7. Yang sebenarnya perhatian

1139 Kata
Ada yang berbeda di pagi yang cerah Liana. Membuka Hp, tidak ada satu pun notife dari sahabatnya. Apa Bima sudah bersahabat dan peduli dengan perempuan lain? Pikir Liana. Liana mencoba mengenyahkan pikiran buruk, Liana menunggu jemputan dari Bima di teras rumahnya. Sudah jam setengah tujuh, biasanya Bima sudah datang menjemput untuk mengantarkannya ke sekolah. Berkali-kali Lion memaksanya untuk berangkat bersama, tapi Liana menolak. Ia ingin Bima yang menjemput. Akbir juga sudah membujuk Liana, tapi tidak digubris. Sampai tepat pukul tujuh, Bima tidak kunjung datang. Liana sudah telat, ia berbalik memasuki rumahnya, menaiki tangga dan masuk kamar. Liana membanting tubuhnya di kasur. Meredam tangisannya dengan bantal yang dia letakkan di wajahnya. Kenapa ada yang mengganjal di hatinya? Liana kurang lengkap tanpa Bima. Dan kebungkaman Bima membuat Liana uring-uringan. "Li, kenapa bolos sekolah?" tanya Veve menghampiri putrinya. Liana menggeleng. "Sini cerita sama Mama!" ujar Veve lembut. Liana memeluk mamanya dengan erat. "Ma, Bima udah gak sayang Liana lagi?" tanya Liana mati-matian menahan isakannya. "Siapa bilang?" "Dari kemarin Bima gak hubungin Liana. Hari ini pun Bima juga gak jemput, Ma." rengek Liana. "Kamu sih emang suka cari gara-gara. Bima kan gak suka kamu ngelanggar aturan dia. Kamu malah sering banget mancing emosi dia. Apa susahnya sih nurut. Toh itu untuk kebaikan kamu juga. Kalau gak ada Bima yang nolongin kamu, mungkin kamu udah jatuh ke jurang," ucap Veve yang ikut gregetan dengan sikap Liana. "Bima itu sudah seperti superhero kamu, apa kamu tidak menangkap sinyal dari Bima, kalau Bima itu cinta sama kamu?" tanya Veve. Liana membeo. Cinta? Tidak mungkin Bima cinta sama dia. Secara Bima itu pria dewasa, mana mungkin cinta sama Liana yang kekanakan? "Gak mungkin lah, Ma. Bima itu cuma anggap Liana sahabat, gak lebih." jawab Liana mengelak. "Kalau gak cinta, mana mungkin Bima mau menyusulmu ke gunung? Mana mungkin dia perhatian sama kamu sampai berlebihan. Kemarin aja saat Bima lihat kamu berdiri beli martabak, Bima gak tega. Malah nyuruh kamu yang duduk. Pake logika, Liana. Jarang ada persahabatan laki-laki dan perempuan yang real sahabat. Pasti akan ada cinta diantaranya. Terus kalau gak cinta, kenapa Bima selalu larang kamu deket sama cowok lain kalau alasannya bukan karna cemburu?" cecar Veve sedikit emosi. Geleng-geleng kepala melihat ketidak pekaan dari putrinya. "Tapi, Ma. Itu gak mungkin." elak Liana. "Kalau gak mungkin, Bima sekarang udah punya cewek. Secara Bima itu tampan, siapa yang gak mau sama dia. Dia terus jomblo karena nunggu kamu!" "Masa sih, Ma?" tanya Liana. Entah mengapa hatinya berbunga bunga mendengar serentetan kalimat dari mamanya. Wajahnya juga memanas karena malu. Memang siapa sih yang menolak pesona Bima. Ganteng, pinter, seorang drumer dan perhatian. Liana mengenyahkan pikirannya. Liana kan suka Ahzar dan misi nya kali ini untuk PDKT dengan pria itu. "Tapi Liana gak cinta sama Bima, Ma." "Kalau gak cinta, kenapa kamu uring-uringan? Kamu cinta tapi belum sadar." ujar Veve mengacak gemas rambut putrinya. ____________ "Keysa Francisska Xeolanindra! Nama apaan nih. Sulit banget bikin lidah gue kesleo," teriak Kevin di depan kelas. Ia membaca nama teman satu kelasnya itu yang ada di makalah. Kevin yang semula di kelas seni A, kini pindah ke kelas seni B. Dia menemukan makalah di salah satu meja dan mengambilnya. Dia tertarik dengan satu nama yang menurutnya aneh. "Heh anak baru. Baru aja masuk udah buat ulah. Teriak-teriak lagi," tegur seorang cewek. Kevin mengedarkan pandangannya. Kelas seni B lebih banyak ceweknya. Seketika jiwa garangannya meronta ronta. Janji manisnya untuk merayu cewek-cewek ready banyak, full stok. Bisa untuk baperin cewek-cewek sekelasnya, "Ngapa lo manggil gue?" seorang cewek tinggi semampai menghampiri Kevin dengan tampang songongnya. "Lo yang namanya Keysa bla bla bla?" tanya Kevin. "Keysa Francisska Xeolanindra!" jawab cewek itu menaikkan dagunya angkuh. Kevin memperhatikan cewek itu, cantik tapi sombong. "Oh aja!" balas Kevin cuek. "Lo ada masalah sama nama gue?" tanya Keysa ngegas. "Buset, ngegas banget lo. Gue cuma heran." jawab Kevin melihat tampang garang Keysa. "Bagaimana gak ngegas. Lo aja teriakin nama gue segitunya." ujar Keysa mendelik kesal. "Iya Neng, iya. Santai, ngopi yuk!" ajak Kevin cengengesan. "Huuuuu!" semua orang meneriaki Kevin yang takut digertak Keysa. Memang Keysa itu premannya fakultas seni. "Awas lo nyentil gue lagi. Gue gak bakal nyenggol kalau gak disentil," sinis Keysa mengibaskan rambutnya di wajah Kevin. "Tampang bidadari, tingkah kayak preman," gumam Kevin. Di sisi lain, Bima berada di taman kampus sembari berdiri membolak-balikkan buku tebal yang harus dia pelajari. Di hadapannya ada Ava dan Riko, temannya. "Duduk sini lah, Bim. Masak belajar sambil berdiri," ujar Ava yang tengah melihat Bima berdiri di hadapannya. Pria itu dari tadi tidak mau duduk. Bima tetap serius membolak-balikkan halaman. Otaknya sudah ia suruh fokus dari tadi, tapi tidak bisa. Ada saja wajah Liana yang melintas di pikirannya. "Kak Bim!" Suara teriakan nyaring terdengar. Bima menoleh, ia mengerutkan alisnya melihat Liana yang berlari ke arahnya. "Halo Kak, aku tadi nyari-nyari Kakak. Akhirnya ketemu juga," ucap Liana yang ngos-ngosan. Liana tersenyum kikuk saat Bima cuma diam saja. Bima hanya memandangnya dari atas sampai bawah. Liana memegang lengan Bima, tapi Bima juga tak bereaksi sama sekali. Liana sengaja ke kampus Bima karena sudah tidak betah berdiam diri di rumah. Dan Bima tak kunjung mengiriminya pesan. "Kak!" "Kamu kenapa kesini? Ini belum jam pulang sekolah," tanya Bima menatap tajam Liana. Liana menggaruk keningnya. Lidahnya kelu sekadar untuk menjawab. Setelah mendengar cecaran Mamanya, yang mengatakan Bima mencintainya, entah mengapa Liana jadi gugup di depan Bima. Rasanya perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu hingga menggelitik. "Jawab, Liana!" desak Bima karena kebungkaman Liana. "Aku bolos, kak." jawab Liana. "Kenapa bolos?" "Tadi aku nungguin Kak Bima jemput, tapi Kak Bima gak datang-datang sampai jam tujuh. Yaudah aku bolos," aku Liana jujur. Bima mengerutkan dahinya. Jadi Liana menunggunya. "Kenapa tadi gak jemput? Kak Bima marah ya sama Liana?" tanya Liana yang matanya sudah berkaca-kaca. Bima menarik tangan Liana untuk menjauh dari teman-temannya, "Bim kamu masih ada kelas!" cegah Ava. "Aku nitip absen," jawab Bima tanpa menoleh. Bima membawa Liana ke mobilnya. Liana menurut tanpa membantah. "Kamu kesini naik apa?" tanya Bima. "Jawab dulu yang tadi Kak? Kak Bima marah sama Liana? Maafin Liana ya, kak. Liana janji gak akan bohongin Kak Bima lagi," ujar Liana memohon. Tangan Liana juga memegang tangan Bima dengan erat. "Kenapa tiba-tiba bilang gini? Bukannya kamu gak suka diatur? Aku beri kebebasan pada kamu. Silahkan berbuat semaumu. Toh itu hakmu," ucap Bima. "Aku gak mau kak. Aku gak mau bebas. Aku mau diatur lagi sama Kak Bima. Jangan diamin aku kayak gini, Kak!" isak Liana yang sudah tidak tahan dengan sikap dingin Bima. "Cengeng amat sih!" Bima terkekeh pelan. Membawa kepala Liana untuk bersandar di dadanya. "Aku gak mau kamu nekad kayak kemarin, Li. Kamu yang celaka sendiri, kan? Aku was-was kalau kamu gak nurut sama aku. Kamu ceroboh, nanti malah bahayain diri kamu sendiri," jelas Bima mengelus punggung Liana. Liana menangis walau bibirnya tersenyum. Ia baru sadar, bersandar di d**a Bima dan diusap-usap punggungnya, membuat dia sangat nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN