Delapan

1388 Kata
Sepulang kerja, Ellea langsung membonceng motor Kenzi, ya masih motor usang yang jika dibawa mengebut, kepala motornya suka bergetar, dengan standar miring yang dikhawatirkan membuat motor itu mungkin jatuh terjungkal jika diletakkan di posisi yang tidak pas. Ellea memakai helm yang dibawa oleh Kenzi, entah helm siapa? Sama usang dengan motornya, syukurlah masih bisa dipakai, setidaknya kepala dia aman. “Daerah mana rumahnya?” tanya Kenzi ketika mereka memasuki kompleks yang dituju, ini kali pertama Kenzi ke daerah komplek itu, sehingga dia tak tahu jalannya. “Lurus sedikit lagi, itu yang gerbang cokelat,” tunjuk Ellea, hari sudah hampir malam, petang sudah beranjak dari peraduan. Rumah itu tampak berpenghuni, lampunya menyala namun tak ada barang-barang yang terlihat dari balik jendelanya. Memang sepertinya sengaja tidak dituliskan nomor telepon, mungkin menghindari adanya penelepon tidak jelas. Kenzi menghentikan motornya, ada satu motor di garasi rumah itu. Dia menekan belnya, hingga tampak seorang pemuda tergopoh keluar dari rumah yang tertulis “DIJUAL,” itu. Pemuda itu membuka gerbang. “Selamat malam,” ucap Kenzi. “Iya malam, Pak,” jawab pemuda itu, melihat penampilannya sepertinya dia memang hanya ditugaskan menjaga rumah ini. “Saya lihat rumahnya dijual, boleh saya lihat-lihat sama istri saya,” ucap Kenzi. Ellea melirik ke arah Kenzi hatinya menghangat mendengar kata itu. “Oh iya silakan masuk, Pak, Bu, motornya taro dalam saja,” ujarnya. Kenzi mendorong motor itu diikuti oleh Ellea yang langsung mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ya seperti dugaannya garasinya cukup besar, mungkin muat tiga sampai empat mobil. Ada halaman kosong sedikit yang bisa dimanfaatkan untuk menanam pohon atau membuat kolam ikan. Dia melihat ada pintu ke samping dari rumah itu. Meski pintu tersebut tertutup rapat. “Ayo silakan,” tutur pemuda itu ramah membuka pintu utama, semua bahan pintu dan jendela terbuat dari stainless dan bukan kayu, ada seorang pemuda lagi yang duduk di ruang tamu hanya beralas karpet saja. Rumah itu memang kosong melompong, padahal lampu-lampunya sudah sangat bagus. “Pemiliknya bapak?” tanya Kenzi. “Bukan, saya hanya yang menjaga, saya yang renovasi bareng teman saya, ini rumah kontraktor, bos kami, katanya kami disuruh jaga sambil nunggu pembeli,” tutur pemuda itu. “Oh jadi memang rumah ini direnovasi sengaja untuk dijual lagi?” tanya Kenzi. “Iya betul pak, ini kamar utamanya,” tutur pemuda itu. Kenzi membuka pintu kamar utama tersebut, sangat luas, ada kamar mandi dalamnya yang sudah sangat lengkap dengan water heater, kran shower otomatis, juga toilet duduk, bahkan ada walk in closet dengan meja memanjang. Ellea sangat menyukainya. Lalu mereka berjalan ke kamar kedua, tidak ada toilet di dalamnya, ukurannya juga cukup luas meski tidak seluas kamar pertama, lalu ada kamar berukuran kecil mungkin untuk kamar pembantu. Ellea melihat jendela kaca yang sangat lebar, matanya membelalak melihat air di luar, dia membukanya. Terhenyak. Ada kolam renang di sana. Ukurannya tidak terlalu besar, bentuk kolam itu memanjang, mungkin lebarnya hanya tiga sampai empat meter, namun cukup panjang dengan kedalaman yang mungkin hanya satu meter. Dia tak menyangka ada kolam renang di sana. Dia sudah membayangkan anak-anaknya akan sangat bahagia bermain di kolam. “Kolamnya sudah bisa digunakan,” tutur pemuda itu. Kenzi menutup pintu dan merangkul Ellea, kini mereka menuju lantai atas, memang rumah itu hanya terdiri dari dua lantai, ada tiga kamar anak di sana, toiletnya di luar. Ada ruangan besar untuk menonton televisi juga. Di tangga ada jendela kaca, juga lampu gantung yang tinggi sehingga membuatnya tampak sangat aesthetic. Sejujurnya Ellea sangat menyukai rumah ini, benar-benar seperti rumah impiannya. Bahkan di dapurnya sudah dipasang kitchen set yang sangat indah berwarna hitam. “Ini kartu nama bos saya,” tutur pemuda itu memberikan kartu nama pada Kenzi, memang tertulis perusahaan kontraktor. Akan lebih mudah mengurusnya biasanya. Kenzi berterima kasih, setelah puas berkeliling dia pun mengajak Ellea pulang. Sebelum pulang mereka memesan beberapa porsi nasi goreng untuk mereka makan di rumah nanti. Ghaits dan Ghania memandang Kenzi yang tampak membeku salah tingkah, mereka sudah bersalaman dan Kenzi bahkan merasa kelu untuk menyapa mereka. “Di dalam saja, Mas,” tutur Ellea. Kenzi ikut masuk ke dalam sementara Ghaits dan Ghania tampak saling sikut. Mereka mengekor ibunya yang sudah menyiapkan alat makan untuk mereka. Ayah Ellea duduk di sofa, menyapa Kenzi, sementara ibu Ellea entah pergi ke mana? Mungkin ada keperluan lain. “Makan, Pak,” ucap Ellea. “Iya dong,” jawab ayah Ellea membuat Ellea hanya menggeleng geli. Ayahnya mengambil satu bungkus nasi goreng yang telah diletakkan di piring oleh Ellea. Sesekali Kenzi berbincang dengan ayah Ellea sementara Ellea sibuk menyuruh makan kedua anaknya. Ellea makan satu piring dengan Ghania sementara Ghais duduk di dekat televisi sambil memakan nasi gorengnya. “Menginap di sini saja Kenzi,” ujar ayah Ellea. “Enggak bawa baju ganti, Pak. Saya pulang saja, besok cuti soalnya,” ucap Kenzi. “Lho mas ambil cuti besok?” tanya Ellea yang baru tahu. “Iya ada keperluan,” ucap Kenzi, besok dia akan bertemu calon pembeli rumahnya, sementara rumah orang tuanya sudah fixed dibeli oleh seseorang. “Bapak kira mau menginap di sini, biar Ghania tidur sama bapak dan ibu nanti,” ujar ayah Ellea. “Hehehe kapan-kapan, Pak menginapnya,” tutur Kenzi. Sepertinya ayah Ellea mengantuk setelah makan, dia meninggalkan Ellea dan Kenzi duduk di ruang tamu, sementara kedua anak Ellea sudah masuk kamar mereka untuk membereskan buku untuk besok. “Besok mau ke mana?” tanya Ellea. “Yang mau lihat rumah mau datang, aku mau beres-beres rumahnya dulu biar pas dilihat enggak memalukan.” “Mau dibantu? Aku bisa ambil cuti dadakan?” ujar Ellea. Kenzi menggeleng. “Enggak perlu, aku bisa sendiri,” ucap Kenzi. Ellea hanya mengangguk saja, Kenzi tampak mengantuk, dia beberapa kali menguap. “Aku kayaknya mau pulang, takut makin ngantuk di jalan,” ujar Kenzi. “Enggak apa-apa pulang sekarang?” tanya Ellea yang tanpa sadar bermanja pada Kenzi. Kenzi menjawil hidungnya. “Jangan mancing, nanti saja di rumah baru,” ujar Kenzi seraya terkekeh, mengambil jaketnya yang tersampir di pegangan sofa. Ellea hanya cemberut. Dia mengantar Kenzi sampai depan rumah dan menyalaminya, Kenzi menitip salam pada Ellea untuk orang tuanya dan juga anak-anaknya. Malam ini Kenzi dengan anak-anak memang tidak banyak berbicara, namun Ellea berharap setelah mereka satu rumah nanti hubungan mereka bisa lebih dekat. *** Entah mengapa Ellea merasakan sepi hari ini? Mungkin karena Kenzi yang cuti? Atau karena memang tak ada kabar darinya selain semalam tadi dia mengabarkan bahwa dia telah sampai di rumah. Sudah waktunya jam pulang kantor, setelah beribadah. Ellea membereskan tasnya. Tora entah sudah kabur ke mana? Tak tampak batang hidungnya. “El,” panggil Nando membuatnya terkejut. “Ah iya, ada apa, Mas?” tanya Ellea. “Mau makan bareng? Tapi dua motor saja, biar enggak ada yang ketiga,” kekeh Nando. Sumpah garing banget. Ellea memejamkan mata sedetik lalu dia memaksa senyumnya. “Aku ada urusan Mas, hehe next time kali ya,” ucap Ellea yang sudah beberapa kali menolak ajakan makan dari Nando, lagi pula dia tak tahu apa yang akan dibicarakannya, tepatnya dia menghindari setiap pembahasan dari Nando mengenai hubungan pribadinya. “Oh urusan apa kalau boleh tahu?” “Ghaits mau ujian, mau ngawasin belajar,” ujar Ellea. “Oh gitu, urusan penting itu, Mas Vino juga kemarin ujian, syukurlah dapat seratus rata-rata,” ujarnya. Sumpah demi apa pun Ellea bukan orang yang terobsesi dengan nilai, menurutnya anaknya bisa mengikuti sekolah saja sudah bagus. Dia tak mau terpaku pada nilai, ada trauma tersendiri di hidupnya pada nilai sekolah dan dia telah mengubur rapat-rapat trauma itu. “Pintar ya mas Vino,” kekeh Ellea menyebut nama anak pertama dari Nando yang dia tahu sudah duduk di bangku SMP. “Iya memang juara terus dia,” ujar Nando bangga. Ellea sudah selesai membereskan barang-barangnya, mengunci laci kerja dan meletakkan kunci di tasnya. “Aku pamit, Mas,” tutur Ellea. “Iya hati-hati di jalan,” ujar Nando kemudian. Ellea meninggalkan pria itu seorang diri, dia melewati ruangan Finance, teman-teman kerja Kenzi tampak masih berkutat dengan pekerjaan mereka. Lalu dia naik lift, dia tersenyum melihat Tia yang berdiri bersisian dengan seorang pria. Ellea tidak mengenalnya, apakah dia pacarnya? Yang dikatakan telah beristri? Atau entahlah? Ellea tidak mau ambil pusing. Lift berdenting, sudah sampai di lobby, Ellea bergegas menuju parkiran motor, tampak kilat menyambar di langit, tampaknya akan turun hujan. Dia harus segera pulang sebelum hujan turun deras. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN