Bab 7. Menjadi Sekretaris Nevan 2

2002 Kata
"Si Berandalan Sophia ini memang sangat menyusahkan!" Omar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak mempedulikan apakah jalanan sepi atau ramai, ia tetap membunyikan klaksonnya seperti orang kesurupan, mobil mewahnya pun melintas sama gilanya dengan sang pemilik. Sebab ia tidak peduli, yang ada di pikirannya hanyalah Sophia dan Sophia, tentang kenakalan apa yang sudah diperbuat perempuan itu sampai-sampai ia ditelpon oleh Nevan dan menyuruhnya cepat-cepat sampai di sana. "Ini anak dilepas dikit, baut malunya copot, langsung jadi liar. Sesuka hati goda cowok, mentang-mentang dia suka sama cowok itu," gerutunya. "Lama-lama aku ikat beneran anak nakal bin ajaib yang satu ini," dumelnya. "Dia ulang tahun, tapi aku yang dikerjain." Ia menyetel musik, berharap bisa menenangkan dirinya. Hanya saja, baru ia mendengar alunan lagunya, ia langsung mematikannya dengan kesal, padahal itu adalah lagu kesukaannya "Sama aja! Bikin pusing!" Ia malah menyalahkan lagu itu, padahal pikirannya lah yang kacau, Deringan ponselnya terdengar, ialah panggilan dari Farahila. Dia lupa kalau beberapa waktu yang lalu ia memanggil Farahila ke kantornya, tapi dia sendiri lah yang meninggalkan perempuan itu tanpa kata perpisahan. Hanya saja, di benak Omar saat ini tidak ada nama Farahila lagi, hanya ada nama Brenda Lan Sophia yang khusus bagi Omar disingkat menjadi Berandalan Sophia, saking nakal dan pintarnya membolak-balikkan hati dan pikiran Omar. Hanya saja, Farahila memang tidak semudah itu menyerah. Omar bisa saja terus menolak panggilannya, tapi ia bisa tetap menelpon kontak pria itu. Berkali-kali hingga Omar kesal dan tidak punya pilihan lain selain menerima panggilan darinya. Omar tidak langsung bicara, malah menunggu perempuan itu lah yang bicara. Ladies first. "Omar kamu di mana? Aku nunggu kamu di ruangan kamu nih. Kata kamu kita mau jalan habis ini, mau balik—" "Sorry, kayaknya waktu itu aku agak ngantuk dan sedikit mabuk, jadi aku tidak sadar. Kita gak jadi jalan, gak jadi balikan, atau apapun itu sebutannya. Kita hanyalah masa lalu yang aku rasa gak punya hubungan lagi di masa depan. Kamu pulang aja sendiri, aku mau jemput Sophia. Kamu punya uang buat balik, kan? Atau mau aku transfer?" Omar tidak sadar kalau apa yang dia katakan sekarang sudah mengugurkan dan meluluh lantakkan harapan Farahila untuk kembali menjadi pacarnya. Kasihan sekali. "Lah kok gitu? Aku udah dandan cantik-cantik buat kamu, beli baju baru, high heels baru, pakai parfum baru, bahkan aku juga resign dari pekerjaan aku, dan itu semua buat kamu." Pengakuan Farahila membuat Omar kebingungan, mengernyitkan alisnya, seakan di dahinya tertulis kalimat 'ini cewek ngomong apaan ya?'. "Kamu kenapa resign? Aneh banget. Dan itu tidak seharusnya berhubungan denganku, itu adalah urusanmu," ujar Omar, tidak mau peduli dengan keputusan besar yang lakukan Farahila. "Aku resign buat kamu. Kan kamu bilang kalau kamu mau ketemu sama aku dan mau balikan sama aku. Otomatis tidak lama setelah itu aku akan nikah sama kamu, terus aku jadi nyonya Omar Jones, jadi otomatis aku tidak perlu kerja lagi. Tapi kalau kamu membatalkannya seperti ini, rugi dong aku. Kamu harus tanggung jawab, harus nikahi aku," jelas terdengar bagaimana Farahila kecewa dan menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya, hingga helaan napas itu terdengar begitu berat. Akan tetapi, permintaannya di akhir? Bukan main-main. Dia meminta Omar menikahinya. Omar makin kebingungan dengan apa yang telah dilakukan Farahila. "Dia bego atau gimana sih? Dia kan lulusan kedokteran, masa gara-gara aku mau ajak dia balikan, dia pikir aku bakal nikahin dia? Please deh, angin belum tentu hujan, nyaman belum tentu jadian, pacaran pun belum tentu nikahan. Astaga, kacau! Untung aja udah putus." Batin Omar. "Fara, kamu sadar gak sih kalau kamu itu bego!" Sarkas Omar begitu tegas dan tanpa angin tanpa hujan dia memutuskan panggilan itu untuk Farahila. Melempar ponselnya ke kursi di samping, menginjak pedal gas dan mobilnya semakin melaju menuju gedung kantor Nevan. "Dan kayaknya, aku juga sedang dibego-begokan oleh Sophia!" *** Sesampai Omar di gedung kantor Nevan, tanpa sabar memarkirkan mobilnya secara asal. Ia berlari masuk ke gedung, melewati lobi yang mana hampir dipenuhi oleh karyawati-karyawati yang mengaguminya. Bagaimana Omar yang berlari dengan pakaian jas rapi lengkap, kaki jenjangnya begitu sempurna menapaki setiap titik lantai, bisepnya yang besar terlihat menggoda para cewek-cewek berteriak kagum padanya, terlebih dengan wajahnya yang sudah tampan dan ganteng maksimal sejak lahir, meski sudah tercetak sedikit kerutan di dahi akibat kelakuan nakal satu perempuan. "Ya ampun … calon suami aku ganteng pake banget. Pas dia diciptain, pasti Tuhan habis makan permen, makanya Omar jadi semanis, setampan dan sesempurna ini!" "Bukan main. Gak salah aku idolain pria yang satu ini. Damage-nya gak main-main." "Rugi bandar kalau gak liat. Sesekali cuci mata daripada cuci piring mulu." "Itu muka perasaan ganteng bener, serasa ngajak berumah tangga. Etdah!" "Aslinya ganteng banget, woy! Ini mah oppa-oppa Indonesia kalah sama Omar, apalagi oppa-oppa Malay." "Calon suami, minta foto dong buat dipajang di buku nikah kita nanti!" Banyak sekali yang berseru mengagumi sosok Omar saat berlari sepanjang lobi. Mata mereka tidak bisa lepas memandangi Omar dan adalah suatu kerugian yang sangat besar jika mereka tidak melihat pria yang satu ini. Jarang-jarang datang, tapi sekalinya datang bikin ketar-ketir! Gempar hati para karyawati Nevan akibat pria yang yang satu ini. "Ribut banget. Bikin kepalaku makin pusing aja," ujar Omar kesal, masuk ke dalam lift mengabaikan semua tatapan kagum dari para karyawati yang mulai mengejar mendekati lift. Sayangnya mereka telat mengejar Omar, pun keadaannya Omar sedang mengejar waktu tuk memisahkan Sophia dan Nevan yang entah melakukan apa di suatu ruangan. Singkatnya, para karyawati Nevan mengejar Omar, Omar mengejar Sophia, tapi Sophia malah mengejar Nevan. Akankah akhirnya Nevan akan mengejar salah satu karyawannya? Bisa jadi. "Habis ini aku ikat tangan kamu di rumah, Sophia," gerutunya. Matanya lekat memandang angka-angka lantai yang terus bertambah, kedua tangannya sudah masuk ke dalam saku celana dan kakinya tidak berhenti menghentak-hentak. Ia terlihat tidak sabaran. "Tahun depan aku gak mau ngerayain ulang tahun kamu lagi. Tahun ini kamu pengen jadi sekretaris Nevan, tapi bisa aja tahun depan kamu mau jadi istrinya Nevan. Bisa kacau kalau sampai itu terjadi," gerutunya, tidak habis-habisnya. Sampai akhirnya ia sampai di lantai ruangan Nevan berada, ia tidak perlu menyapa Cindy, langsung ingin masuk begitu saja ke ruangan Nevan. Hanya saja, ketika kakinya baru masuk satu langkah, tangannya ditarik Cindy, padahal sudut matanya sudah menangkap bayangan Sophia dan Nevan yang begitu dekat satu sama lain di atas meja. Dan itu kembali menambah rasa kekesalannya. "Kamu lupa kasih aku cek terakhir kali. Meski ini sudah setahun lamanya, tapi aku masih ingat," kata Cindy. Omar menghempas tangan Cindy, "dasar wanita matre! Aku bahkan gak pake kamu, tapi kamu malah minta uang sama aku. Sadar diri dong!" "Tapi tetap saja kamu sudah ajak aku masuk ke hotel itu," ujar Cindy yang tetap bersikeras. "Kalau kamu gak mau kasih aku, aku beberkan ke semua orang kalau kamu itu sebenarnya penjahat kelamin! Suka mainin cewek!" "Dasar cewek mulut lemes! Penjahat kelamin patut kamu tuduh untuk orang yang pake jasa kamu, tapi nyatanya aku gak pake. Kalau kamu mau bayaran, nanti aku kasih cek dengan nominal yang sangat fantastis, sampai kamu sendiri tidak bisa menyangkanya. Tapi setelah itu, kamu jangan ganggu aku lagi, jangan ganggu Sophia lagi, jangan ganggu Nevan lagi. Kamu jangan muncul di hadapan kami lagi!" Setelahnya Omar melengos masuk ke dalam ruangan Nevan. Baru saja dia masuk, matanya langsung membulat sempurna melihat apa yang ada di depannya. Jantungnya berpacu begitu kencang, amarahnya naik ke ubun-ubun, dan sepertinya kini ia tidak bisa menahan kesabarannya lagi. "Nevan, apa yang kamu lakukan?!" Omar berlari menuju meja kerja Nevan, di mana di atas meja itu ada Sophia yang duduk di atasnya dan Nevan yang terlihat seperti sedang menaikkan baju ketat Sophia. Terlihat menantang, tapi bukan berarti itu adalah kebenaran seperti yang terpikirkan. Bugh! "Kurang ajar banget kamu, Nevan!" "Nevan!" Omar memberikan bogeman mentahnya kepada Nevan hingga pria itu terjungkal ke belakang, jatuh ke lantai. Hampir saja kepala Nevan mengenai sudut meja. Jika sampai itu terjadi, mata tamatlah sudah. "Apaan sih?!" Sophia mendorong d**a Omar hingga punggung pria itu menabrak kaca besar di belakangnya. Untungnya tidak sampai jebol. Sayangnya, Sophia tidak mempedulikan Omar, ia malah membantu Nevan bangun dan mengusap sudut bibir Nevan yang menjadi titik temu bogeman Omar. "Sakit, ya?" Tanyanya pada Nevan dengan nada yang begitu lembut, berbeda sekali ketika ia berbicara dengan Omar yang meledak-ledak seperti sedang memanggil orang di tengah hutan. "Lah," Omar menatap Sophia kebingungan mengacakkan pinggangnya benar-benar tidak mengerti. "Kamu bego, t***l, atau bodoh sih, Berandalan Sophia?! Jelas-jelas kalau pria ini mau c***l sama kamu, tapi kamu malah baik hati banget sama dia, sampai-sampai kamu tanyain dia sakit atau gak, mana nadanya lembut banget lagi. Sedangkan aku? Aku hampir aja kena pecahan kaca kalau sampai jebol, hidupku jadi taruhannya. Dasar Berandalan Sophia!" Protesnya dalam hati, namun bibirnya terus komat-kamit tidak karuan. Sophia menoleh ke arahnya, hanya sebentar, lalu berdecak dan kembali fokus dengan Nevan. "Jangan dengerin, anjing lagi bergonggong," ujarnya yang jelas-jelas menyindir Omar. Omar menganga. "Apa? Kamu anggap aku anjing? Setelah aku selamatkan kamu tadi?" Tanya Omar, menarik tangan Sophia agar menjauh dari Nevan. "Kalau aku tidak datang, kamu bakalan kehilangan kehormatan kamu oleh pria ini. Kalau sampai itu terjadi, kamu—" "Aku bakalan nikah sama Nevan," sela Sophia, melawan perkataan Omar. "Ya kalau Nevan setubuhi aku, Nevan harus nikahi aku dong. Itu adalah hukum wajib dan itu mempermudah aku mendapatkan Nevan. Makanya aku diam saja," ujarnya memperjelas. Akan tetapi, penjelasannya membuat kepala Omar hampir meledak. Omar sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa menjambak rambutnya, tidak bisa mengalahkan Sophia. Omar merasa kacau hanya karena satu perempuan yang terus menantang dirinya. "Lagian ngapain kamu ke sini, Om? Kamu seharusnya jangan ke sini, biar aku bisa cepat-cepat dinikahin Nevan. Padahal aku tinggal goda dikit aja, Nevan pasti mau." Sophia menggandeng tangan Nevan, semakin membuat Omar gila. "Kamu jangan aneh-aneh, Sophia. Aku bukan mau setubuhi kamu, tapi baju kamu robek. Aku mau berbaik hati mau tutupi itu, tapi kebetulan sekali Omar masuk dan salah paham gini. Alhasil bibirku jadi monyong gini, mana gigiku berdarah lagi. Untung gak ada yang copot," ujar Nevan yang malah berkebalikan dengan apa yang dikatakan Sophia. "Kamu jangan salah paham, Omar. Aku tahu kok mana batasanku, makanya dari tadi aku nahan-nahan. Lebih baik kamu bawa dia pulang aja, biar gak nakal lagi," ujar Nevan, menyerahkan Sophia. Omar langsung mendelik menatap tajam Sophia yang malah santai memamerkan deretan giginya. Kemudian membentuk tangan telunjuk dan tengah tanda damai. "Hehe, maaf, Om. Aku ketahuan bohong," katanya. "Astagaaaaaa," Omar geram. Ia sudah banyak mengatakan sumpah serapah untuk Nevan sepanjang perjalanan tadi, bahkan sedikit rasa benci berbalut dendam muncul kala melihat Nevan hendak melakukan hal yang tidak-tidak pada Sophia. Hanya saja, ternyata itu adalah akal-akalan Sophia agar dia bisa cepat-cepat dinikahkan dengan Omar. Omar tidak bisa habis pikir. Ia melambaikan tangannya menyuruh Sophia mendekat. "Ayo pulang," ajaknya, sudah menurunkan nada bicaranya. Ia masih mengajak Sophia pulang dengan kesabaran. "Gak mau," tolak Sophia, semakin erat menggandeng tangan Nevan, padahal Nevan sendiri berusaha melepaskan tangannya dari kaitan Sophia sebab tatapan Omar yang begitu tajam hampir menelannya bulat-bulat. "Sophia, jangan gini. Nanti nyawaku dibantai sama Omar kalau kamu gini terus," ucap Nevan, ingin menjauh dari Sophia. "Gak mungkin. Nanti aku yang lawan Omar," balas Sophia, lebih keras kepala. "Pulang atau aku pecat?!" Ancam Omar pada Sophia. "Iya, pecat aja," malah Sophia menjawab demikian, dan terlihat begitu senang. "Biar aku bisa lamar kerja di sini," ujarnya lagi. "Tapi aku gak terima CV kamu." Sahut Nevan. "Ya gak masalah. Kan banyak jalan menuju Roma. Kalau kamu gak terima CV aku, aku kirim CV aku ke rumah orang tuamu. Jadi menantu idaman mertua," ujar Sophia yang punya 1001 cara. Tidak pernah kehabisan ide nakal. "Astaga," Omar memijit kepalanya, semakin terasa pening. Lama-lama Omar bisa benar-benar gila karena perempuan itu. "PULANG!" Bentak Omar. Sophia berhasil terdiam, menatap Omar penuh kekesalan. Ia pun menarik kasar tangannya dari lengan Nevan. Menghentak-hentakkan kakinya kesal mengambil tasnya. Bibirnya merengut kesal, dan terlihat ia seperti komat-kamit mengatakan sumpah serapah. "Eh, mulutnya jangan kurang ajar gitu." Omar memperingati Sophia. "Sopan dikit, kan baru aja nambah umurnya," sambungnya lagi. "Iya, emangnya kenapa? Umurku boleh nambah, tapi setelah ini adikmu yang aku potong sampai habis!" Kesal Sophia menunjuk ke arah pangkal paha Omar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN