13 ~ KHAWATIR

2091 Kata
Hari ini tepat ulang tahun Alvin yang kali keempat ia rayakan. Liona sudah merencanakan kejutan untuk sang tunangan sejak lama. Sengaja memang, ia memberitahu pada sang tunangan jika ia keluar kota untuk sebuah urusan pekerjaan, sehingga Liona bisa menyiapkan segala hal tanpa gangguan Alvin. Saat ini, di apartemen Alvin, wanita yang bersemangat 45 itu tengah menyiapkan serangkaian dekorasi pribadi cantik untuk menyambut tunangannya. Tanpa pemberitahuan seperti biasa, Liona yang memang memiliki akses masuk juga ke apartemen itu langsung masuk begitu saja sejak sore tadi. Hingga dirasa semua selesai, wanita itu menatap arloji di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul smebilan, biasanya Alvin akan pulang di jam sekian dari luar. Liona tersenyum sejenak dengan mahakaryanya dan langsung sigap mematikan lampu ruangan utama untuk membuat kesan kejutan. Diletakkannya beberapa lilin di spot-spot tertentu untuk penerangan temaram. Sempurna. Liona semakin melebarkan senyumnya dan kini terduduk di sofa guna menunggu. Ia benar-benar sudah tidak sabar, tetapi Alvin belum muncul juga. Hingga satu jam kemudian, ia mendengar langkah kaki yang mulai mendekat. Jantungnya yang sudah berdebar mengungkapkan bahwa ia sendiri gugup menyiapkan kejutan kecil itu. Berharap Alvin akan menyukainya. Klik! Suara smart lock itu terbuka dan membuat pintu apartemen milik Alvin turut terbuka. Liona segera berdiri berniat akan menghambur ke arah Alvin demi mengejutkan pria itu. Namun, tunggu! Alvin tidak sendiri kali ini. Lilin yang menciptakan cahaya temaram itu menjelaskan semuanya. Tubuh tegap di balik kemeja slimfit itu menarik sosok gadis dari luar dan menghimpit dengan tubuhnya ke arah dinding. Bukan hanya itu saja, kini secara beringas pria yang sejauh ini ia cintai juga mendaratkan ciuman di bibir milik wanita yang entah siapa. Bahkan sang wanita pun tidak menolak dan justru menyambut seluruh perlakuan intim pria itu. "Vin ... enggak sabaran banget, sih?" "Kamu terlalu menggoda, Grace. Always setiap waktu. So, i cant wait to kiss you and do more with you ...." Grace? Sahabat Alvin. Liona tertampar dengan nama itu untuk beberapa detik. Namun, ia tidak terkejut melainkan justru semua perkiraan yang ada di pikiran terbukti dengan sendirinya. Rengkuhan itu kembali terjadi, ciuman yang membara membuat jantung Liona seakan berhenti tiba-tiba. Sedikit banyak perasaan terkejut yang ia rasakan bahkan membungkam diri dan justru membuat semua kelakuan tidak berperasaan sang tunangan terlihat sangat jelas. Hingga, Liona yang memang berdiri tak jauh dari saklar lampu itu tiba-tiba menyalakan lampu. Praktis kegiatan panas itu berhenti. Sementara itu, Alvin dan wanita yang tidak lain dikatakan sebagai seorang sahabat sangat terkejut dengan lampu apartemen yang tiab-tiba menyala. Lebih gilanya lagi, Grace yang langsung menatap Liona sebab posisinya berhadapan dengan wanita itu terlihat tidak merasa bersalah sedikit pun. "Ah, ada tunangan kamu ternyata, kenapa kamu enggak bilang sih, Vin ...." Alvin yang membelakangi Liona sedikit terhenyak dengan penuturan Grace. Ia lantas menoleh dan menatap Liona yang masih mematung di tempatnya dengan tatapan tidak percaya. Jelas Alvin mengira Liona masih berasa di luar kota seperti apa yang dikatakan wanita itu. "Liona ...," lirih Alvin. Liona tahu tangannya sudah gemetar, ia tahu bahwa hatinya tidak baik-baik saja dan rasa sesak itu mendominasi. Namun, bukannya memaki atas perbuatan bodoh sang tunangan, ia justru tersenyum. Seolah emosi sudah menghilang dengan sendirinya digantikan oleh sebuah ukiran senyum yang terpancar palsu. "Maaf, aku ganggu." Hanya itu yang mampu Liona katakan dengan bibir yang gemetar. Semua rencana mendadak gagal total, ia menatap kue yang ada di meja dengan hampa. Lantas mulai mengambil tas kecil yang berada di sofa. Wanita itu berusaha tenang dan tidak meluapkan emosi di apartemen itu. Walau hatinya sudah sangat sakit dan menangis sejadi-jadinya, tetapi air mata belum berhasil jatuh tanpa permisi. Suasana menjadi turut mencekam saat keheningan itu terjadi. Alvin jelas sangat syok dengan kehadiran Liona di apartemennya yang menangkap basah dirinya tengah bersama yang lain dalam konteks negatif lagi. Ada umpatan di hati kecil Alvin mendapati kondisi tersebut. Namun, keterkejutan itu justru membuat seakan dirinya turut membisu. "Kalian lanjutkan saja, maaf kalau aku ganggu waktu kalian," ucap Liona yang menepuk bahu Alvin. Liona kembali berjalan tanpa menatap Alvin lagi apalagi Grace yang justru bersedekap tanpa dosa. Wanita itu keluar dari apartemen dan masih belum mampu meneteskan air mata walau hatinya sudah menangis sedari tadi. Ada hal yang menyakitkan tetapi juga melegakan di saat bersamaan. 'Aku pasti setia lah, Sayang. Kamu kan calon istri aku, enggak mungkin aku main-main lagi.' 'Aku enggak pernah mikir mau pindah ke lain hati selain kamu. Kamu yang bisa nerima aku apa adanya dan nemenin aku sampai sejauh ini. Enggak mungkin aku ke lain hati.' 'Aku sayang sama kamu, melebihi apa pun. Percaya sama aku ya ...." Sebagian ucapan Alvin terngiang-ngiang di pikiran Liona sepanjang perjalan keluar dari apartemen itu. Segala bentuk janji yang membuat ia percaya bahwa Alvin memang yang terbaik, mendadak berubah menjadi kata terburuk yang pernah ia dengar. Liona menatap lurus dan sempat menertawakan diri. Sadar berada di hubungan tidak sehat, tetapi nyatanya berulang kali ia bertahan dan memberi kesempatan. Berharap Alvin berubah nyatanya semua itu tidak akan pernah terjadi. Liona semakin hancur bahkan hatinya sudah remuk tanpa sisa. Sedangkan Alvin mungkin tidak akan peduli akan semua itu. Begitu keluar dari gedung apartemen itu, sejenak ia menatap gelapnya malam dengan taburan bintang yang sangat indah. Harusnya hari ini menjadi hal spesial dalam hidupnya, tetapi semua dihancurkan begitu saja tanpa memberi jeda. "Kamu bodoh, Liona!" umpatnya untuk diri sendiri. Air mata itu masih belum bisa keluar meskipun ia memaksa untuk menangis. Tidak pernah bisa dan Liona pun bingung kenapa air mata itu tidak lagi mengalir seperti biasanya. Ia terlalu cengeng untuk hal menyakitkan seperti ini, tapi sekarang semua seakan berbeda. "Liona!" Gerakan menarik di lengannya membuat wanita itu seketika tersentak bukan main. Alvin kini tepat di belakangnya, masih memegang erat lengan itu yang rasanya cukup sakit. Namun, terbiasa mengalami kekerasa fisik dari Alvin membuat perlakuan ini terbilang tidak terlalu menyakitkan dan Liona menurunkan tangan itu perlahan. "Iya, kenapa?" tanya Liona dengan nada tenang, seakan tidak pernah terjadi apa pun. "Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu bilang di luar kota?" "Iya sih, tapi aku bilang gitu biar aku bisa kasih kamu kejutan di ulang tahunmu. Tapi ternyata aku yang dikasih kejutan," ujar Liona nyaris tertawa. Sedangkan Alvin yang sedikit merasa terpojok akan kesalahan langsung memutar otak untuk menanggapi nada tenang Liona. Keterdiaman dan tatapan yang masih saling beradu membuat Liona menarik napas dan mengembuskan perlahan. Mungkin kalimat berikutnya akan sangat sulit untuk dikatakan dari kemarin-kemarin, tapi saat ini ia yakin untuk melepas Alvin. "Aku mundur ya, Vin. Biar kamu bebas dengan wanita mana pun tanpa perlu ngejar aku begini." Liona kembali terdiam, menahan sesak yang terasa luar biasa menghujam jantung. "Kita selesai, aku akan bilang sama Ibuku dan tenang saja aku enggak akan bilang penyebabnya soal ini. Aku harap kamu juga bisa bilang ke orang tua kamu atau kalau perlu aku bisa datang ke rumah orang tua kamu dan minta maaf enggak bisa ngelanjutin pertunangan ini." "Apa? Kamu mau mutusin aku? Yakin?" Nada itu terdengar tidak menyenangkan di telinga Liona. Apalagi kalimat yang menunjukkan bahwa dirinya memang membutuhkan sosok di depan mata yang sialnya memang rupawan dan tipikal idaman siapa pun. Sayang, kelebihan yang dimiliki Alvin seakan membuat pria itu yakin bahwa bisa menaklukan perempuan mana pun. "Iya, aku yakin." Sisa kesabaran Liona hanya bisa membuatnya mengatakan tiga kata itu. Ia lantas melepas cincin di jemari manis dan memberikan pada Alvin. Masih dengan sikap yang mampu dikontrol dan tidak serta merta memaki menuruti emosi, Liona memberikan benda logam itu ke tangan Alvin. "Terima kasih atas semuanya." Liona berbalik dan lantas melangkah pergi dari Alvin yang masih belum mengatakan apa pun. Hingga, beberapa langkah kemudian, suara Alvin kembali menggema. "Yakin kamu nggak bakal nyesel pergi gitu aja? Yakin enggak akan minta balikan lagi?" Liona mendadak berhenti kala itu juga. Iya, selama ini justru dirinya yang sering menjilat ludah sendiri dan meminta Alvin kembali saat layangan kata putus juga berasal darinya. Benar jika ia akan menyesal dan merasa bersalah saat berpisah kemarin-kemarin. "Memangnya siapa yang bakal nerima kamu kalau bukan aku?" Lagi, Alvin melontarkan kalimat pamungkas yang selalu diucapkan ketika terlibat pertengkaran dengan Liona. Pernyataan itu sontak saja semakin membuat Liona terdiam seribu bahasa. Muak jelas sekali ia rasakan ketika mendengar semua doktrin Alvin selama ini. Hanya karena sudah terlanjur lama menjalani hubungan dan tidak ingin mengecewakan sang Ibu lah yang membuat Liona mempertahankan hubungannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tidak pernah terwujud dan semakin lama justru menyakitkan. Liona bergerak ke arah Alvin dan berhenti pada jarak lima meter. Ia tatap wajah pria yang sepertinya tidak ada penyesalan atau apa pun setelah tertangkap basah berselingkuh lagi. Ia perhatikan setiap titik hal yang membuatnya bodoh mempercayai dan menjatuhkan hidupnya pada pria di hadapannya ini. "Enggak sama kamu aku emang sakit, tapi bertahan justru bakalan bikin aku mati perlahan. Jadi, terserah apa pun yang kamu mau bilang tentang aku. Aku enggak peduli juga suatu hari nanti ada atau enggak ada satu pun yang nerima aku. Aku lebih baik sendiri selamanya daripada harus ngerasain kayak gini, Vin." Air mata itu tidak mampu lagi dibendung Liona, mengalir dengan sendirinya menyusuri kulit pipi dan jatuh ke tanah. Namun, bibir yang tetap tersenyum justru membuat Alvin menggeram dan mengepalkan tangan, merasa tidak terima jika Liona yakin dengan apa yang diputuskannya. Apalagi saat kini Liona melangkah mendekat ke arahnya dan mengusapkan jemari di wajah, kemudian mengecup singkat pipi itu. Telak semua membuat Alvin terdiam tidak berkutik. "I'm sorry. Aku udah capek bertahan tapi enggak dihargai. Kamu bebas sekarang." **** Liona masih menangis meski kini sudah lepas dari pelukan Aga dan menjadikan lutut sebagai tumpuan kepala. Mata itu sembab, hatinya hancur, segala bentuk harapan telah terlebur oleh penghianatan dan tentu menambah sebuah trauma dalam diri Liona. Ia tidak sanggup menghentikan air matanya saat semua beban terasa luruh begitu saja. Selama ini ia sudah cukup menahan beban mental yang begitu berat. Perlakuan pria yang bersama selama empat tahun terakhir membuat dirinya menjadi seperti ini. Bahkan Liona masih saja merasa takut dan bersalah. Hal yang ia lakukan setelah pergi dari Indonesia adalah mematikan ponsel selama satu minggu, tetapi semua itu belum membuatnya tenang, masih saja pikiran dibayangi oleh kegelisahan. Sayangnya Liona tidak mampu mengungkapkan semua itu pada sang kakak, seakan bibir itu kelu untuk mengadu. "Kenapa kamu enggak cerita sama Evan? Dia kakak kamu, berhak tau gimana kamu." Liona menengadahkan kepalanya dan berusaha tenang demi menghentikan air mata. Ia belum menjawab pertanyaan Aga hingga beberapa menit barulah ia menatap ke arah pria itu. "Aku takut, Lex. Aku takut ngecewain semuanya. Dari empat tahun lalu aku udah coba ngeyakinin siapa pun agar percaya sama pilihanku. Terutama kakak, jujur aja kakak udah pernah bilang untuk aku mikir, tapi aku tetep yakin sama keputusanku. Dan setelah kayak gini, aku baru sadar kalau apa pun keputusanku itu salah." "Liona ini bukan salah kamu. Kamu jangan nyalahin diri kamu terus. Seenggaknya dengan kamu bilang ke Evanders, Alvin enggak semena-mena sama kamu. Aku yakin Evan nggak akan terima kalau kamu kayak gini." "Justru itu yang aku takutin, Lex. Aku tau Kakak enggak bakal tinggal diem kalau tau semua kayak gini." Liona mengembuskan napas lelah dan kembali menyangga kepala dengan lututnya. "Jadi semua sikap kamu waktu itu karena ini? Kamu sadar kan hubungan kamu nggak sehat?" Liona mengangguk pelan dan masih menatap lurus ke depan. "Aku minta maaf." Liona kini menatap Aga yang tiba-tiba melontarkan kata maaf tanpa ia tahu penyebabnya. "Aku minta maaf udah ngebiarin kamu ngerasain ini. Harusnya aku nggak pernah lepasin kamu. Aku minta maaf kalau aku masih egois buat ngakuin ini ke kamu," ujar Aga penuh penyesalan. "Bukan salah kamu. Aku nggak nyalahin siapa-siapa. Aku yang bodoh, Lex. Dia datang di saat yang tepat menurutku waktu itu. Dan semua mengalir begitu saja, sampai aku mutusin nerima dia untuk hubungan yang lebih serius." "Aku tau sebenarnya aku punya pilihan, tapi saat itu semua seperti sudah terkendali. Aku sayang sama dia, dia selalu ada dan sikapnya sangat baik saat awal kita kenal. Tapi sejak pertunangan semua sifat aslinya mulai ketahuan. Dia enggak baik, tapi aku nggak bisa pergi gitu aja. Banyak yang kupikirkan terutama Ibuku." "Manipulatif!" Sela Aga kemudian. Satu kata yang terlontar dari Aga membuat Liona termenung, tetapi akhirnya ia menyetujui ungkapan itu. Aga merasa cukup geram dengan perilaku Alvin yang bahkan bisa ia nilai saat pertama kali bertemu. Hanya saja waktu itu bukan hal mudah untuknya mengatakan semua firasatnya, apalagi baru pertama kali saling bertatap. Namun, kini Aga menyesal. Penyesalan yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun itu semakin menyesakkan kala mengetahui Liona tersiksa seperti ini. Ia menatap wanita yang masih memandangi luasnya halaman belakang rumah Evanders. Mental Liona yang saat ini ia pertanyakan. Apakah dia benar baik-baik saja dan tidak membutuhkan profesional? Aga yakin perlakuan Alvin lebih dari apa yang Liona ceritakan barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN