Bab 6. Menjadi Sekretaris Nevan 1

2209 Kata
"Aku mau jadi sekretarisnya Nevan. Sehari aja tidak masalah, Om." Senyum Omar yang tadinya sumringah, tersenyum manis setelah disuapi kue ulang tahun oleh Sophia, euforia yang lagi bahagia-bahagianya. Namun, setelah mendengar permintaan Sophia yang ingin menjadi sekretaris Nevan, suasana hatinya langsung terjun bebas seperti rollercoaster, murung dan manyun, bibir monyong lima senti. Dengan ketus dia menjawab, "gak. Itu mustahil! Mungkin sekarang kamu minta waktu sehari, tapi nanti kamu malah minta hatinya Nevan. Yang ada kamu malah ngerepotin atau ganggu Nevan di sana," protes Omar. "Lah, tadi katanya mau kabulin apapun permintaan aku. Dan permintaan aku cuman satu, aku mau jadi sekretaris Nevan. Dengan kamu kabulin itu, kamu gak perlu keluar banyak uang, kamu gak perlu pusing beliin aku ini atau itu. Gitu aja repot, dasar Om-Om Jin!" Sophia menyindir Omar di depan Dimas dan Jenny, namun tetap saja dia tidak akan ditegur ataupun dilarang. Sebab peraturan sudah berbeda semenjak Sophia mengenal dan dekat dengan keluarga ini. Di mana Sophia lebih disayang dibandingkan Omar yang sebagai anak kandung mereka. Mereka cukup tahu kalau Omar memang suka nakal di luar rumah meski ia selalu nurut ketika di rumah. Omar menatap kedua orang tuanya, menunggu keputusan dari raja dan ratu di keluarga ini. Dan ketika Jenny mengangguk kepalanya sembari memberikan kode dengan mengacungkan jari telunjuknya, Omar pun turut mengikuti. "Oke, tapi cuman satu hari—" "Yeaayyy!" Sophia langsung menyerbu Omar sesaat setelah bersorak kegirangan bahwa keinginannya menjadi sekretaris Nevan akan dikabulkan, padahal Omar belum menyelesaikan ucapannya. Ia memeluk Omar yang belum siap dengan serangannya. Untungnya Omar masih bisa menahan dirinya, jika tidak mungkin dia akan terjatuh dan lagi-lagi punggungnya akan kena batunya. Tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya punggung Omar setelah itu. "Oke, makasi Om!" Cup! Entah dengan penuh kesadaran atau tidak, Sophia mencium pipi Omar, dan berlalu pergi begitu saja, naik ke lantai atas. Jangankan Omar, Dimas dan Jenny pun ikut kaget melihat kejadian langka tersebut. Mata mereka hampir loncat dari tempatnya. "Sayang, kado kamu ada di kamar mama!" Teriak Jenny. "Besok aja diambilnya, ma. Aku mau siapin baju buat jadi sekretaris Nevan dulu!" Jawabnya dengan begitu semangat. Tak lupa dengan kecup jauh manjanya. "Selamat malam!" Teriaknya, melambaikan tangannya. Ketiga orang yang masih tidak percaya itu ikut membalas lambaian tangan Sophia. Dimas dan Jenny kompak menoleh melihat Omar yang masih memegang pipi yang baru saja dikecup Sophia. "Kamu masih hidup kan, Omar?" Jenny menempelkan tangannya di kening Omar, lanjut menaruh jari telunjuknya di bawah hidung Omar, untuk mengecek napas anaknya. "Ma, itu beneran Sophia atau setan yang nyamar jadi Sophia? Tumben-tumbenan banget." Tanya Omar. "Itu Sophia beneran kok," kemudian Jenny menaruh tangannya di d**a putranya. Dia membulatkan mata saat tahu apa yang telah terjadi, "lah kok kamu deg-degan gini?!" Dengan cepat Omar melepaskan tangan mamanya, dan berlari naik tangga begitu cepatnya, seperti orang yang takut ketahuan. Kini yang tersisa hanyalah Dimas dan Jenny, keduanya saling pandang satu sama lain. "Omar suka Sophia," kata keduanya serempak. "Demi memberantas buaya darat cap kadal bin kampret dari Omar Jones, kita harus sepakat buat jodohkan dan nikahkan Omar dengan Sophia. Karena dengan Sophia, Omar tidak berani bertingkah nakal lagi. Sepakat?" Ujar Jenny, mengulurkan tangannya di depan Dimas—suaminya. Dimas membalas uluran tangan Jenny, "sepakat!" *** Subuh-subuh sudah terdengar suara cipratan minyak dari arah dapur. Jenny dan Omar kompak keluar dari kamar dan pandangan mereka bertemu meski terbilang jarak kamar mereka cukup jauh. "Sophia," ujar Jenny tanpa suara. Hal itu membuat Omar mendengus kesal. Pagi-pagi suasana hatinya dibuat muram. "Giliran Nevan dia semangat banget, subuh-subuh sudah ada di dapur. Seketika aku pengen cekek si Nevan itu. Gara-gara dia pagiku jadi mendung gini," batin Omar. Omar kesal, tapi mau tidak mau dia sudah menjanjikan itu kepada Sophia sebagai hadiah ulang tahunnya, dan reaksi Sophia lebih bersemangat dibandingkan ketika diberi hadiah barang-barang. Dia lanjut masuk ke kamarnya, membersihkan badan, bersiap-siap berangkat kerja juga meski hari ini Sophia tidak menjadi asistennya. Sedangkan di sisi lain, Sophia begitu bersemangat memotong beberapa bahan masakan yang sudah matang, sembari berdendang dan menyetel musik nge-hits di dalam dapur. Bokongnya ikut menari seirama dengan lagu yang berdendang ria. "Sarapan spesial untuk orang yang spesial," gumam Sophia. Pagi ini dia menyiapkan bekal bento untuk Nevan, dengan motif beruang yang lucu dan menggemaskan. Dia terlihat telaten membuatnya, memotong sosis goreng, menggoreng telur ceplok, dan yang lainnya dengan begitu yakin seakan begitu tahu step by stepnya, sedangkan dua asisten rumah tangga sudah menatapnya miris disertai bumbu-bumbu gosip. "Tumben banget mbak Sophia masak. Biasanya kan bangunnya jam 12 atau paling pagi jam 10. Kok tumben banget hari ini dia bangun subuh," bisik salah satu ART ke temannya. "Iya, aku juga mikirnya gitu. Tapi kemarin aku sempat bangun pas acara peniupan lilin ulang tahun. Katanya sih mbak Sophia mau jadi sekretarisnya teman mas Omar hari ini," balas satunya, lanjut bergosip ria di pagi hari ini. "Oooo ... Pantesan mbak Sophia jadi semangat gitu. Kan mbak Sophia ngejar-ngejar temannya mas Omar. Sampai-sampai di kamar mbak Sophia itu banyak sekali foto-fotonya teman mas Omar. Sampai bantalnya pun motif wajah temannya mas Omar itu." "Gak heran sih. Temannya mas Omar memang tampan." Dua ART ini tahu persis dengan gosip simpang siur yang beredar. Mungkin selama ini mereka sering bergosip, atau mungkin mereka diajak Jenny bergosip bareng-bareng. Entahlah. "Eh, tadi kan katamu, kemarin malam liat acara peniupan lilin ulang tahun mbak Sophia, kamu ikutan gak?" Tanya salah satu, begitu penasaran. "Gak." Jawabnya terdengar miris. *** "Sampai sana jangan ganggu Nevan. Dia tidak punya banyak stok kesabaran buat hadapin tingkahmu yang yang suka bikin darah tinggi," ujar Omar memperingati Sophia yang sudah turun dari mobil. "Siap tenang aja, Om," kata Sophia. Dia menunjuk kotak makan bento yang sudah disiapkannya tadi subuh. "Minta tolong dong, Om. Ambilin kotaknya, itu sarapan buat my baby honey Nevan yang ganteng dan paling tampan sejagat raya." Omar mendengus kesal, menyambar kotak itu dengan sangat terpaksa. "Nih! Seharusnya yang kamu siapkan kotak sarapan itu buat aku, bukan Nevan. Aku bos kamu." Kemudian menyerahkan kotak itu untuk Sophia. "Maaf, Om. Untuk hari ini, bosku adalah Nevan. Jadi jangan banyak cincong ya," Sophia memaksakan senyumnya pada Omar, namun sedetik kemudian mulutnya berubah jadi nyinyir. Sophia sudah berbalik, hendak pergi, namun bajunya ditarik Omar. "Pakai blazermu, jangan pake baju ketat kayak gini. Nevan juga pria normal, dia bisa aja tergoda karena pakaianmu ini," katanya, masih menarik baju ketat Sophia, apalagi warnanya merah darah, begitu menantang. Sayangnya, Sophia tidak mau nurut begitu saja. Ia menepis tangan Omar. "Itu lah tujuanku ke sini, Om. Aku mau goda Nevan biar bisa jadi pacarku, wlee!" Setelah memeletkan lidahnya, Sophia berlari masuk ke gedung itu. Sedangkan Omar hanya bisa menggelengkan kepalanya heran. "Kok aku kayak berat hati gitu ya biarin Sophia kerja di sana? Aku kayak orang tua yang berat lepasin anaknya pergi sekolah sendirian," gumamnya. Namun pada akhirnya ia pergi meninggalkan area gedung perkantoran milik Nevan. Dia juga harus mengurus bisnisnya, tidak mungkin terus berjaga untuk Sophia. Di tengah perjalanan, dia menelpon seseorang dan tidak lama kemudian tersambung. "Nevan, nanti kalau Sophia goda-goda kamu, cepat telpon aku. Aku usahakan datang secepatnya," katanya singkat, lalu mematikan panggilan itu segera. Sedangkan di tempat lain, Sophia bertingkah seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan, mengibaskan rambutnya sembari lompat-lompat, dan terkadang berputar. Ia tidak menyadari kalau sekarang dia memakai heels yang cukup tinggi, dengan baju super ketat yang sengaja dia pakai untuk menggoda Nevan. Sampai akhirnya ia sampai di lantai ruangannya Nevan, ia bertemu dengan Cindy. Cindy langsung berdiri, pasang badan di depan pintu masuk ruangan Nevan. "Eh ngapain kamu ke sini pagi-pagi?! Nevan gak ada jam temu sama Omar!" Ujar Cindy dengan nada suara yang agak menaik. Dengan santainya Sophia menggeser Cindy. "Khusus untuk hari ini aku jadi sekretarisnya Nevan. Kalau kamu gak percaya, coba aja tanya Nevan." Kemudian ia menarik handle pintu. Cindy pun ikut masuk ke dalam bersamanya. "Halo, Nevan!" Sapa Sophia begitu ceria, melambaikan tangannya pada Nevan yang sedang membelakanginya, sedang berbicara dengan seseorang lewat telpon. Nevan hanya berbalik sebentar, lalu melambaikan sedikit melambaikan tangannya untuk Sophia. Ia menunjuk sofa, "duduk di sana dulu," katanya tanpa bersuara. "See? Untuk hari ini aku bakal jadi sekretaris pribadinya Nevan, sedangkan kamu jadi sekretaris kantornya," ujar Sophia, tertawa terbahak-bahak, mengartikan dia sedang mengejek Cindy yang mulai mendengus. Sophia memajukan badannya dan berbisik, "makanya jangan terlalu berani lawan aku. Melawan aku ataupun Omar, sama artinya kamu memanggil sisi ularku. Aku bisa saja mengigitmu," Sophia menyingkap rambut Cindy hingga memperlihatkan leher jenjang perempuan itu. "Tepat di sini," lirihnya cukup rendah, menunjuk leher jenjang Cindy yang terlihat begitu menyayangkan jika dijadikan bahan cakaran dari kemurkaan Sophia. Semakin ketar-ketir ketika Sophia membisikkan satu hal yang paling tidak terduga ini. "Sekali kamu bertingkah, aku bakal bocorkan rahasia kamu, kalau sebenarnya sebelum kamu jadi sekretaris Nevan, kamu pernah ada main dengan Omar. Aku punya buktinya dan itu terpampang nyata di Driveku. Aku tinggal kirim linknya saja, semua bisa melihatnya. Kamu mau dipermalukan sampai ke kemaluanmu?" Tanya Sophia tanpa menyaring ucapannya, beruntungnya dia hanya berbisik dan bisa dipastikan Nevan tidak akan mendengarnya. Mata Cindy terlihat goyah, yang sebelumnya menyalang tajam ke Sophia. Tanpa kata-kata, ia menepis tangan Sophia dan beralih keluar. "Siapa suruh lawan aku? Dia pikir dia jagoan setelah ancam aku dan Omar? Dia pikir aku bakal hapus bukti-bukti setelah dia mengancam aku? Dia gak tahu aja aku kayak gimana. Sekalinya memutuskan jadi ular, buaya pun bisa aku lahap!" Ujarnya dengan tatapan yang begitu serius, mengarah ke pintu tepatnya ke arah Cindy yang baru aja keluar. Raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat setelah melihat Nevan. Ia memasang senyum cantiknya. Lalu ia duduk cantik di sofa yang sudah ditunjuk Nevan. Dia menaruh kotak bekalnya dengan sangat hati-hati di atas meja. Membukanya sedikit, namun senyumannya merekah begitu lebar. "Nevan pasti suka," gumamnya penuh harap. Tidak lama setelahnya Nevan selesai menelpon, menghampiri Sophia dan duduk di samping perempuan itu. "Tadi malam Omar bilang sama aku kalau kamu mau jadi Sekretaris aku sebagai hadiah ulang tahun." "Iya," jawab Sophia, malu-malu di depan Nevan. "Aku juga buatkan sarapan buat kamu. Kamu pasti belum sarapan, kan?" tanya Sophia. "Sebenernya sudah, tapi—" "Belum," jawab Nevan. "Oh, pas!" Sophia membuka tutup kotak bekal yang disiapkannya, memperlihatkan bento bentuk beruang. "Aku buatkan bento, kamu pasti suka." "Kekanakan," batin Nevan. Hanya saja, ia tetap memperlihatkan senyumnya. Sophia menyuapi Nevan satu bentuk bento kecil-kecil yang dibuatnya selain bentuk beruang. Mata Sophia begitu berbinar ketika satu suapan diterima Nevan tanpa protes. "Bagaimana?" tanyanya "Enak, kan?" tanya Sophia sekali lagi. "Enak dari mana? Asin banget, kayak makan garam!" batin Nevan. Dengan sangat terpaksa Nevan menjawab, "iya, enak." "Kalau saja Omar gak paksa aku buat iya-iya in perkataan Sophia, aku gak mau dikibulin kayak gini. Aku juga gak mau makan garam kayak gini." *** Benar-benar tujuan Sophia ke kantor Nevan hanyalah untuk menganggu sekaligus menggoda Nevan, bukan sebagai seorang sekretaris. Pasalnya, Sophia begitu pintar mengambil celah. Dia akan bertanya ini-itu pada Nevan, atau berjalan bolak-balik di depan meja kerjanya Nevan. Dan ketika Nevan lagi serius-seriusnya bekerja di depan laptop, ia sengaja mendekat, lalu meraba-raba Nevan. Nevan hanyalah manusia biasa, pria dewasa yang terkadang dengan satu hal yang namanya GODAAN. "Sophia, tolong duduk di sofa itu. Aku sudah siapkan makanan dan minuman untukmu, supaya kamu diam di sana dan gak ganggu aku lagi. Dan please, jangan kayak gini, nanti aku yang dimarahi Omar," ujar Nevan, berusaha menahan godaan tangan Sophia di dadanya. Sophia mendekati telinga Nevan, lalu berbisik, "kan tujuan aku ke sini untuk jadi sekretaris kamu, Nevan. Omar tidak ada kepentingan lain lagi. Dia juga pasti bawa cewek lain ke ruangannya." "Tapi tetap saja." Sekuat-kuatnya Nevan bertahan, tetap saja dia tergoda. Dia sampai memejamkan matanya. "Nevan, sadar! Kamu bisa disunat kalau sampai terjerumus dalam godaan Sophia." Pikirnya. Di saat Sophia sedang gencar-gencarnya menggodanya, Nevan berusaha untuk tetap sadar dan bertahan dengan akal sehatnya. Pikirannya terus melarangnya tergoda dengan Sophia, tapi sialnya tubuhnya malah mulai terjerumus. Itu adalah perihal yang sulit untuk dikendalikan. Dia mengambil ponselnya dan menelpon seseorang yang bisa menyelamatkannya sebelum semuanya terlambat. "Omar, cepetan ke kantor aku! Sophia goda aku mulu nih! Aku takut kebablasan!" Teriak Nevan. Dan dari ujung sana Omar membalas, "Sialan!" *** Menghadapi kenyataan kalau Sophia lebih senang menjadi sekretaris Nevan membuat Omar kalut, pikirannya jadi kacau. Setelah dua tahun lamanya ia tidak menyuruh seorang wanita ke kantornya, kini dia kumat lagi. Hanya saja, yang ia suruh pun bukan orang yang baru, melainkan mantannya sendiri. Dokter Farahila. Farahila sedang membuatkan kopi untuknya, sedangkan ia sedang berusaha menyelesaikan pekerjaannya di laptop. Hanya saja, setelah sekian jam berhadapan dengan laptop, dia tidak menyentuh keyboard sedikit pun. Pikirannya penuh dengan Sophia, Sophia dan Sophia. "Ini kopi untukmu," Farahila menyerahkan secangkir kopi untuk Omar. "Makasih," jawab Omar singkat setelah menerimanya, tanpa senyuman. Begitu datar. Lalu ia hendak menyesapnya, namun suara deringan ponselnya membuatnya terhenti. Ia lebih memilih menengok melihat nama yang tertera di ponselnya dibandingkan menyesap kopi buatan dokter cantik Farahila. Ketika nama Nevan lah yang muncul di layar ponselnya, ia segera menggulir ikon terima dan mengaktifkan mode speaker tanpa jeda. "Omar, cepetan ke kantor aku! Sophia goda aku mulu nih! Aku takut kebablasan!" "Sialan!" Umpat Omar. Begitu terburu-buru menaruh cangkir kopinya hingga separuh cairan kopi tersebut mengenai keyboard laptopnya. Ia tidak memperdulikan itu, segera menyambar jas dan kunci mobilnya. "Kamu mau ke mana, Omar?" Tanya Farahila. Nyatanya Omar tidak menjawabnya, malah Omar tergesa-gesa keluar dari ruangannya. "Si Berandalan Sophia ini memang sangat menyusahkan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN