14 ~ BENANG KUSUT

1833 Kata
Keesokan harinya, setelah semalam menceritakan sedikitnya hal yang membuat ia sampai di kediaman sang kakak, Liona lega. Setidaknya beban yang ia rasakan mampu dikeluarkan walau sedikit. Aga belum tahu bahwa kekerasan fisik juga ia terima dari Alvin selama empat tahun lamanya. Liona masih menutup kisah tentang semua itu dan hanya membuka sedikit pada Aga. Masih banyak hal yang membuatnya takut dan sulit untuk menhungkapkan semua secara terus terang. Pagi yang mendung dan dingin membuat Liona membungkus dirinya kembali di balik selimut tebal. Ia menatap ke arah jendela kamar yang sudah terbuka dan menampakkan pemandangan langit kelabu di luar sana. Masih bermalas-malasan, ia kembali memikirkan sosok Aga. "Kenapa harus kamu lagi yang tau," gumam Liona. Ia kembali mengembuskan napas dan akhirnya terduduk di ranjang. Hingga sebuah ketukan pintu kini masuk ke pendengaran. "Liona, sudah bangun?" Suara seorang wanita mulai menyapa dengan lembut. Itu kakak iparnya. "Sudah, Kak," sahut Liona. Setelah mendapat balasan itu, Meylira membuka pintu kamar sang adik dan mulai masuk ke dalam. Tidak seperti biasanya, Meylira kini dududk di samping Liona dan melesungkan senyum penuh ketenangan ke arah adik suaminya itu. "Are you okay?" Liona yang tiba-tiba ditanya seperti itu justru menatap dengan tatapan penuh tanya. "Kalau ada apa-apa cerita sama Kakak ya. Kakak kan juga Kakak kamu, sudara kamu. Jadi jangan pernah nggak enak hati kalau mau cerita apa pun. Kita sama-sama perempuan pasti saling memahami." "Kenapa, Kak? Aku enggak kenapa-kenapa, kok." "Iya, Kakak yakin kamu masih bisa hadapi kesulitan kamu. Tapi kalau emang kamu udah lelah, cerita aja sama Kakak. Itu juga kalau kamu enggak mau cerita ke Evan. Jangan dipendam sendiri apa pun yang bikin kamu kesiksa, Liona. Di sini banyak yang sayang sama kamu. Jangan merasa sendiri." Entah, bagaimana Meylira seakan memahami perasaannya, Liona justru kembali berkaca-kaca. Mungkin sang kakak ipar sudah tahu entah dari mana, tetapi Liona cukup nerasa damai saat Meylira mengusap rambutnya penuh kasih sayang. "Liona, maaf kalau kakak lancang tapi Kakak tau semalam kamu cerita ke Aga tentang hubunganmu dan tunanganmu. Tapi kamu tenang, Kakak belum bilang ke Evanders soal ini. Tapi tolong kalau ada apa-apa kamu cerita ya sama Kakak. Kakak enggak mau kamu sedih dan banyak diam seperti satu minggu ini. Jujur kakak khawatir dan curiga sama sikap kamu. Dan ternyata bener kamu ada masalah." Liona menunduk dan menghela napas. Mata hatinya seakan terbuka dengan jelas saat semua orang ternyata banyak yang menyayanginya dan justru khawatir padanya. Selama ini, semua dunianya hanya ada Alvin semata. Hingga ia menutup diri dari pergaulan, menghindari setiap keramaian sampai mungkin menjadi sosok dengan pribadi yang baru, semua karena pengaruh kuat dari Alvin. "Liona minta maaf, Kak. Bukannya Liona nggak mau cerita, tapi Liona belum siap ngecewain kalian." "Liona, kamu itu satu-satunya adik perempuan kakak kamu. Itu artinya kamu juga satu-satunya adik perempuan Kakak. Kakak nggak akan rela kalau kamu disakiti siapa pun sampai seperti ini. Kamu berhak bahagia, Liona, bukan seperti ini." Liona mengangguk paham. "Harusnya aku emang cerita, tapi aku beneran takut, Kak. Aku takut Kak Evan marah, aku takut Kak Evan ngelakuin apa pun kalau tau semua masalahku. Aku juga mikirin Ibu, Kak. Ibu udah tua, nggak seharusnya aku ngabarin nggak enak kayak gini." Meylira menghela napas. Memang terkadang sulit untuk meminta sejenak bantuan kala nurani masih bertahta paling tinggi. Bahkan mungkin rasa sakit yang diterima tidak akan dirasakan demi memikirkan banyak orang. Meylira menyadari hal itu sulit dilakukan, sebab ia pun pernah merasakan hal yang sama. "Kamu harus cerita ke Kakak, kamu enggak boleh diam dan justru kita semua nyesel karena nggak tau. Kakak nggak mau kamu kenapa-kenapa, Liona. Kakak ngerti kok perasaanmu gimana, tapi kamu jangan pernah nyembunyiin apa pun kalau itu beneran nyakitin kamu dan kamu kesiksa." Liona menatap Meyliea dengan intens. Sepertinya memang ia sudah harus terbuka tentang apa pun permasalahan yang membelenggu. Namun, semua masih terlalu sulit untuk diungkapkan. Doktrin dan segala ancaman itu masih kuat membelenggu kebebasan dan kembali membuat takut. Liona memeluk Meylira begitu saja. Membahas perihal masalah pribadinya kembali membuat tubuh itu bergetar ketakutan. Sedangkan Meylira mampu merasakan hal itu dan terlihat khawatir dalam diam. Wanita itu, yang sudah hampir sembilan tahun menjadi kakak ipar bagi Liona merasa gagal menjadi seorang yang harusnya dekat dengan sang adik. Ia yang merasa Liona dalam lingkup yang sulit seakan mengerti bahwa semua itu sudah menjadi kumpulan benang yang kusut. Sekalipun harus menarik salah satu pokok benang itu, tetapi Meylira yakin semua justru semakin terikat dan sulit terlepas. ****** "Kamu nggak bakalan bisa lepas dari aku, Liona!" Langlah kaki Liona kembali berhenti kala Alvin selalu berusaha mencegah dengan segala kalimat menohok. Harusnya ia bisa terus berjalan dan pergi tanpa memerhatikan lagi ucapam pria itu. Namun, sial! Langkahnya bahkan mendadak berhenti dan telinga itu yang meminta untuk mendengar lebih jelas. "Kamu pikir kamu bakal bisa mutusin aku gitu aja? Konyol, Liona!" Liona berbalik lagi menatap Alvin yang masih setia berdiri di tempatnya. "Apa yang konyol? Kamu pikir aku enggak bisa ninggalin kamu? Kamu pikir kamu itu siapa?" Mendengar penuturan Liona yang berani, Alvin mulai tersenyum miring dan melangkah menuju ke arah wanita itu. "Aku enggak yakin kalau kamu bisa lepas dari aku begitu aja. Kamu enggak akan lupa apa pun yang kita lakukan kan?" Alvin semakin mendekat bahkan kini jaraknya hanya beberapa sentimeter dari Liona yang tidak gentar saat tatapan intimidasi itu mulai hadir. "Aku tau semua yang ada di diri kamu, semuanya, Liona. Aku tau siapa keluarga kamu dan bagaimana kisah kelam Papa kamu!" Deg! Pertahanan Liona mulai sedikit goyah saat semua berkaitan dengan mendiang ayahnya. "Siapa yang mau nerima anak seorang pembunuh, Liona? Papa kamu bahkan mantan narapidana, kan? Kamu yakin ada laki-laki yang bisa nerima asal usul keluargamu? Terus apa ada yang nerima kamu yang udah nggak suci lagi kayak gini? Masih untung aku yang nerima kamu, kalau sama yang lain mungkin bakalan dipake doang." "Oh iya, inget nggak, kamu masih ada hutang sama keluargaku? Inget kan waktu Ibumu kecelakaan dan dirawat di RS sampai habis ratusan juta buat operasi. Berani kamu mutusin aku gitu aja? Tau kan keluargaku kayak gimana?" Kalimat demi kalimat yang tertoreh dari bibir Alvin selalu menyakitkan sanubari. Liona bahkan tidak mampu membendung air mata yang menetes begitu saja. Serendah itu kah dirinya di mata Alvin? Liona ingat bahwa ia masih memiliki hutang pada keluarga Alvin. Padahal ia mampu melunasi jika bilang pada sang kakak saat itu. Namun, semua tidak terpikirkan waktu itu dan nyatanya saat ini semua menjadi boomerang bagi diri sendiri. Alvin selalu menggunakan semua bahasan itu untuk menahannya. Terlepas dari semua, saat itu ia tidak memikirkan siapa pun kecuali Alvin, selain itu ia juga tidak ingin terlalu membebani sang Kakak yang berada diluar negeri hanya untuk meminta uang dalam jumlah besar. Sebisa mungkin dari pekerjaan yang bisa di jalani, hutang itu akan dibayar dengan sendirinya. Rumit memang, tetapi ia memang tipikal tidak enak untuk meminta apa pun pada orang lain, sekalipun itu kakaknya sendiri. "Semua ini enggak ada hubungannya sama keluargaku. Aku ... aku bakal lunasin hutangku ke kamu secepatnya. Tapi tolong jangan ungkit tentang Papaku. Papaku udah enggak ada, nggak pantes kamu bahas," ucap Liona dengan nada gemetar. "Yakin? Yakin kamu bisa lunasin hutang kamu? Gaji kamu satu tahun bahkan belum mampu nutup semua. Oh aku tau, kamu mau jual diri kali ya biar bisa cepet lunasin semua? Murahan!" Nada ledekan yang diiringi senyum miring membuat Liona semakin terpojok. Andai ia tidak menguatkan hati, mungkin tumpuan kakinya pada buni sedikit bergeser tanpa kendali. Namun, sebisa mungkin ia berdiri tegar mendapati semua ucapan Alvin yang selalu berhasil menjatuhkan mentalnya. Air mata semakin mengalir saat rasa sakit itu menjalar hingga menusuk relung hati terdalam. Ucapan tajam Alvin benar-benar membuatnga merasa terbelenggu dan labil akan keputusan yanh ia buat sendiri. Saat ini di pikiran Liona semua ucapan Alvin benar. Siapa yang akam menerimanya saat apa yang harusnya ia jaga sudah tidak mampu ia pertahankan? Padahal semua itu disebabkan oleh nafsu Alvin sendiri dan naas nya Liona yang merasa bersalah hingga rendah diri. Lalu, keluarga mana pula yang akan menerima bahwa dirinya anak dari seorang kriminal? Liona rasa stigma negatif akan terus bersarang dan membuatnya mendapatkan hal tidak menyenangkan. "Apa mau kamu?" Akhirnya Liona kembali melontarkan kalimat yang menurut Alvin nada itu sudah menajdi kemenangan mutlak untuk menaklukkan Liona. "Simple aja, anggep semua nggak pernah terjadi. You're mine, Liona. You're mine. Kalau kamu nurut sama aku dan nggak banyak protes kayak sekarang, semua masih aman. Aku enggak bakal bahas hutang keluargamu dan kita tetap bisa menikah." Sungguh, Liona takut sekarang membayangkan menikahi Alvin. Sikap kasae Alvin, semua perlakuan buruknya teetancap manis dalam ingatan. Mungkin dulu ia dibutakan oleh cinta dan memaklumi seluruh tingkah laku Alvin. Namun, saat ini seolah ia benar-benar sudah sadar akan hubungan tidak sehat yang tengah dijalani. Semua penuh penekanan sepihak yang membuat dirinya mnemmerima tanpa mampu melawan. Liona menggeleng. Ia sudah bertekad tidak ingin kembali apa pun yang terjadi. Perkara hutang, ia akan memberanikan diri berbicara pada sang kakak meminta bantuan. Mungkin sang kakak akan bersedia membantu. "Aku akan bayar hutangku sesegera mungkin. Tolong jangan ganggu aku lagi." Liona kembali membalikkan badan dan segera meninggalkan Alvin yang tercengang bukan main atas keyakinan hati Liona. Sikap wanita itu kini membuat Alvin tampak murka. Pria itu berjalan setengah berlari dan kembali meraih lengan Liona dengan kasar. "Heh! Jalang! Sok banget lo mau bayar hutang cepet! Udah di kasih pilihan enak sok jual mahal! Kalo lo mau bayar hutang sekalian bayar semua yang gue keluarin buat lo selama empat tahun ini!" "Vin, lepas! Sakit ... ini sakit!" Keluh Liona yang benar-benar merasakan kesakitan atas cengkeraman Alvin pada lengannya. Semua umpatan Alvin dan guratan urat yang menekan lengannya membuat Liona berusaha memberontak dan melepaskan diri. Air mata juga tidak snaggup untuk ditahan lagi. Liona benar-benar takut Alvin lepas kontrol dan kembali melayangkan pukulan atau apa pun padanya. Pandanhan yang diselimuti kabut air itu melirik ke kanan dan ke kiri berusaha menangkap adanya sosok yang mungkin bisa membantunya. "Makanya nurut! Anjing! Gue nggak bakal begini kalo lo nurut! Baper banget lo begini doang mutusin hubungan. Sia-sia waktu gue selama empat tahun sama lo kalau ujung-ujungnya kayak gini." "Kamu sendiri yang bikin kayak gini, kan? Aku udah caoek ngalah terus, Vin. Kamu nggak pernah mau berubah. Kamu pikir hati aku terbuat dari apa sih? Kamu nggak pernah hargai aku dan malah asik jalan sama yang lain. Sekarang kamu kayak gini buat apa? Tolong lepasin aku ...." Berontak demi berontakan terjadi di halaman parkir apartemen itu. Suasana yang cukup sepi tidak membuat Alvin gentar dan justru semakin emosi melihat perlawanan Liona. Hingga, tangan itu terlepas. Liona yang hampir putus asa mendadak menatap Alvin. "Kalau kamu mau pergi, pergi aja. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti yang bakal nyari aku, Liona. Dan inget satu hal ...." Alvin kembali mendekat dan membisiki telinga Liona. "Bukan aku yang bakal hancur, tapi kamu Liona. Kamu yang bakal hancur! Inget itu!" Alvin berbalik dan meninggalkan Liona begitu saja setelah mengucapkan hal yang membuat wanita itu sedikit mengerutkan dahi dan menatap tubuh Alvin penuh pertanyaan. Ia belum sadar bahwa Alvin benar-benar memegang kartu AS-nya dan semua itu memang bisa menghancurkan Liona sehancur-hancurnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN