Sembilan

1009 Kata
Setelah puas mencari tahu soal Jerome lewat dunia maya, Irza keluar kamar untuk melakukan tour keliling unit apartemen yang akan menjadi tempat tinggal barunya. Entahlah dia bisa bertahan sampai berapa lama tinggal di apartemen tanpa seorang teman yang menemani. Paling juga kalau mentok dia akan balik kucing kembali ke tempat kos lamanya. Irza memang tidak terlalu suka sendiri apalagi tinggal di tempat besar seperti apartemen ini. Sebuah kejadian di masa lalu yang membuatnya menghindari tempat yang mengharuskan dirinya tinggal sendiri. Dulu saat Jinan mengajaknya tinggal di apartemen baru, Irza menolak karena takut suatu hari Jinan pergi dan meninggalkannya seorang diri. Sementara kalau tinggal di kos dia tidak merasa sendiri karena kehadiran penghuni kos lain. Meski tidak terlalu kenal baik, minimal suara-suara gaduh sekalipun yang ada dikosan mampu membuatnya merasa aman. Irza menatap kagum pada desain interior unit apartemen ini. Terkesan mewah tapi tidak terlalu norak. Tidak terlalu menunjukkan juga bahwa pemilik unit apartemen ini adalah seorang pria single dan kesepian. Justru warna-warna dan perabotan yang ada di dalamnya menunjukkan kesan hangat dan membuat betah penghuninya untuk menghabiskan waktu berlama-lama di dalamnya. Saat kembali ke kamar Irza menepuk keningnya sendiri. Rasa kagum pada desain interior apartemen membuatnya lupa kalau saat ini dia sedang berada bukan di tempatnya sendiri, jadi semua barang-barang pribadinya tidak ada di apartemen ini tentu saja. “Masa gue kudu pakek baju bekas semalam. Baunya pasti nggak karu-karuan tuh,” dumel Irza sambil mondar mandir di dalam kamar. Di saat Irza hendak mengambil keputusan untuk mengenakan pakaian semalam dan kembali ke tempat kosnya sebelum menemui Jerome siang ini, suara bel memenuhi seisi ruang apartemen. Irza berlari kecil untuk melihat siapa tamu perdananya. “Maaf mengganggu. Saya Sita. Mau mengantarkan titipannya Pak Jerome,” ujar sekretaris Jerome yang ditemui Irza kemarin di kantor Jerome. “Oh, iya. Terima kasih,” jawab Irza sopan. Sita menolak saat Irza menawarkannya masuk. Irza segera membuka bingkisan yang dibawakan oleh Sita. Di dalamnya berisi satu stel pakaian lengkap dengan pakaian dalam, beberapa produk kosmetik dasar dengan merek yang sama serta kontak mobil yang dijanjikan oleh Jerome sesaat yang lalu. Tidak lama kemudian ponselnya berdering. Panggilan telepon dari Jerome. “Sita sudah ke apartemen?” Suara dalam familier milik Jerome bertanya tanpa basa basi. “Iya. Apa maksud kamu memberikan barang-barang seperti itu untuk aku?” “Pakai saat menemui saya siang ini.” “Aku nggak suka modelnya. Lagian aku bisa beli sendiri pakai kartu kredit ataupun ATM yang kamu berikan untukku.” “Pakai saja! Jangan terlalu banyak protes. Dan ingat, saya tidak suka penolakan.” “Yeah!!! Terserah bapak aja deh!” Irza mengakhiri panggilan telepon dari Jerome secara sepihak. Dia mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Dia gemas pada sikap Jerome yang semakin mendominasi kehidupannya. Suara ponsel yang ada di samping Irza kembali bergetar. Irza mencoba mengabaikannya karena tahu itu adalah panggilan telepon dari Jerome. Dia mulai malas berbicara dengan pria menyebalkan itu. Namun getar ponsel itu tidak berhenti, justru kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya. Irza berdecak kesal, bangkit dari ranjang sambil menggerutu. “Apa lagi?” “Sepertinya kamu tidak suka kalau saya menghubungi? Kalau merasa keberatan harusnya kamu katakan sebelum menandatangani kontrak perjanjian.” Irza menggeram. Dia kesal bukan main tapi tidak tahu cara melampiaskannya bagaimana. Dia menggigit ujung bantal menahan dirinya untuk tidak mengumpati Jerome detik itu juga. “Aku mesti bersiap. Kalau yang terhormat Pak Jerome terus-terusan menelepon, kapan selesainya, Bapak?” “Saya baru menghubungi kamu tiga kali tapi kamu sudah mengatakan berkali-kali.” “Kalau Bapak terus ngomong kapan saya bersiapnya?” “Ya sudah. Saya cuma mau memastikan saja kalau kamu sudah bersiap.” *** Tepat pukul dua belas siang Irza memarkir mobil pemberian Jerome untuknya. Baru sehari dia resmi menjadi calon istri Jerome Orlando, segala fasilitas yang dijanjikan Jerome untuknya sudah dia terima. Harusnya dia bersyukur karena Jerome tidak mengingkari janjinya. Malah justru Irza yang belum sepenuhnya memenuhi janji yang sesungguhnya, dan belum apa-apa sudah melanggar beberapa poin peraturan yang tertera di kontrak perjanjian. Sebenarnya Irza merasa puas atas semua pemberian Jerome. Namun dia tetap tidak suka karakter Jerome yang mendominasi dan suka mengatur. Di sisi lain Irza juga masih sangat penasaran alasan Jerome memilih dirinya untuk dijadikan sebagai istri dan ibu dari calon penerusnya nanti. Irza masuk ke dalam restoran dengan langkah tenang, meski sejujurnya dia gugup dan debaran jantungnya berdegup kencang. Dia melihat ke sekeliling restoran, membuang napas lega saat tahu di dalam cukup sepi. Dia tidak perlu takut kalau-kalau bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya lalu tahu dia sedang melakukan pertemuan dengan Jerome. Irza tipe orang yang malas memberi penjelasan pada orang yang ingin tahu urusannya. “Ada yang bisa dibantu, Kak?” tanya seseorang berpakaian seragam pelayan restoran. Irza menoleh. “Reservasi atas nama Jerome,” jawabnya sopan. “Oh, mari saya antar, Kak.” Irza mengikuti langkah pelayan restoran menuju ke semakin dalam restoran. “Di sini tempatnya. Silakan duduk. Kakak mau pesan minum terlebih dulu sambil menunggu kedatangan Pak Jerome?”.tawar pelayan restoran tersebut. “Nanti saja. Terima kasih.” Irza menggerutu. Jerome memastikan dirinya supaya jangan sampai terlambat. Ternyata justru pria itu sendiri yang belum datang dan terlambat sepuluh menit dari jam yang telah ditetapkan. Melihat ke sekitar, Irza tidak merasakan ada yang aneh dari restoran ini yang bisa membantunya menjawab rasa penasaran yang mulai bersemayam di hatinya. Hanya sebuah restoran mewah dan biasa didatangi oleh kalangan tertentu saja. Mengisi kekosongan waktu Irza memilih menyibukkan diri dengan ponselnya. Membalas pesan singkat dari teman-temannya yang bertanya kenapa dia semalam menghilang begitu saja dari klub. “Maaf terlambat.” Setiap kali mendengar suara dalam itu, entah kenapa tubuh Irza refleks seperti membeku selama beberapa saat. Dia menghentikan gerakan sedang mengetik pesan di atas ponselnya. Mengangkat kepala dan mendapati Jerome sedang berdiri menatapnya. s**t! Irza menyumpah pada pembuat artikel yang mengatakan bahwa Jerome Orlando adalah seorang gay. Irza sama sekali tidak percaya pria yang sedang menarik kursi dengan gerakan maskulin dan penuh pesona lalu mendudukinya itu, adalah pria yang memiliki penyimpangan seksual. Irza harus mencari tahu lebih jauh lagi soal kebenaran artikel itu. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN