membuat Kevin langsung terbatuk-batuk.
"Tapi Bima selalu merokok dan tak jarang dia mabuk," ucap Kevin.
"Karena dia tak mau membebanimu dengan masalah yang dia derita. Itulah kakak yang bertanggungjawab dengan adiknya." jawab Keysa.
Kevin menelaah semua ucapan Keysa, ia baru sadar kalau ia tidak pernah berfikir sampai segitunya. Kevin selalu berfikir, Bima yang selalu mendapat segalanya ketimbang dia. Tak jarang juga Kevin mempunyai rasa iri untuk saudara kembarnya itu.
"Jangan bodoh karena cinta, persaudaraan di atas segalanya. Lebih baik lo yang masih ada yang mempedulikan. Bahkan Bima ngancem gue untuk gak ngajarin lo aneh-aneh. Dia marah saat tau gue kasih lo rokok. Sepeduli itu Bima sama Lo. Lah gue? Gue mati ataupun hidup, mana ada yang peduli." ucap Keysa seraya tersenyum tipis. Kevin terdiam mendengar ucapan Keysa.
"Gue pergi dulu!" pamit Keysa melenggang pergi. Kevin menatap diam punggung kokoh itu yang berjalan menjauh. Kevin tidak mencegah Keysa pergi, karena dirinya pun masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Vin, ngapain hujan-hujanan kayak anak kecil? Masuk cepat!" teriak Bima yang membuka pintu hubung taman belakang.