PROLOG
Apakah benar jika mencintai terlalu dalam dan berusaha mengikat terlalu kencang justru akan berakhir tercerai berai?
Kata kebanyakan, tidak perlu terlalu dalam mencintai seseorang, lebih baik dicintai sebab jika semua itu hilang tidak akan terlalu sakit menanggungnya.
Ada tarikan napas memasuki rongga paru-paru dan berhembus perlahan. Langit malam terlihat sangat cerah dengan ribuan bintang menyapa. Namun, secercah rindu itu kembali merangsek hati.
Sudah delapan tahun berlalu, tetapi semua terasa begitu cepat. Kisah masa lalu tampaknya masih bertahan di tempat tanpa mau hilang begitu saja. Angin malam membuat wanita berusia 26 tahun itu mengetatkan kardigan. Lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung pencakar langit menambah suasana syahdu. Sudah banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Liona Anggada, menapaki kehidupannya secara normal meski terlihat ada sedikit serpihan yang hilang dan tidak mampu ia kembalikan. Hal yang tidak akan mungkin terulang dan seketika ia menunduk dalam, kemudian memejamkan mata.
'Aku tidak akan pernah sudi berhubungan dengan anak dari seorang pembunuh!'
Kata-kata yang tercekat kuat dalam ingatan hingga saat ini, membuat diri seketika sadar bahwa tidak akan lagi memperbaiki segalanya. Lagipula rasa yang terpendam hingga saat ini adalah salah. Tidak sepantasnya ia memendam perasaan itu pada sosok yang mungkin tidak akan mengingatnya sama sekali, sedangkan kini sudah ada sosok lain yang mengisi hati.
Walau ia bisa saja berkomunikasi dengan Alexrado Antonius Dermaga, tetapi ucapan terakhir lelaki itu membuatnya kembali mundur. Semua peristiwa yang terjadi di depan mata tidak akan pernah mampu terhapus begitu saja, menciptakan sebuah rekam pada alam bawah sadar dan bertahan cukup lama.
Liona tahu luka dalam hati Aga, mana mungkin lelaki itu akan melupakan segala bentuk luka terpahit yang bahkan mungkin, Liona tidak akan sanggup jika berada di posisinya. Namun, apa salah ia merindukan Aga barang sesekali?
"Liona."
Suara berat yang mengalun masuk ke pendengaran membuat Liona semakin sadar, bahwa memang tidak seharusnya perasaan itu masih bertahan. Seulas senyum terpasang ketika wanita itu menoleh ke belakang.
Sosok pria bertubuh tinggi tegap berada tepat di hadapannya. Sudah dua tahun mereka menjalani hubungan asmara hingga sebuah cincin melingkar di jemari manis Liona.
"Kamu sedang apa di luar? Sudah malam, masuklah. Di luar dingin," ujar pria yang kini memeluk pinggangnya dan mengusap pipi lembutnya.
Liona masih mempertahankan senyumnya. Pria di hadapannya ini, bukanlah sosok yang sama dan tidak sepatutnya ia membandingkan. Namun, beberapa waktu sampai semua berakhir keseriusan di hubungannya, Liona mendadak ragu. Ragu akan rasa cintanya untuk Alvin Anggoro--sang tunangan. Apakah semua itu murni cinta atau hanya sekadar bentuk pelarian?
"Kamu ... cinta sama aku?"
"Sure. Kenapa hal kayak gini aja kamu tanyain? Jelas aku sayang sama kamu dan cinta sama kamu. Kamu ragu?"
Apakah Liona akan berbohong kali ini? Ia tidak cukup tega untuk membuat luka di hati siapa pun hanya karena egonya. Senyum di bibir Alvin bahkan kembali membuat hati bimbang.
Liona menatap mata segelap malam itu dengan intens, hingga benda kenyal nan lembut yang bersua membuat otak tidak lagi mampu berpikir. Alvin menyeret Liona kembali ke dalam suasana intim dan sentuhan hangat. Tidak mampu ditepiskan bahwa hubungan seperti ini sudah lumrah terjadi. Berlandaskan pembuktian cinta dan sedikit rayuan manis, semua akan jatuh dalam lubang yang sama.
Kenikmatan sesaat.
****
Musik instrumental house yang mengalun indah sedari tadi, turut menemani pria yang duduk menatap indahnya malam dari rooftop sebuah hotel berbintang.
Suasana lounge yang cukup elegan dengan tempat terbuka ini tidak terlalu padat, dan posisi yang ia tempati saat ini cukup strategis untuk menikmati malam indah.
Ada gelak tawa di sekelilingnya, berbagai canda tawa konyol juga masuk ke pendengaran Aga. Nyatanya ia tidak sendiri di tempat ini, ada empat teman semasa kuliah berkumpul untuk menghabiskan malam salah satu teman mereka yang akan melangsungkan pernikahan dua hari lagi.
Pesta bujang orang menyebutnya. Mereka memilih lounge sebab suasananya tidak terlalu ramai dan ekslusif untuk sejenak melepas penat dan saling bernostalgia. Hal yang dibutuhkan para pekerja seperti mereka dan bukan diskotik lagi tempat yang sesuai.
"Gila nih anak, enggak ada angin nggak hujan tiba-tiba udah mau nikah aja. Lo ke mana selama ini, Bro? Enggak ada kabar tiba-tiba ngabarin nikah aja." Gilang, membuka obrolan yang menyorot tujuan berkumpul malam ini.
"Gue? Gue di Ausi sih, kerjaan gue di sana makanya beberapa tahun ke belakang lost contact sama kalian. Karena hape gue juga hilang dan kerjaan padet banget nggak sempet aja gitu nyari-nyari kontak. Terus ini kebetulan enam bulan lalu ada project di Indo. Ya gue nyari nomer kalian dari si Lukman. Sekalian ngasih tau kalian kalau gue mau nikah."
"Lo dapet orang Ausi?"
"Bukan, orang Indo kok. Cuman emang udah kenal dari lama dan dia kuliah juga di Ausi, temen kecil gue."
"Oh ini ya konsepnya temen kecil jadi temen hidup."
Gelak tawa kembali menggema. Aga yang duduk dan menikmati koktailnya hanya tersenyum mendengar semua celotehan teman karibnya semasa kuliah.
"Eh, tunggu deh. Di antara kita yang belom nikah siapa lagi? Dio bentar lagi, ah ... Alex!" Samuel mulai dengan bahasan baru.
Semua pasang mata yang berada di meja itu kini menatap Aga. Tertarik juga dengan kehidupan pria yang saat ini terbilang bersikap tenang, tidak sepetti semasa kuliah.
"Why?" tanya Aga.
"Lo kapan nikah?"
Aga yang ditatap kembali melesungkan senyum simpul. Kemudian menenggak minumannya sampai tandas tanpa berbicara apapun.
"Jangan bilang, lo nggak nikah gara-gara putus dari Liona dulu?" celetuk Samuel yang duduk di sebelahnya.
Seketika ada keheningan yang menyergap. Semua jelas tau jika dulu hubungan Liona dan Aga sangatlah baik. Entah, satu tahun berlalu nyatanya mereka tidak saling bertegur sapa dan justru kabar putusnya lah yang terdengar.
Waktu itu, informasi terputus ketika Liona mencabut namanya dari kampus dan pindah entah ke mana. Sedangkan Aga, cuti selama setahun lamanya.
Sejak saat itu, teman-teman mereka tidak saling tahu penyebab putusnya kedua insan ini. Sebab perbedaan jadwal antara semester atas dan bawah--di mana Aga baru menempuh setelah mencabut masa cutinya--cukup membuat jarak. Hal itu yang membuat semua informasi tentang Aga tertutup meski mereka kadang kala menghabiskan waktu bersama.
"Beneran? Lo nggak move on sampai bertahun-tahun? Serius, Lex? Gara-gara Liona doang? Setia banget lo." Gilang mulai tertarik dengan pembahasan di mana Aga menjadi objeknya.
"Memangnya kalian mau biayain nikahin gue kalau gue nikah sekarang? Hemm?"
Seketika empat pasang mata dari teman-teman karibnya melotot bersamaan. Mana mungkin mereka memikirkan hal itu, bahkan profesi mereka tidak ada yang bisa menyamai Aga sebagai pemilik sekaligus pimpinan perusahaan.
Gelak tawa kini menghampiri Aga. Terlalu konyol menatap wajah-wajah cengo para teman karibnya itu.
"Kalian kenapa? Tegang amat? Hahaha."
"Gue lagi mikir, biayain bos besar tuh berapa duit? Sedangkan gue cuman karyawan biasa, nggak lebih," ujar Dio dengan polosnya.
"Lo udah jadi manager kali, di luar negeri lagi. Itu udah prestasi di usia lo yang masih muda begini," ujar Aga.
"Ya tapi gue bukan bos dan tetep jadi babu."
Kembali gelak tawa menggema dan suasana tidak lagi canggung. Melempar candaan tentang kehidupannya menjadi hal yang akhirnya terbiaskan. Aga cukup lega tidak ada yang membahas lagi tentang nama Liona.
Mungkin, memang benar ia masih tidak mampu move on dari wanita itu. Entah sampai kapan, yang jelas saat ini Aga belum menemukan sosok yang tepat untuk mengisi hati.