Part 1
"Abhi sudah besar! Papa nggak bisa larang Abhi buat ketemu Mama!"
Bara tidak menatap ataupun melirik pada putranya yang sudah berdiri tegap di hadapannya. Pria awal usia empat puluhan itu masih fokus membaca koran di tangannya dan sesekali menyesap kopinya tanpa merasa terusik oleh omongan putranya.
"Sebentar lagi Abhi akan cari Mama. Abhi akan tinggal bersama Mama."
"Terserah kamu." Ujar Bara dengan tenang, tanpa melepaskan tatapannya dari koran yang dia baca. "Papa sangat yakin, Mama kamu itu tidak bisa memberimu hidup yang layak seperti Papa kecuali kalau dia mendapatkan uang dari melacurkan diri."
Tangan remaja itu terkepal menahan emosi. "Mama nggak seperti itu!" Teriak remaja itu dengan napas yang memburu.
"Coba saja kalau tidak percaya. Mamamu itu punya anak perempuan dari hasil melacurnya dulu. Temui dia kalau kamu tidak percaya sama Papa."
**
"Apa ini?"
Bara membuang sebuah kertas di depan putranya yang tengah menikmati televisi di ruang tengah. Remaja itu melirik kertas itu sekilas, sebelum melipat tangan dan kembali fokus menatap tayangan di televisi sana. "Papa tanya, apa ini?"
"Kenapa?" Tanya Abhi kesal seraya mematikan televisi yang sudah tidak menarik minatnya ketika Bara datang. "Kamu mau kuliah di Surabaya tanpa persetujuan Papa?"
"Bagus dong. Jadi Abhi bisa belajar lebih mandiri,"
"Abhi!" Bentak Bara penuh amarah. "Papa nggak akan setuju. Kamu harus tetap kuliah di Jakarta!"
Seringai kecil terpatri pada bibir tipis Abhi. "Apa karena ada Mama di sana, jadi Papa melarang? Papa takut aku bertemu Mama?"
"Sudah Papa bilang Mama mu itu p*****r! Dia tidak pantas kamu hormati! Jadi Papa ingin kamu tidak menemuinya!"
Prangg!
Bara menatap tidak percaya pada putranya yang baru saja melempar remote televisi ke layar televisi itu hingga retak. Amarah Abhi sudah berkobar ketika dia mendengar lagi Papanya mengatai Mamanya seorang p*****r. Kedua tangannya pun terkepal ingin sekali membanting seluruh perabotan yang ada di rumah ini demi menuntaskan amarahnya.
"Kamu!!!"
"Papa nggak berhak bilang Mama p*****r! Seharusnya Papa itu ngaca! Papa dibutakan sama manipulasi wanita ular itu! Abhi benci Papa yang memisahkan Abhi dari Mama dan adik Abhi. Abhi benci Papa!"
"Hey, Abhi!"
"Abhi!" Teriakan Bara memenuhi penjuru rumah. Sedangkan remaja itu memilih keluar rumah dengan membawa motornya. Sepertinya kali ini dia butuh rokok dan alkohol sebagai pengganti rasa sakitnya.
**
"Apa kamu bilang?"
Bara yang sudah rapi pagi itu dengan pakaian yang rapi nyaris menjatuhkan rahangnya mendengar penuturan Bik Asih baru saja. "Di mana dia?"
"Anu—tiduran di depan Pak."
Bara segera bangkit langkahnya terayun keluar dari rumah. Benar saja, di depan gerbang rumahnya, Abhi tertidur dengan penampilan acak –acakkan. Amarah Bara semakin berkobar dan dengan membelokkan langkah kakinya menuju kran air, dia memutar kran air itu dan membawa selangnya ke arah Abhi. Benar saja, dalam hitungan detik, putranya itu terbangun dengan gelagapan.
"Bangun! Bikin malu aja kamu!"
Abhi seolah menulikan pendengarannya. Abhi beranjak berjalan sempoyongan dan melewati Bara begitu saja. Tidak peduli dengan pandangan para pekerja di rumah mewah papanya ini, atau tatapan orang – orang yang lewat di depan rumah dan sengaja menonton drama yang ia tunjukkan pagi ini. Tak peduli dengan lantai yang basah dan kemungkinan itu akan menyulitkan Bik Asih. Abhi tak peduli. Dia langsung menuju kamar sebelum membanting pintu kamarnya keras - keras. Dia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang sebelum setetes air matanya mengalir. Dia menangis dalam diam.
Ma, Abhi pengen ketemu Mama. Pengen Mama peluk seperti dulu. Pengen Mama cium. Abhi rindu Mama, Ma. Abhi Rindu.
**
"Au.."
"Ya ampun, ati – ati to, Nduk. Mikirin opo kamu itu?" Ujar Risma, seraya mengambil kain juga jarum yang ada di tangan Anna. "Saya kok tiba – tiba ke pikiran Abhi ya, Bu? Saya rindu dia, Bu."
Risma menatap prihatin pada Anna yang menundukkan kepalanya. Dia tau kesedihan wanita ini, Risma benar – benar ikut merasakannya. Bagaimana seorang wanita yang sembilan bulan mengandung dan karena kesalahpahaman, wanita itu dijauhkan dari anaknya dan tidak di anggap keluarganya.
Wanita ringkih yang Risma temui dipinggir jalan dengan tubuh kurus juga perut sedikit membuncit karena kehamilannya. Wanita yang harus bertahan demi kandungannya sehingga rela meminta belas kasih pada orang – orang yang ada di sekitarnya. Tidak ada barang apa pun yang di bawah Anna kala itu. Hanya sebuah baju yang melekat di tubuh.
"Sudah sudah. Ikhlaskan saja, dan berdoa supaya kamu bisa bertemu sama anakmu."
Di sepertiga malam setelah Risma memutuskan membawa Anna ke rumahnya, Risma sering kali mendengar suara isak tangis dari kamar yang ditempati Anna. Butuh waktu sekitar dua bulan untuk Anna menceritakan kisah hidupnya dan memulai lembaran baru dengan janin yang saat itu tengah di kandungnya.
Janin itu kini menjelma menjadi Gadis cantik yang menjadi sumber kekuatan Anna, sayangnya, ayah kandung Gadis cantik itu tidak mengakuinya.
"Mama kenapa? Kenapa nangis Ma?"
Dari arah pintu, Gadis berseragam putih – biru itu segera mendekati Anna. "Nggak papa kok. Ini Mama ke tusuk jarum." Ujar Anna seraya menghapus cepat luluhan air matanya.
"Mama nggak pandai bohong! Jujur sama Hana, kenapa Mama menangis?"
"Mama kamu ke pikiran Mas kamu, Nduk. Makanya tangannya sampai ke tusuk jarum."
"Ya ampun Mama!"
"Sudah, Mama nggak apa - apa. Mama Cuma rindu aja sama Mas kamu."
Anna menarik sudut bibirnya, untuk mengelabui putrinya. "Kamu buruan ganti baju terus makan. Mbah Uti tadi masak lodeh kesukaan kamu."
"Tapi tangan Mama—"
"Sudah biasa, Nduk. Nanti Mama obati sendiri. Ganti baju dulu dan baru boleh makan." Ujar Anna final yang tidak bisa lagi di bantah oleh Hana sehingga membuat gadis itu menunduk lesu dan pada akhirnya mengangguk.
**
"Rileks dong, Sayang."
Reta mengusap punggung telanjang suaminya pelan. Setelah baru saja mereka sama – sama mencapai puncak. Senyum Reta mengembang kala Bara mengangkat kepalanya dan mereka saling berpandangan. Hati Reta tersentuh, tangannya terulur menyentuh rahang suaminya yang di tumbuhi bulu – bulu halus.
"Ada yang kamu pikirkan?"
"Tentu. Sangat banyak yang aku pikirkan, Sayang."
Wajah Bara mendekat, untuk sengaja memberi satu lumatan kasar di bibir istrinya. "Tentang apa?" Tanya Reta setelah ciuman Bara terlepas.
"Apa banyak berita yang terlewat karena kepergianku ke Jepang selama seminggu?"
"Ya. Ini tentang Abhi."
"Kenapa dengan anak itu, Mas?"
"Tanpa sepengetahuanku, dia mendaftar di kampus yang ada di Surabaya." Bara memberi jeda. "Itu artinya dia bisa bertemu Anna. Seperti itu?"
"Kamu tau sebenci apa aku dengannya dan tidak ingin lagi melihat dia setelah pengkhianatan itu."
Mata Bara menerawang, hingga satu memori terlintas dalam otaknya bagai roll film. Hingga dia tersentak dan buru – buru beranjak dari atas tubuh Reta. Bara duduk di pinggiran ranjang dengan mata terpejam dan dia kembali teringat.
Bola mata yang jernih itu menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman. Bibir kecil warisan dari ibunya mengukir sebuah senyum untuknya. Juga panggilan yang keluar dari bibir mungilnya, menyentuh ulu hatinya.
"Papa ini aku Hana. Hana rindu Papa."
**
"Papa ini aku Hana. Hana rindu Papa."
Hana masih ingat memori yang tidak pernah ia lupakan. Ketika usianya menginjak delapan tahun, Anna mengajaknya ke Jakarta untuk bertemu Mas Abhi juga Papa yang sangat ingin di temuinya. Dia tidak pernah sebahagia itu, karena memang sejak kecil dia tidak menjumpai dua sosok itu. Sosok yang selalu di kenalkan ibunya sebagai ayah dan kakaknya.
Dia bahkan bercerita kepada teman – temannya bahwa ia akan ke Jakarta naik kereta demi bertemu Papa dan kakaknya, dan mereka akan tinggal bersama seperti keluarga teman - temannya. Namun yang terjadi bukan pelukan hangat ketika ia bertemu dengan sosok yang dikenalkan ibunya melalui foto sebagai papanya, tapi sebuah tatapan tajam yang dia terima, sehingga membuat anak seusianya melangkah mundur dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya.
Lalu makian-entah apalagi yang hanya orang dewasa yang boleh mengatakannya; terdengar di gendang telinga Hana. Hingga Hana melihat ibunya menangis dan jatuh tersimpuh di lutut pria yang seharusnya ia panggil dengan sebutan Papa. Dan pada akhirnya, terdengar kalimat menyakitkan terlontar dari bibir papanya yang sampai sekarang masih melekat dalam pikirannya dan tidak pernah ia lupakan.
"Aku bukan ayahnya! Jangan mengarang cerita dengan mengatakan kalau aku adalah ayahnya! Dia hanya anak haram hasil hubungan melacurmu dulu!"
Dan kebenciannya pada sosok Papa yang sebelumnya menjadi idola dalam angan – angannya sirna sudah. Menjadi kesakitan yang harus ia terima untuk anak seusianya.
Kini ia pun paham, arti isak tangis yang sering ia dengar kala tengah malam tiba. Arti sebuah foto yang selalu di dekap Mama saat Mama menangis. Kini Hana memahaminya dan dia tidak peduli lagi dengan keluarga kecil bahagia versi angan – angannya dulu.
Cukup mama saja yang dia punya. Tidak lagi dengan pria yang enggan ia panggil dengan sebutan Papa.
Hana cukup tahu diri dengan posisinya sebagai anak haram.