"Sebentar lagi mungkin Abhi akan datang," Ujar Bara pelan. Telapak tangannya mengusap punggung telanjang Anna yang basah oleh keringat akibat percintaan mereka. "Sebaiknya Mas segera memakai baju."
Anna mendorong tubuh Bara dan wanita itu tanpa malu; dengan bertelanjang memunguti satu persatu pakaiannya lalu segera memakainya. "Kalau Mas masih lama di sini. Orang – orang pasti curiga."
Bara menatap intens pada setiap pergerakan Anna, "Mas? Kenapa masih melamun—sih?" Gerutu Anna yang masih melihat Bara bermalas – malasan di atas ranjang.
"Buruan pakai," Anna memberikan baju Bara, namun mantan suaminya itu malah mengungkung dirinya dan kembali menindih tubuhnya. "Katanya Abhi mau datang. Tadi kan sudah cukup lama. Apa masih kurang?" Ujar Anna setengah tersipu.
"Aku tidak mengharapkan kamu hamil. Aku tidak mau tau kamu harus berusaha untuk tidak hamil. Konsekuensi jika kamu hamil adalah menggugurkan kandunganmu."
"Mas—" Napas Anna terasa tercekat. "Jangan kamu pikir apa yang telah kita lakukan memperbaiki semuanya. Aku tidak sepicik itu karena nyatanya aku masih membencimu."
Bara beranjak dari atas tubuh Anna. Dia memakai kembali bajunya dan melirik Anna yang masih berada di atas ranjang. "Kenapa masih di sini? Cepat ke apotek dan beli obat pencegah kehamilan Anna. Kalau perlu kamu suntik atau apalah, terserah."
**
"Cantik banget sih adiknya Mas?" Goda Abhi entah sudah ke sekian kali, membuat remaja putri yang tengah melahap makan malamnya itu mengerucutkan bibir.
"Rese banget sih Mas?"
"Memang benar kok adiknya Mas cantik. Iya kan Ma?"
Ditanya seperti itu oleh putranya, Anna hanya tersenyum tipis. "Punya fotoadiknya Mas waktu kecil nggak Ma? Mas mau lihat."
"Nggak usah lihat - lihat!"
"Judes banget adiknya Mas nih."
"Mas Abhiiiii. Godain aja aku terussss."
Anna dan Abhi terpingkal melihat Hana dengan bibir mengerucut menahan kesal.
**
"Mama mau kerja lagi?"
Anna mengangguk dan tersenyum lembut pada putranya. Hampir sebulan lalu, Anna bertemu salah seorang teman SMP nya dan temannya itu menawarinya bekerja di sebuah butik. Sepertinya memang Anna harus bergabung, mengingat perjanjiannya dengan Bara juga keberadaan Abhi yang kini tinggal bersamanya.
Dia sudah meminta izin libur selama empat hari berturut – turut dalam sebulan san syukurlah Citra; temannya setuju. "Mama nggak perlu kerja. Abhi aja yang kerja."
"Mama nggak setuju. Mas harus fokus kuliah dan raih cita – cita Mas."
Abhi menyentuh punggung tangan Anna dan mengecupnya. "Impian Mas yaitu tinggal sama Mama. Sekarang sudah terwujud. Jadi biarkan Mas yang kerja, Mas ada tabungan dari uang saku yang di kasih Papa. Cukup buat beli mobil, Mas mau ngeGrab aja, Ma."
"Mas harus fokus kuliah. Mama mohon, Mama nggak mau kalau sampai Papa tau kamu kerja, bisa -bisa kamu di jauhkan dari Mama. Please.. biarkan Mama aja yang kerja ya?"
"Papa.. aku tau Papa itu seperti apa. Dia menentang aku bertemu apalagi sampai tinggal sama Mama. Kenapa Papa tiba – tiba setuju?"
Jantung Anna berdetak kencang ketika mendengarnya, dia memaksakan senyumnya dan berkata, "Kami telah diskusi. Papa kamu setuju asal kuliah kamu lancar dan nilai kamu bagus, Mas. Jadi Mama mohon ya?"
Abhi menunduk dan menghela napasnya. "Iya, demi Mama."
**
Bara tengah berkutat dengan beberapa berkas yang memang harus segera ia baca ketika Reta masuk dan membawakan kopi untuknya. "Terima kasih, Ai." Ujar Bara tanpa melepaskan tatapannya dari kertas yang dia baca. "Sibuk banget sih, Sayang." Jemari Reta bergerak, mengelus punggung Bara dan mengusapnya perlahan, bermaksud memberi rangsangan kecil yang membangkitkan gairah suaminya.
"Ai, bisa tunggu setengah jam?" Tanya Bara pada akhirnya melepas tatapan matanya dari kertas di tangannya untuk menatap wajah istrinya. "Enggak bisa. Ayolah, Sayang."
Bara melepas kaca mata bacanya, lalu beranjak, dia membawa Reta untuk rebahan di sofa yang ada di ruangan itu dan memberikan kepuasan kepada istrinya itu. "Sayang, kamu belum selesai." Ujar Reta masih dengan napas tersenggal akibat pelepasannya. Namun dilihatnya Bara yang membenarkan letak pakaiannya dan kembali duduk di kursi kerjanya.
"Sayangg.."
"Sudah, Ai. Aku nggak apa, tapi tolong, jangan merengek karena pekerjaanku masih banyak."
Bibir Reta mengerucut dan tidak lagi membantah. Wanita itu membenarkan letak pakaiannya dan keluar dari ruang kerja Bara. Meninggalkan Bara yang meletakkan kertas yang dia baca dan kembali melepas kaca mata bacanya. Pria itu beranjak, menuju balkon untuk menghirup udara segar.
Matanya terpejam untuk beberapa saat sebelum tangannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel pintarnya untuk menghubungi seseorang.
"Bagaimana hasilnya?"
"Sudah saya emailkan Tuan. Silahkan di cek,"
Bara segera memutuskan sambungan telepon itu dan membuka emailnya, dalam beberapa menit, dia tercengang membaca email yang baru saja di kirim oleh salah satu ajudannya.Ponsel itu pun segera ia matikan dan ia lempar di kursi yang ada di sana. Kedua tangannya mencengkeram trali besi pembatas balkon dengan wajah yang memerah padam.
**
"Ma?"
"Ya Mas?"
Abhi mengambil duduk tepat di sofa samping mesin jahit tempat Anna menjahit baju untuk konsumennya. "Sudah malam lho,"
"Sedikit lagi, Mas. Jahitannya besok mau di ambil. Tanggung banget ini. Ini kan jahitan terakhir Mama, sebelum lusa mulai kerja."
"Hmm.. Ma? Papa tadi telepon aku," Jelas Abhi. Membuat gerakan Anna yang tengah menggunting benang sontak terhenti beberapa detik. "Oh ya? Ada masalah apa?"
"Tanya kabar aja. Terus tanya kapan aku mulai kuliah,"
Suara mesin jahit Anna terdengar nyaring di antara obrolan mereka. Wanita itu menggunting benang jahitannya dan melipat rapi baju yang sudah ia jahit dengan sepenuh hati dan dia letakkan di meja samping mesin jahit. "Papa pasti rindu kamu, Mas. Biasanya di rumah ada kamu, sekarang Papa sendiri."
"Papa sudah menikah, Ma."
Lagi, Anna di buat terkejut oleh pengakuan putranya. "Oh ya?" Tanya Anna gamang. Dia mulai dilema. Seharusnya Bara tidak melakukan itu padanya, kalau nyatanya pria itu telah menikah. Bagaimana perasaan istrinya saat tau suaminya bermain api dengan Anna yang notabennya adalah mantan istri Bara? "Papa nikah sama Tante Reta. Mama ingat Tante Reta? Dia teman Papa."
Bertambah lagi keterkejutan di wajah Anna. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari putranya. "R—reta?"
"Iya. Tante Reta. Abhi masih nggak menyangka, Papa kenapa bisa nikah sama Tante Reta. Abhi nggak suka, sayangnya Abhi nggak punya hak larang Papa untuk nikah sama dia."
"Apa—mereka punya anak?"
"Ya, cewek. Namanya Soraya, umurnya baru dua tahun sebelum meninggal tujuh tahun lalu."
Kepala Anna terasa pening sekarang. Dia merasa bodoh, berpikir tidak apa – apa menyerahkan tubuhnya pada Bara demi bisa bersama Abhi, berpikir Bara masih menduda sudah sekian lama. Hubungan intim keduanya terasa menggebu, yang Anna pikir karena Bara tidak mendapat kepuasan setelah sekian lama. Pikirannya yang polos tidak pernah menduga bahwa Bara sudah menikah, Bara pria dewasa dan tentu seorang pria dewasa membutuhkan wanita untuk menyalurkan hasratnya. Tapi kenapa Bara membuatnya menjadi wanita jahat dengan menjadi simpanan Bara di belakang istrinya? Dan apa arti hubungan intim keduanya yang menggebu beberapa hari lalu?
Balas dendamkah?
Ya tentu balas dendam atas dosa – dosa yang dilakukan Anna beberapa tahun lalu. "Ma? Kok melamun?"
Anna menatap putranya dan tersenyum tipis, "Nggak apa - apa. Yuk tidur sudah malam. Besok Mama harus jemput Mbah Uti di terminal."