Tujuh

1730 Kata
Akhirnya setelah waktu yang telah ditentukan berakhir, Irza mau menyetujui penawaran dari Jerome, tapi dengan satu syarat bila dia berhasil hamil maka Jerome akan memberikan 30% saham Orland’s Group untuk dirinya saat mereka memutuskan berpisah dan hak asuh anak nanti akan diambil sepenuhnya oleh Jerome. Karena sungguh demi apa pun, Irza tidak ingin dipusingkan oleh persoalan pernikahan terlebih anak yang akan merampas kehidupan bebasnya. Jerome menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Irza asal Irza tutup mulut soal rahasia kontrak pernikahan mereka dan kontrak berakhir hanya bila sudah hadir buah hati dalam kehidupan pernikahan mereka.  Irza mengernyit heran dan bertanya-tanya dalam hatinya. Mengapa Jerome semudah itu menyetujui kenaikan jumlah saham yang diminta oleh Irza. Padahal tugas yang harus dikerjakan oleh Irza terbilang cukup mudah bagi seorang perempuan yang terbiasa menjalin hubungan simbiosis mutualisme dengan laki-laki, tapi imbalan yang akan diperolehnya sangat fantastis untuk pekerjaan semudah itu. Irza merasa curiga Jerome menyembunyikan suatu rahasia besar dan ada kaitannya dengan syarat yang diajukan dalam kerja sama mereka.  Namun Irza harus cepat mengambil keputusan karena takut kehilangan kesempatan baik yang ditawarkan oleh Jerome. Dia sudah tidak tahan lagi hidup dikejar-kejar hutang dan debt collector. Dia tidak peduli meski tahu kontrak ini akan membuat hidupnya terkekang. Lagi pula isi kontrak bisa dilanggar, yang penting selain hutang-hutangnya lunas, Irza juga akan mendapatkan kembali kehidupan hedonisnya yang dulu, ditambah sedikit lagi dia akan mendapatkan apa yang dia mau dengan mudah tanpa perlu meminjam uang atau menjalin hubungan dengan pria bangkotan dan suami orang demi itu semua.  Setelah Jerome menyetujui syarat saham yang diminta oleh Irza, dia kembali ke meja kerjanya lalu menghubungi sekretarisnya melalui intercom. Dari mejanya dia melirik ke arah Irza yang tengah duduk tenang di sofa. Sikap tenang Irza membuat Jerome menilai bahwa perempuan yang akan menjalin kerja sama dengannya ini tampak terlalu tenang layaknya orang yang sudah terbiasa menghadapi persoalan seperti ini. Namun Jerome tidak terlalu mengambil pusing. Dia tidak peduli seperti apa latar belakang Irza. Karena dia hanya akan menikah dengan Irza berdasarkan kontrak, bukan pernikahan yang sesungguhnya yang harus melibatkan banyak hal penting. Di dalam kontrak kerja sama juga telah dijelaskan peraturan-peraturan yang akan mengikat Irza, tapi menguntungkan Jerome. Sehingga kemungkinannya sangat kecil Irza akan mempermainkan kontrak ini, terlebih menyebarluaskan soal kontrak pernikahan mereka nantinya pada siapapun. Irza masih sibuk dengan pikirannya yang mencari tahu tentang alasan besar Jerome memilih dirinya untuk terlibat dalam kontrak kerja sama, serta tujuan Jerome ingin menjalin hubungan pernikahan yang tidak lazim seperti ini. Tiba-tiba saja ada seorang wanita masuk dengan pakaian formal. Perempuan berparas manis, bertubuh sintal dengan warna kulit khas Indonesia dan berpenampilan trendi. Irza pernah bertemu dengannya saat pertama kali datang ke kantor Jerome dua hari yang lalu.  “Ini dokumen yang bapak minta,” ucap wanita tersebut.  Jerome mengangguk, mengambil map yang disodorkan wanita tersebut. Dia melangkah menuju sofa untuk bergabung kembali dengan Irza.  Irza mengernyit saat Jerome memberikan sebuah map padanya. “Apa ini?” tanya Irza tidak mengerti.  “Itu kontrak yang harus kamu tanda tangani. Baca dengan teliti setiap poinnya dengan detail sampai kamu paham. Ada hal yang harus dan tidak boleh kamu lakukan selama menjadi istri saya,” jawab Jerome santai setelah duduk di sofa..  Irza menaikkan sebelah alisnya, dengan ragu menerima map dari tangan Jerome. Sekilas dia juga melirik ke arah sekretaris Jerome. Dahinya mengerut dalam ketika melihat banyaknya poin yang harus dia lakukan tanpa ada bantahan apalagi protes. Apa-apaan ini??? Pekik Irza dalam hatinya.  Satu persatu poin yang dibaca oleh Irza masih bisa ditoleransi oleh ambang batas kesabarannya yang tidak seberapa itu. Dan karena malas melanjutkan membaca saking banyak dan terlihat cukup rumit untuk segera dipahami, Irza menyudahi acara membaca kontrak tersebut begitu saja. Dia menatap ke arah Jerome yang dari tadi duduk diam tapi sambil memerhatikan dirinya.  “Oke, aku sudah paham dan setuju. Sekarang mana bolpoinnya? Dan tunjukkan aku harus tanda tangan di mana?” tanya Irza santai. Persetan dengan poin dalam kertas yang jumlahnya tidak hanya satu dua lembar itu, Irza sudah ingin segera mengakhiri pertemuan ini dan mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Jerome.  Jerome cukup terkejut atas persetujuan yang disampaikan oleh Irza. Semudah itu? Pikir Jerome. Dia menatap tajam pada Irza kemudian bertanya. “Kamu yakin? Tidak ada yang ingin kamu sanggah atau poin yang memberatkan kamu?”  Irza mengangguk pasti. “Sekarang mana bolpoinnya? Aku buru-buru. Waktu istirahat makan siangku sudah mau habis dan aku belum sempat makan siang,” jawab Irza jujur.  Jerome masih menatap Irza masih dengan tatapan yang sama. Dia tersenyum sinis lalu berbicara pada sekretarisnya. “Berikan dia bolpoin. Kamu boleh keluar dari ruangan saya,” perintah Jerome.  Wanita itu mengangguk. Sebelum pergi dia menyerahkan bolpoin yang sedari tadi dipegangnya pada Irza. Tanpa ragu sedikitpun Irza menerima bolpoin tersebut. Bahkan tanpa pikir panjang dia langsung menandatangani bagian-bagian yang ditunjukkan oleh Jerome.  Setelah Irza menandatangani surat kontrak perjanjian tadi, Jerome memeriksa kembali surat tersebut. Setelah yakin dia memasukkan kembali surat perjanjian tadi ke dalam map. Jerome berdiri merapikan jas yang dikenakannya lalu melangkah ke meja kerja untuk menyimpan map berisi surat perjanjian di laci penyimpanan.  “Kalau begitu hari ini cukup segini saja. Kamu boleh pergi untuk melanjutkan kembali aktivitas kamu,” ujar Jerome tanpa ekspresi.  Irza mengangkat sebelah alisnya. “Hah? Gitu doang? Trus kapan aku mulai mendapatkan apa yang sudah kamu janjikan padaku?”  Jerome menatap Irza dan berbicara dari balik meja kerjanya. “Orang-orang saya akan mencari tahu informasi soal hutang-hutang kamu. Kamu tinggal tunggu saja telepon dari pihak bank saat proses penyelesaian hutang-hutangmu.”  Irza masih bergeming di tempatnya. Dia ingin menanyakan soal kartu kredit yang sempat ditawarkan oleh Jerome dua hari yang lalu. Oh ayolah. Dia tidak ingin bersikap munafik dan jual mahal lagi kali ini. Sudah cukup dia meratapi penyesalan karena sudah menolak kartu kredit platinum yang ditawarkan oleh Jerome waktu itu.  “Yakin kamu tidak melupakan sesuatu?” pancing Irza. Berharap Jerome mengerti apa maunya.  Jerome seperti teringat sesuatu. Dia menarik sebuah laci di bawah meja kerjanya. Mengeluarkan kartu kredit yang pernah ditawarkan pada Irza. “Maksud kamu ini?” tanyanya, sambil menunjukkan sesuatu yang telah diambil dari laci penyimpanan.  Irza tersenyum tersipu kemudian mengangguk pelan. Jerome melangkah ke arah Irza. “Ini, ambillah dan gunakan sepuasnya. Tapi ingat, jangan berbuat hal-hal yang melanggar kontrak. Saya tidak akan segan membuat hidupmu sulit, kalau kamu coba-coba bermain api dengan saya.”  Irza mengangguk semangat setelah menerima kartu kredit dari tangan Jerome. Dia berdiri lalu memberikan gerakan hormat. “Siap, Bos!” ucapnya.  Jerome menggeleng dengan ekspresi malas lalu pergi lebih dulu meninggalkan Irza di ruangannya. Sampai pemilik punggung kokoh itu menghilang dari pandangannya, Irza langsung memekik kegirangan. Berjoget tidak jelas untuk mengungkapkan kebahagiannya. Nikmat Tuhan mana lagi yang akan dia dustakan tatkala kartu kredit tanpa limit itu sudah ada di tangan dan menjadi miliknya sepenuhnya.  “Happy shoping!” pekik Irza, mengecup berkali-kali kartu kredit yang ada ada di tangannya. Dia ingin bersenang-senang tanpa ada seorang pun yang mengejar dan mengusik acara senang-senangnya.  ***  Irza teringat poin tentang larangan tidak boleh mendatangi klub malam untuk alasan apa pun di surat perjanjian yang telah ditanda tanganinya siang tadi. Namun Irza tidak peduli soal itu. Karena prinsipnya larangan itu dibuat untuk dilanggar. Dia cukup yakin kalau Jerome tidak akan menemukannya di klub malam. Menurutnya Jerome bukan tipe orang yang suka mendatangi klub malam seperti dirinya. Orang dengan bentukan kaku seperti patung dewa yunani itu pasti lebih suka menghabiskan waktu di balik meja kerja ketimbang bersenang-senang seperti yang dilakukan olehnya saat ini. Begitu pikir Irza saat memutuskan mendatangi sebuah bar malam ini.  Saat Irza sudah sampai di sebuah klub malam yang biasa dia datangi untuk bersenang-senang bersama teman-temannya, kondisinya sudah sangat padat dan pengap, bahkan tampak lebih ramai dari biasanya. Dia melangkah memasuki klub sambil menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik DJ yang memancing gairahnya untuk bersenang-senang. Dia sudah memesan VIP room dan berbagai jenis minuman setelah mendapatkan pin dari Jerome.  Irza hanya melambaikan tangan membalas sapaan orang-orang entah itu siapa yang memanggil namanya. Dia berjalan lurus menuju VIP room yang telah dipesannya. Dia tersenyum saat melihat di dalam sana sudah ada beberapa temannya yang sudah datang sebelum dirinya. Mereka sedang tertawa entah menertawakan apa. Irza mempercepat langkahnya supaya bisa segera bergabung dengan yang lainnya.  “Irza? Ke mana aja lo? Susah banget dihubungi tahu-tahu ngajak party. Booking VIP room lagi. Banyak duit lo?” tegur salah satu wanita berpakaian minim yang melihat kedatangan Irza.  Mereka lalu saling bercipika cipiki menyambut kedatangan Irza. “Biasalah, lagi butuh waktu untuk semedi,” jawab Irza asal setelah duduk di sofa yang ada di dalam VIP room.  Saat asyik mengobrol diselingi canda tawa dan tak ketinggalan menenggak minuman beralkohol yang telah dipesannya, Irza menangkap sosok yang tak asing di matanya. Berada tidak jauh dari tempatnya saat ini.  “Eh, ada idola lo tuh, Ir,” ujar salah satu teman Irza.  “Tauan aja lo, idola gue.” “Idola lo pasaran sih. Semua perempuan juga ngidolain orang yang sama dengan elo. Samperin gih! Apa perlu bantuan?”  “Najis! Bukannya perlu bantuan ya. Cuma gue nggak terlalu berminat aja deketin dia dalam wujud yang real. Gue hanya sekadar mengagumi tapi nggak berniat untuk memiliki.” “Buat iseng-iseng aja kali, Ir.”  Irza hanya tertawa tapi tidak menggubris lebih jauh lagi perkataan teman-temannya yang mendukung Irza untuk mendekati laki-laki yang sedari tadi mereka bicarakan. Laki-laki itu tak lain adalah Rigel A, idola Irza.  Selang beberapa menit Irza cukup dikejutkan saat pelayan klub malam mengantarkan segelas minuman ke VIP room tempat Irza berada dan menyerahkan gelas berbentuk piala itu pada Irza.  “Apaan nih?” tanya Irza tidak mengerti.  “Dari laki-laki yang ada di VIP room seberang sana, Kak.”  “Salah orang kali.”  “Enggak, Kak. Minuman ini spesial untuk Kakak.”  “Aman nggak nih? Ntar ada obat tidurnya? Nggak suka cara bungkus yang nggak sportif,” ketus Irza.  Pelayan tersebut tertawa. “Aman kok, Kak. Kami jamin,” jawabnya lalu meninggalkan gelas di atas meja dan pamit undur diri dari hadapan Irza.  Irza tak mengacuhkan gelas berisi minuman yang cukup menggiurkan tersebut. Memilih menikmati minuman yang dipesannya sendiri. Dia sedang tidak ingin terlibat masalah yang berkaitan dengan laki-laki saat ini. Lagi pula tujuannya mendatangi klub malam bukan untuk bersenang-senang dengan pria random yang ditemuinya di klub. Malam ini Irza benar-benar ingin menikmati minuman dan musik DJ yang ada di klub malam untuk melepas rasa penatnya setelah beberapa minggu ini menjadi buronan debt collector.  ~~~  ^vee^ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN