Bab 3 Khawatir

1743 Kata
Waktu kini hampir menunjukkan pukul dua belas malam, dan cuaca sedang tidak bersahabat malam ini karena hujan turun dengan begitu lebatnya sejak satu jam yang lalu. Tampak Nana tengah memasang wajah gelisah, wanita itu terus mondar-mandir di ruang tengah seperti setrikaan sembari melihat ponsel yang ia pegang sejak tadi. Yah meskipun ia tahu, jika suaminya tak akan mungkin mengabari dirinya melalui telepon, namun Nana masih tetap setia berharap seperti orang bodoh. Sejak berangkat ke rumah sakit pagi tadi, Malik sudah menunjukkan kondisi tubuh yang kurang sehat. Nana sudah membuatkannya jamu tapi Malik malah membuangnya, secara ia kan dokter lulusan Amerika, masak sakit minum jamu. Lha mau gimana lagi, Malik tidak enak badan tapi tidak mau minum obat, Nana kan jadi bingung, makanya ia membuatkan suaminya jamu, tapi naasnya Malik malah membuangnya begitu saja. Kesal dan gemas sendiri pokoknya berhadapan dengan dr. Malik itu. Tapi sayangnya Nana tidak pernah emosi sama sekali, atau lebih tepatnya belum menunjukkan emosinya pada Malik. Karena Nana sendiri merasa belum pantas untuk marah pada suami dokternya untuk saat ini. "Ck, nomernya nggak aktif. Dia baik-baik aja nggak ya?" Nana kembali menghembuskan nafas berat, ia tahu Malik adalah dokter, pasti bisa menyembuhkan diri sendiri, tapi sayangnya Malik itu bandelnya setengah mati, disuruh makan aja susah seperti anak kecil kalau sudah fokus dengan pekerjaannya. Gaya hidupnya sungguh berantakan menurut Nana, dan Nana tidak bisa tinggal diam dan membiarkan itu semua begitu saja. "Malik belum kasih kabar?" Tanya tuan Robert tiba-tiba. "Ah ayah, belum yah. Nana khawatir, takut dia kenapa-kenapa di rumah sakit terus nggak ada yang nemenin. Tadi pagi mukanya udah pucet banget, tapi karena jadwal operasinya nggak bisa ditunda, jadi dia langsung pergi gitu aja." Jelas Nana. "Ya sudah lebih baik kamu susulin dia ke rumah sakit, biar Jamal temenin kamu." "Ayah serius? Terus ayah sendirian dong? Nanti siapa yang jaga ayah?" "Kamu nih ngeremehin ayah. Ayah ini laki-laki, ngapain musti dijagain segala? Masih sehat gini, ayah nggak akan kenapa-kenapa meskipun kamu tinggal keluar. Lagian kan ada Surti sama Imah, Johan sama Jaya juga di rumah, ayah nggak sendirian." Ungkap tuan Robert pada Nana. "Gitu, ya udah kalau gitu Nana pergi sekarang ya yah!" Pamit Nana. "Iya, hati-hati ya! Kalau udah ketemu sama suami kamu cepat kabari ayah." "Siap yah!" *** "dr. Malik!" Panggil salah satu wanita. "Ya?" Langkah Malik pun langsung terhenti begitu saja karena panggilan wanita itu. "Saya mau berterima kasih sama dokter." Wanita itupun tiba-tiba saja memeluk Malik membuat Malik merasa sangat terkejut. "Dokter bener-bener penyelamat hidup papa saya, dokter adalah malaikat tanpa sayap, dokter adalah super Hero bagi saya, saya bener-bener berterimakasih karena dokter sudah menolong papa saya." Ungkap wanita bernama Dira tersebut dengan tangisan haru. Malik yang merasa tak tegapun akhirnya membiarkan Dira memeluk tubuhnya. "Saya hanya melakukan tugas saya, hal itu sudah sesuai prosedur jadi kamu tidak perlu berlebihan seperti ini." Ungkap Malik dengan nada tak enak. "Terserah apa kata dokter, tapi bagi saya, dokter adalah pahlawan saya, malaikat saya, dewa penolong saya. Dokter! Apa dokter mau nikah sama saya? Saya bersedia menyerahkan seluruh hidup dan jiwa raga saya untuk dr. Malik." Ucapan Dira barusan benar-benar membuat Malik langsung gelagapan. "Apa?" Beberapa orang dan perawat yang berlalu lalang bahkan sempat berbisik-bisik dan tertawa geli. "Saya jamin, dokter nggak akan pernah menyesal punya istri kayak saya, sa-" "Istri apaan ya yang kamu maksud?" Sahut seorang wanita yang tak lain adalah Nana. Keterkejutan Malik pun menjadi bertambah-tambah ketika melihat kedatangan istrinya. "Kamu siapa?" Tanya Dira pada Nana. "Kamu yang siapa? Berani-beraninya gatel sama laki orang, dasar ganjen, nggak tau diri." Ujar Nana pada Dira dengan nada tajam. "Laki orang? Dokter bukannya masih single? Para perawat bilang kalau dr. Malik belum punya istri. Tapi kok..." Dira tampak kebingungan, patah hati sekaligus merasa malu. Nana sendiri juga merasa kecewa karena sampai sekarang suaminya ini belum juga mengumumkan status pernikahannya di tempat kerjanya. Bayangkan sudah empat bulan, namun Malik masih saja bungkam. "Dia ini suami saya, kalau kamu nggak percaya kamu bisa lihat ini!" Nana pun menunjukkan kartu nikahnya pada Dira, dan betapa terkejutnya Dira saat melihat foto Malik dan Nana yang tertera di kartu itu. "Maaf mbak, saya nggak tau, saya permisi!" Karena saking malunya, Dira pun segera pamit tanpa melihat ke arah Malik. Malik pun tampak diam saja dan santai, sedangkan Nana sekarang sedang memasang wajah dongkol setengah mati. "Ngapain kesini?" Tanya Malik dengan nada tak suka. "Ngapain kamu bilang? Aku khawatir sama kamu, ayah juga. Tadi kamu berangkat dengan kondisi nggak fit dan sekarang belum pulang-pulang juga padahal hujan lagi deras-derasnya. Tentu aja aku kepikiran terus kesini buat cek kondisi kamu." Jelas Nana membuat Malik tersenyum remeh. "So sweet..." Ejek Malik. "Kamu pikir saya bakalan tersentuh? Kh, jangan harap. Wanita jalang seperti kamu nggak akan pernah dapat apapun dari saya, camkan itu baik-baik ditelinga kamu!" Malik kemudian tiba-tiba menoyor kepala Nana, lalu setelah itu langsung beranjak keluar meninggalkan istrinya yang masih berdiri mematung itu. Si Malik ini, ganteng-ganteng tapi kelakuannya sungguh biadab sekali, Nana jadi sedih kan sekarang, sudah disusul-susul hujan-hujanan begini, tapi Malik malah menghina dan menoyor kepala Nana. Mungkin selama ini Nana bisa menahan segalanya, namun malam ini Malik benar-benar sudah membuat emosinya terpancing. *** Hujan sudah sedikit reda, dan Malik yang tadi membawa mobil pun segera mengambil mobilnya di parkiran. Saat akan pulang, Malik tiba-tiba saja teringat akan perlakuannya tadi pada Nana, ada sedikit rasa bersalah yang ia rasakan, namun secepat kilat dokter itu segera menepis segala rasa bersalah itu. "Apa aku udah keterlaluan? Ck! Malik, abis ini dia pasti benci banget sama kamu dan minta cerai, itu kan yang kamu mau?" Malik tampak bermonolog dengan dirinya sendiri, meyakinkan dirinya sendiri jika tindakan yang ia lakukan tadi memang sudah tepat. Selang beberapa menit kemudian, Malik akhirnya telah sampai di rumahnya, ia bahkan tak mengingat istrinya sedikitpun dan meninggalkan Nana begitu saja di rumah sakit. Ini bukan seperti diri Malik yang sebenarnya, Malik biasanya sangat baik, ramah dan peduli dengan wanita manapun, tapi dengan istrinya, Malik langsung berubah menjadi orang lain. Malik hanya tak ingin termakan oleh ucapannya sendiri, dan sebisa mungkin ia harus mampu membuat Nana membencinya dengan kata-kata pedas yang selalu ia lontarkan pada wanita itu. "Mana istri kamu?" Pertanyaan tuan Robert yang tiba-tiba tersebut langsung membuyarkan lamunan Malik. "Ayah!" "Nana mana? Kenapa kamu sendirian? Kamu nggak ketemu sama dia?" "Itu yah, bukannya Nana tadi sama supir?" Ucapan Malik barusan sontak membuat raut wajah tuan Robert berubah, yang tadinya melunak, kini tiba-tiba menjadi mengeras. "Sama supir apaan? Jamal udah pulang dari tadi. Ayah suruh Nana temui kamu karena ayah khawatir sama kamu. Istri kamu juga nggak kalah cemasnya, dia bahkan belum sempat makan dari tadi siang gara-gara mikirin kamu. Kamu bahkan nggak kasih kabar sama sekali. Malik, maksud kamu apa bersikap seperti ini ha?" Nada bicara tuan Robert sudah mulai berubah, Malik pun mulai terlihat takut, tentu saja, orang yang paling ia takuti adalah ayahnya, takut ayahnya marah dan penyakit jantungnya kambuh. "Ayah mungkin diam saja, bukannya ayah nggak tau apa-apa tentang semua perlakuan kamu sama Nana, ayah cuma nggak mau terlalu ikut campur. Ayah pikir kamu sudah dewasa, tapi ternyata belum." "Yah... Aku-" "Apa sih kurangnya Nana ha? Dia baik, jujur, cantik, perhatian dan sayang sama keluarga. Kamu mau yang seperti apa lagi? Mau yang masih perawan iya?" Mendengar kata 'perawan' kedua mata Malik langsung melotot, apa ayahnya sudah tahu yang sebenarnya tentang Nana? "Yah!" "Ayah tau betul siapa Nana, ayah tau dia luar dan dalam. Apa karena dia sudah tidak perawan dan dulunya mantan PSK, makanya kamu nggak mau sama dia, iya?" "Tentu, Malik bisa dapat wanita yang jauh lebih baik dan terhormat yah, bukan wanita jalang seperti dia. Dia menjual dirinya hanya untuk uang, harta, kemewahan, lalu ayah nyuruh Malik untuk bisa nerima dia gitu aja? Itu artinya ayah nggak sayang sama Malik karena ayah ngasih barang bekas sama Malik." "MALIK!" Malik pun langsung terkesiap, tuan Robert menyebut namanya dengan nada yang sangat tinggi dan menunjuk wajahnya dengan jari kelingking. "Nana mungkin perempuan kotor dan hina dimata kamu. Tapi kamu harus ingat satu hal, dia terpaksa lakuin hal itu untuk melunasi hutang-hutang Derry yang mencapai hampir satu triliun. Kamu bayangkan saja bagaimana mungkin Nana bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sekejap? Wanita sekuat itu, jika saja dia tidak dalam kondisi tertekan dan terpaksa, dia juga nggak akan mau untuk jadi PSK. Kata siapa ayah nggak sayang kamu? Justru karena ayah sangat sayang, makanya ayah memilih Nana untuk menjadi istri kamu. Kamu tau alasannya apa? Karena ayah melihat sifat ibu kamu ada di diri Nana. Ayah pikir keperawanan bukanlah hal yang begitu penting untuk kamu, tapi sayangnya kamu mempermasalahkannya. Sekarang yang paling penting adalah hati seseorang, bukan keperawanannya, sekarang kamu bisa dapatkan perawan sebanyak-banyaknya yang kamu mau, tapi apa itu bisa menjamin kebahagiaan kamu dikemudian hari?" "Ayah-" "Jawabannya adalah enggak Malik, hal itu saja nggak akan cukup. Tolong kamu renungkan dan pikirkan kembali semua ini. Ayah mohon, tolong... Begini saja, ayah kasih waktu dua bulan, tolong buka hati kamu untuk Nana, terima segala bentuk perhatiannya, jika dalam waktu dua bulan kamu masih belum bisa mencintainya, maka saat itu juga kamu boleh menceraikannya." Ekspresi wajah Malik pun semakin tegang, tawaran ayahnya boleh juga, tapi bagaimana nanti jika ia malah jatuh cinta pada Nana, apa kata dunia? "Sudah empat bulan kalian menikah namun sampai saat ini belum ada kemajuan sama sekali, ayah mungkin diam saja tapi ayah selalu memantau hubungan kalian setiap hari. Kamu bahkan belum menyentuh Nana sama sekali kan? Gimana mau nyentuh, kamar aja pisah-pisahan." "Ayah!" "Kenapa pisah segala? Takut h***y lihat tubuh aduhay Nana, ya kan? Ngaku kamu! Takut jatuh cinta kan?" "Bu-bu-bukan yah, mana mungkin!" Wajah semerah tomat Malik langsung membuat tuan Robert tersenyum geli. "Munafik!" Desisnya. "Jadi gimana, deal kan?" Tanyanya. "Hm, ya! Malik setuju." Angguk Malik. "Bagus, tapi kamar nggak boleh pisah-pisahan lagi. Mengerti! Kalau sampai kamu tidur terpisah sama Nana, itu artinya kamu takut jatuh cinta sama dia, dan itu artinya apa? Anak bungsu Robert Bagaskara adalah orang yang sangat-sangat MUNAFIK." "Iya yah iya, Malik bakalan jadi suami yang sesungguhnya untuk Nana selama dua bulan ini. Bahkan kalau perlu setiap hari Malik bakalan mandi bareng terus sama dia. Puas?" "Nah, bagus itu, sangat-sangat bagus. Sudah sana jemput istrimu! Awas aja kalau dia sampai hilang, ayah nggak mau minum obat lagi." Ancam tuan Robert membuat Malik tak bisa berkutik lagi. Kalau sudah menyangkut diri sang ayah, Malik sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dokter bedah yang sudah sangat lelah itu pun akhirnya kembali ke rumah sakit untuk menjemput istrinya yang entah sedang bagaimana sekarang keadaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN