Delapan

1363 Kata
Irza pamit ke toilet pada teman-temannya. Akibat pengaruh alkohol membuat langkahnya sedikit gontai tapi dia masih sadar sepenuhnya. Beberapa kali terdengar dia mengumpat kasar saat tubuhnya disenggol oleh pelanggan klub malam yang juga sedang mabuk. "Irza?" Terdengar suara yang akhir-akhir ini menjadi tidak asing di rungunya sedang memanggil. Namun Irza pilih mengabaikan suara itu. Mungkin itu sinyal kalau alkohol yang masuk sudah mencapai batas toleran yang bisa diterima oleh tubuhnya, sehingga membuatnya jadi mudah berhalusinasi seperti saat ini. "Kamu benar-benar tidak mendengar, atau sengaja mengabaikan panggilan saya?" Suara dalam itu lagi-lagi terdengar. Kali ini semakin jelas. Irza menghentikan langkah dan berbalik badan untuk meyakinkan dirinya kalau tidak sedang berhalusinasi. "Jerome?" Shit! Ternyata Irza tidak salah dengar. Karena saat ini pria yang namanya baru saja disebut itu sedang berdiri tidak jauh dari hadapannya. Ekspresi yang ditampilkan wajahnya datar dan menatap jengah pada Irza. "Kamu ngapain di sini?" tanya Irza gelagapan. "Harusnya saya yang bertanya. Sedang apa kamu di tempat ini?" "Aku diajakin temen," jawab Irza berusaha menutupi kebenarannya. "Oh diajakin, tapi kamu yang booking VIP room dan memesan minumannya?" "Kamu kok tahu??" tanya Irza dengan bodohnya. "Yang kamu gunakan kartu kredit saya. Kamu lupa?" "Kamu?" Irza menggeram, menahan diri untuk berkata kasar. "Iya, saya memantau pergerakan kamu dengan kartu kredit itu. Kamu pikir bisa seenaknya menggunakan kartu kredit itu tanpa pengawasan?" "Aku nggak suka diawasi kayak gini!" Dengan suara bergetar karena takut, Irza masih berusaha membela diri. "Suka tidak suka kamu sudah menyetujui kontraknya. Dan kamu sudah melanggar beberapa poin sekaligus malam ini." "Tapi-" Irza tidak jadi melanjutkan protesnya. Tatapan Jerome membuatnya keder. Dia segera membuang muka demi menghindari tatapan tajam dari Jerome. Jerome menyeret Irza tanpa ampun keluar dari klub malam. Merasa dirinya salah, Irza tidak sedikit pun melakukan perlawanan. Dia mengumpulkan tenaga supaya bisa tetap sadar dalam menghadapi Jerome. “Kamu bilang aku boleh menggunakan kartu kredit itu sepuasnya. Kenapa kamu malah mengawasi aku lewat kartu kredit itu?” Irza berusaha membela diri. “Kamu menggunakan kartu kredit itu untuk hal-hal yang melanggar kontrak perjanjian. Kamu ke bar dan mengkonsumsi alkohol. Dua hal itu tertera jelas dalam poin yang tidak boleh kamu langgar.” “Aku ke sini cuma sebentar. Nggak enak sama teman-temanku karena udah lama menghilang. Sekalian ingin memastikan kalau kamu memenuhi janji kamu akan membebaskan aku dari kejaran debt collector.” “So? Apa kamu masih dikejar debt collector?” Irza buru-buru menggeleng dan menundukkan kepalanya. “Baru beberapa jam yang lalu kamu menandatangani kontrak perjanjian, dan saya sudah memenuhi sebagian janji saya. Sedangkan kamu? Justru melanggar kontrak perjanjian.” “Iya, maaf. Aku janji nggak akan ke klub malam lagi,” ucap Irza dengan tampang memelas. Padahal dalam hati dia tidak sudi mengucapkan janji-janji itu. Jerome mundur selangkah. Dia mendesah dan sedikit menyesal karena bersikap terlalu kasar pada perempuan yang akan membantunya keluar dari persoalan rumit yang sedang menimpanya saat ini. Jangan sampai saja Irza tahu kalau pada dasarnya Jerome juga sangat membutuhkannya. Bisa-bisa Jerome tidak kehilangan power untuk menekan dan mengatur Irza menjadi sesuai keinginannya. “Oke! Ini terakhir kalinya saya melihat kamu di tempat seperti ini,” ancam Jerome. Irza mengangguk. “Iya makasih. Aku janji,” jawabnya dengan suara lesu. “Sekarang kamu pulang. Saya akan mengantar kamu.” “Eh, tapi?” “Tapi apa lagi?” “Seenggaknya biarin aku masuk dulu untuk pamit dulu sama teman-temanku.” Jerome menggeleng. “Seharusnya kamu tidak berteman dengan orang-orang seperti itu! Jangan berteman dengan orang-orang yang sesat!” Irza meneguk ludah, tidak bisa berkutik lagi kali ini. Dia mendesah pasrah lalu menuruti perintah Jerome yang menyuruhnya masuk ke mobil. Jerome mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Di tengah perjalanan Jerome melihat Irza memijat pelipisnya. Akhirnya Jerome membelokkan mobil ke arah minimarket yang buka 24 jam. Dia membelikan air mineral dan meminta Irza untuk segera meneguk habis air mineral tersebut. “Sudah enakan?” Irza mengangguk lemah. Kepalanya terasa pening hebat. Padahal dia ingat alkohol yang diminumnya tidak terlalu banyak. Biasanya juga dia bisa mengkonsumsi lebih banyak lagi dan bisa kembali ke kosnya dalam keadaan selamat. Merasa tidak kuat lagi, Irza merendahkan posisi sandaran jok mobil dan merebahkan kepalanya. Tiba-tiba Irza merasa mengantuk dan dalam hitungan detik dia terlelap begitu saja. *** Keesokannya Irza terbangun dengan kepala masih berdenyut. Dia seketika berdiri dari saat baru saja membuka matanya. Kedua matanya berputar, jantungnya sedikit berdebar cepat saat menyadari dia terbangun di tempat yang asing baginya. Ini bukan kamar kosnya. Irza berusaha merunut kejadian semalam. Yang terakhir dia ingat adalah Jerome mengantarnya pulang dan dia tertidur di mobil laki-laki itu. Terdengar suara dering ponsel. Irza kebingungan mencari keberadaan ponsel tersebut. Setelah menemukan keberadaan ponselnya, dia segera menyambar dan menerima panggilan telepon tersebut. “Hallo?” “Akhirnya kamu bangun juga.” Irza terkesiap. Suara dalam familier itu membuat Irza nyaris menjatuhkan ponselnya.Dia mengumpat dalam hati. s**t, Jerome! “Kamu bawa aku ke tempat apa ini?” “Oh, itu apartemen saya. Ralat. Sekarang menjadi tempat tinggal barumu.” “What the?” “Berhenti mengumpat, Irza! Gendang telinga saya lama-lama bisa rusak kalau terus-terusan mendengar kamu mengumpat.” “Yeah! Sekarang jelaskan kenapa aku bisa berakhir di tempat ini?” “Kamu calon istri saya. Jadi saya harus menjamin semua kebutuhan kamu termasuk kebutuhan tempat tinggal. Saya tidak mau orang-orang tahu kalau calon istri Jerome Orlando tinggal di tempat kos kumuh. Jadi mulai sekarang kamu tinggal di apartemen itu. Oh iya, kamu bisa nyetir?” “Kenapa memangnya kalau aku bisa nyetir?” “Sebentar lagi orang kepercayaan saya akan mengantarkan mobil untukmu. Saya tunggu kamu di restoran. Alamatnya saya kirim lewat chat. Kita akan makan siang bersama.” “Apa lagi ini, Jerome?” “Nothing. Hanya sekadar makan siang bersama. Kamu keberatan? "Sebebasnya elo aja deh!" "Irza, kalau bicara yang sopan sedikit. Apa perlu saya masukkan kamu ke sekolah khusus kepribadian?" What the heal yeah! Pekik Irza dalam hatinya. "Oh iya. Saya baru ingat. Kita harus punya panggilan kesayangan. Jangan panggil saya dengan nama kalau di tempat umum.” Irza tertawa sumbang. Dia menertawakan dirinya sendiri yang mulai terjebak dalam permainan yang dibuat oleh Jerome. “Kamu mau dipanggil apa memangnya? Sayang? Cinta? Beib? Honey?” tanya Irza dengan nada bicara sinis dan penuh kekesalan. “Honey boleh.” Shit! Irza mengumpati dirinya. Bagaimana bisa Jerome menyebut sebuah panggilan mesra dengan nada sedatar itu. “Terserah kamu sajalah!” kesal Irza. “Oke, honey. Segera mandi dan bersiap ya.” Panggilan telepon diakhiri. Irza terduduk lemas di atas ranjang yang sejak semalam resmi menjadi tempat tidur barunya. Beruntung hari ini adalah hari Sabtu, jadi dia tidak perlu repot-repot mencari alasan karena tidak masuk kantor tanpa izin. Irza bisa bernapas lega karena tidak perlu takut terancam kehilangan pekerjaan setelah ini. Sumpah demi apa pun, Irza benar-benar tidak berkutik kali ini. Biasanya dia yang meminta dan mengatur semua fasilitas yang dia mau dan butuhkan bila sedang menjalin hubungan dengan seorang sugar daddy. Namun kini, dia benar-benar seperti sedang dijebak. Dia tidak punya pilihan selain mengikuti peraturan konyol yang dibuat oleh Jerome. Irza memang tidak bisa menolak karena di kontrak perjanjian jelas-jelas tertulis bahwa Jerome berhak mengatur apa pun bahkan sampai ke kehidupan pribadi Irza tanpa ada protes dan penolakan. Namun bukan hal seperti ini yang Irza harapkan. Meski pikiran-pikiran buruk soal siapa sosok dan tujuan Jerome seolah sedang memperalatnya mulai muncul di benak Irza, dia berusaha menenangkan hatinya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Irza memutuskan untuk menyegarkan tubuhnya dengan mengguyur tubuh di bawah kucuran shower. Mandi air dingin dengan busa berlimpah pasti bisa sedikit merilekskan tubuh. Sayangnya Irza tidak bisa mandi berlama-lama. Dia benar-benar dibuat penasaran oleh Jerome. Akhirnya dia segera menyelesaikan acara mandinya dan membuka jendela internet untuk mencari tahu soal Jerome Orlando. Irza terkejut bukan main saat mulai mengetahui fakta-fakta soal siapa sosok Jerome Orlando di mata media sosial dan jagad maya. Matanya terbelalak saat membaca sebuah artikel, yang kalau dilihat dari tanggal rilisnya terbilang masih sangat baru. Dalam artikel tadi menyebutkan bahwa Jerome Orlando dikabarkan memiliki penyimpangan orientasi seksual. Akhirnya Irza bisa menarik kesimpulan tujuan Jerome bersedia membantunya dengan persyaratan yang cukup tidak masuk akal. Irza memekik kesal karena merasa telah dijebak oleh Jerome. Dia berjanji akan membuat perhitungan dengan pria dingin itu. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN