"Maaf, Bos. Sepertinya Den Abhi sudah tau kami ada di Stasiun. Bagaimana ini Bos?"
"Cari sampai ketemu dan bawa dia ke tempat tinggal mantan istri saya."
Sambungan telpon itu tertutup. Bara menghembuskan napas menahan emosi. Dia segera beranjak setelah mengeluarkan uang dan memberikannya pada ibu pemilik warung, langkah kakinya terayun kembali memasuki tempat tinggal Anna dan melihat wanita itu menangis tersedu di sofa yang ada di ruang tamu. Ketika melihat Bara menyelonong masuk, Anna buru – buru menghapus air matanya. "Aku ada sebuah penawaran buat kamu yang tentu sangat menguntungkan buat kamu."
Mata Anna yang memerah menatap Bara yang berdiri dengan kedua tangannya yang ia simpan di saku celana. "Abhi aku izinkan tinggal sama kamu." Bara sengaja menjeda. Ingin tau bagaimana ekspresi Anna dan mendapati sorot berbinar dari pancasan mata Anna.
"B—enar Mas?"
"Tentu dengan sebuah imbalan."
"Apa itu?"
"Tubuhmu."
Sinar di mata Anna meredup. Dia beringsut mundur dengan tubuh bergetar, "Aku nggak mau."
"ckckck. Yakin? Abhi bisa tinggal bersamamu dan dia bisa kuliah di sini. Imbalannya cukup mudah, hanya tiga hari dalam sebulan kamu akan tidur denganku, tentu aku akan memberimu bonus berupa uang kalau aku benar – benar terpuaskan. Bagaimana?"
"Nggak mau. Aku tidak akan melakukan hal sehin—"
Bara secepat kilat mencengkeram dagu Anna dan meremasnya kuat, "Hina? Bukankah sejak dulu kamu sehina itu? Mau ku ingatkan kejadian tadi?"
"S—sakit,"
"Dalam hitungan ke sepuluh, jika kamu belum memutuskan. Aku benar – benar akan menjauhkan Abhi darimu! Satu—Dua—Tiga—Empat—Lima—,"
"Ya, ya. Aku setuju. Aku setuju,"
Cengkeraman Bara terlepas dari dagu Anna. "Bagus. Pilihan yang tepat Sayang.Setiap bulan, di tanggal tertentu aku akan menghubungimu jika aku ingin. Kamu hanya perlu siapkan mentalmu ketika melayaniku. Dan oh ya," Senyum Bara tercetak miring. "Selama kamu melayaniku. Aku tidak ingin terganggu dengan apapun, termasuk panggilan telepon. Karena selama tiga hari itu, kamu milikku, Sayang. Hanya milikku."
Bara mendekatkan wajahnya, mengecup bibir Anna juga memberi bonus sebuah lumatan kecil di bibir wanita itu. Ketika Anna memberontak, Bara semakin intens mengeksplore bibir Anna dengan tangannya yang memegang tengkuk wanita itu. Ciumannya merambat turun menjelajah rahang Anna juga tengkuk mantan istrinya itu. "Mas Bara.. B—berhenti aku mohon,"
Air mata Anna sudah menggenang. Tubuhnya sudah jatuh terlentang di sofa dengan Bara di atasnya. "Mas.. n—nanti ada orang,"
"Oh s**t!" Bara mengumpat pelan. Dia beranjak dari atas tubuh Anna dan membenarkan kemejanya yang kusut. Hampir saja dia melakukannya lagi untuk hari ini.
Lalu di lihatnya Anna yang terlihat acak - acakan, rambutnya berantakan dengan bibirnya yang memerah akibat ciuman yang baru beberapa menit lalu terjadi."Kita ke kamar."
Bara menarik tangan Anna tidak sabar menuju kamar yang mereka gunakan tadi siang. Dia segera menutup pintu dan menguncinya sebelum mendorong tubuh Anna di ranjang. "Mas jangan.. Hana bisa sewaktu – waktu pulang," Ujar Anna penuh ketakutan.
"Biar dia tau sejalang apa ibunya."
"Jangan Mas.." Isak Anna mencoba mendorong Bara dari atas tubuhnya. "Aku mohon.."
Beberapa kali Anna menolak ciuman Bara, membuat pria itu mendengkus menahan kesal. Pada akhirnya lelaki itu beranjak dari atas tubuh Anna dan duduk di pinggiran ranjang. Bara mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan menghubungi salah satu ajudannya serta sengaja meloudspeakernya. "Abhi sudah ketemu?"
"Sudah Tuan. Ini jadi di antar ke alamat yang tadi?"
"Saya nggak mau! Saya mau ketemu Mama saya! Lepas! Lepas!"
Bara melirik Anna yang terisak di sampingnya setelah mendengar suara Abhi di seberang sana. "Tidak jadi. Antar saja anak itu ke Bandara supaya bisa langsung ke Ja—"
"K—kita lakukan, ayo kita lakukan, Mas!"
"Bagus."
"Ya Tuan?"
"Tidak jadi. Antar saja anak saya ke alamat mantan istri saya. Tapi sebelum itu kamu ulur dua jam sebelum sampai ke sini, entah itu keliling atau apalah. Bisa?"
"Bisa Tuan."
Bara pun memutuskan panggilan itu dan segera membuang ponselnya ke sembarang tempat. Dia beranjak berdiri dan menatap tajam Anna, "Kamu memang perlu di ancam ya Ann?"
Anna merunduk dengan isak tangis. Tangannya mencengkeram daster rumahan yang ia pakai untuk menyalurkan amarah yang hanya bisa dia pendam dalam hati. "Berhenti menangis karena aku nggak suka wanita cengeng."
Bara merangkak dan mendorong tubuh Anna hingga berbaring terlentang. Bara menyejajarkan wajahnya demi bisa meneliti wajah Anna dan jemarinya meliuk – liuk di sekitar rahang mantan istrinya itu. "Berapa umurmu? Tiga lima? Tiga enam?" Jemari Bara berhenti di bibir Anna dan lelaki itu menatapnya dengan seduktif.
"Ah! Sudah dua belas tahun sejak terakhir aku lihat kamu khianati aku. Kamu tau seberapa bencinya aku padamu?" Bara berdecak lirih, dia menjauhkan jemarinya dan berganti memberi kecupan kecil di sudut bibir Anna. "Sekarang adalah waktu yang tepat memberikan kamu pembalasan yang sebenar – benarnya. Aku akan melihatmu hancur seperti apa yang kamu lakukan dulu padaku."
**
Imbalan dari menyerahkan tubuhnya pada Bara adalah ia bisa melihat secara nyata putra yang sangat ia rindukan. Putra yang tidak dijumpainya selama 12 tahun lamanya. Tangisnya pun pecah bersamaan dengan rengkuhan Abhi di tubuhnya. "Abhi rindu Mama. Abhi rindu Mama.."
"Mama juga rindu sekali sama anak Mama." Anna melepas rengkuhan putranya demi bisa melihat wajahnya. Tangannya terulur dan dia mencium seluruh wajah putranya dengan air mata yang terus mengalir. "Anak Mama sudah dewasa dan tinggi sekali."
"Mama juga, semakin cantik." Abhi menghapus air mata Anna dengan kedua kemarinya. "Sudah sudah. Jangan menangis, sekarang Mama bisa melihat Abhi setiap hari."
Anna mengangguk, masih dengan linang air mata. Di ambang pintu sana, ada seorang remaja menatap pemandangan di depannya dengan mata yang berkaca - kaca. "Mas Abhi?" –
Sedangkan di luar sana, Bara menatap kosong ke luar jendela mobil yang di tumpanginya. Dengan berbagai pikiran yang hanya diketahuinya seorang.
**