Sembilan

1414 Kata
“Ma, mama!” ujar Ghania membuat Ellea terhenyak dari lamunan. “Ada apa?” tanya Ellea, hari ini adalah hari libur namun dia hanya bermalasan di kamar. “Katanya kita mau tinggal sama Om Kenzi?” tanya Ghania yang masih belum membiasakan diri memanggil papa, baru juga satu kali bertemu setelah menikah, tentu saja dia tak bisa asal menyebutnya papa. Butuh adaptasi. “Ya nanti, rumahnya kan belum selesai dibeli,” ujar Ellea, hari masih pagi, dia kemudian memutuskan keluar kamar. Tak ada orang tuanya, entah ke mana? Mungkin ada acara, seperti biasa setiap weekend, Ellea akan mengurus rumah dan anak sendiri. Dari masak sampai segalanya. Orang tuanya kerap kali pergi karena ada urusan, mereka memang sangat sibuk, jauh lebih sibuk dari anak-anak muda. Berbeda dengan Ellea yang malas bersosialisasi, orang tua Ellea justru cukup senang dengan kegiatan kumpul-kumpul seperti itu. Terkadang Ellea pun bingung dengan jalan pikiran mereka, dia memberi mereka uang jajan meskipun tidak banyak, membiayai rumah dan untuk kebutuhan sehari-hari, untuk masak dan lain sebagainya. Sesekali memang ibu Ellea memang menerima pesanan catering seperti kue atau nasi box namun tidak terlalu sering. Sementara ayahnya memang sudah lama tidak bekerja karena sakit yang dideritanya. Yang tidak memperbolehkannya terlalu lelah. Sesaat Ellea berpikir, bagaimana dia menjelaskan tentang ini nanti ke Kenzi? Bagaimana tentang pembagian uang nafkah bulanan? “Tuh kan mama ngelamun lagi,” ujar Ghania. “Ghania berisik deh, ikut mama beli sayur aja yuk,” timpal Ellea yang kemudian berdiri, perutnya terasa lapar juga. Biasanya di depan gang ada penjual sayur yang mangkal. Dia mengambil uang dari dompetnya, Ghania sudah berlari lebih dulu keluar. Memang anak lincah itu paling senang jika diajak berbelanja, apalagi dekat penjual sayur ada toko kelontong. Ellea berjalan santai di depan rumahnya, Ghania kembali berlari ke arahnya dan memegang tangannya, lalu tersenyum lebar. Ellea hanya mendengus, sudah tahu putrinya pasti akan meminta sesuatu jika bertingkah seperti ini. Ellea mengeluarkan uang lima ribu dari saku celana pendeknya dan Ghania berlari lagi menuju toko kelontong sementara Ellea menuju penjual sayur. Beberapa ibu terlihat mengerubungi gerobak itu. “Eh neng Lea baru kelihatan,” sapa salah satu tetangganya. “Iya, lagi pengen masak Bu,” ujar Ellea sambil mencari udang. Dia mengambil sebungkus udang, lalu mencari jamur tiram, sepertinya dia akan membuat capcay atau tomyum? “Tadi ibu kamu pergi pagi banget sama bapak, ke mana?” tanya salah satu ibu lainnya. “Oh, ada acara Bu,” jawab Ellea. “Enak ya jadi mereka, anak cuma satu sudah bekerja gajinya besar, kemana-mana enggak ada yang ngikutin, nikmatin masa muda lagi,” timpalnya. Ellea hanya tertawa saja menanggapinya. “Enggak niat nikah lagi Neng?” tanya ibu lainnya. “Hmmm, mau,” ujar Ellea. “Eh denger gosip Neng sudah nikah ya? Memang benar? Kok kita enggak diundang sih?” ujarnya melirik ke perut Ellea. Ini adalah hal yang paling membuat Ellea malas ke luar rumah. Apakah mereka berpikir bahwa di perut Ellea sudah ada janin? Sehingga menikah diam-diam. “Kata siapa?” tanya Ellea sambil memasang wajah judesnya. Mereka tampak bisik-bisik. “Yah, ada yang bilang katanya tahu dari bapak,” ujar ibu itu pada akhirnya. “Oh,” jawab Ellea pelan. Dia dengan cepat mengambil beberapa sayuran dan bertanya harganya pada penjual sayur itu. “Jadi kapan resepsinya?” tanya ibu lainnya. “Nanti dikabari ya Bu,” ujar Ellea pada akhirnya, dia tak mungkin menyembunyikan hal ini kan? Apalagi nanti dia akan tinggal bersama Kenzi di komplek tak jauh dari tempatnya tinggal. Akan sangat runyam jika membiarkannya. Setelah membayar sayurannya, Ellea menunggu penjual itu mengembalikannya mengapa rasanya lambat sekali? Hingga Ghania menghampirinya, sudah meminum cairan putih di dalam kotak yang bergambar sapi itu. “Ghania, mau punya papa enggak?” goda tetangga Ellea. Ellea sungguh merasakan pagi yang suram. Entah apakah dia akan memiliki mood memasak nanti? Atau membiarkan sayuran ini di kulkas dan memesan makanan online saja? “Aku sudah punya kok,” ujar Ghania sambil terus menyedot minumannya. Penjual sayur itu membelikan kembalian pada Ellea. “Permisi,” ujar Ellea pada akhirnya. Memegang tangan Ghania dan berjalan cepat meninggalkan penjual sayur dan komplotan ibu-ibu itu. Sebenarnya mereka tidak jahat, hanya saja terkadang mulut mereka tidak bisa di-rem. Sejak kecil Ellea sudah tinggal di lingkungan ini dan paham kondisinya, meski pun tetap saja terkadang dia tak bisa terbiasa mendengar komentar-komentar pedas itu. Terlebih saat dia baru bercerai dari mantan suaminya, dia sangat ingat ada orang yang mengadukan padanya, bahwa salah satu tetangganya yang seusia dengan Ellea berkata dengan lantang, “MEMANGNYA ENAK JADI JANDA? DIA KIRA ENAK KALI YA? APA-APA SENDIRI? NAFKAHIN ANAK SENDIRI?” Meskipun Ellea tak mendengar secara langsung, namun dia tahu ucapan itu pasti benar berasal darinya, sayangnya dia tak ada di tempat itu. Karma memanglah instan, beberapa minggu setelah dia menghujat Ellea seperti itu, dia mendapatkan suatu musibah hingga mengiba pada Ellea untuk meminjam uang darinya, ingin Ellea berkata kasar, namun dia menahannya. Dia hanya memberikan uang seadanya, setidaknya dia tak perlu susah payah menagihnya. Mengapa pasangan suami istri yang hidupnya tampak sempurna? Justru membutuhkan bantuan ibu tunggal yang dihujatnya? Sesampai di dalam rumah, Ellea membanting belanjaan sayurnya ke wastafel. Dia mengepalkan tangannya seraya menopang tubuh. Geram sekali rasanya. “Aarggghhtt, kalau lagi enggak mood ingetnya yang buruk-buruk aja!” sungut Ellea. Ghania sepertinya sudah sibuk bermain ponsel terdengar suara game favoritnya. Ellea pun menuju ruang tamu, di nyalakan speaker aktif, disambungkan dengan ponselnya. Dia menyetel lagu keras. Sambil menyeringai dia merapikan rambutnya. Menguncir tinggi rambut itu. “Let’s Party!” ujar Ellea sambil bergoyang mendengarkan musik dance itu. Sebaiknya dia memperbaiki moodnya. Beruntung tetangganya tidak memiliki bayi sehingga dia bisa santai menyetel musik keras! Melampiaskan kegeramannya. *** Kenzi berbicara berdua dengan Disa, kakak perempuan satu-satunya yang dia miliki. Semenjak Disa menikah dengan suaminya lebih dari dua puluh tahun lalu memang dia tak terlalu dekat dengan wanita itu. Kenzi tidak terlalu suka suami Disa yang malas bekerja. Selama ini kakaknya seolah menjadi tulang punggung, menjaga toko kelontong yang dimodali oleh Kenzi dan orang tuanya, sementara suaminya hanya hobi ngobrol dengan para tetangga dan juga bermain burung. “Jadi bagaimana pembagian rumah ibu?” tanya Disa yang memang datang seorang diri ke rumah Kenzi. “Saya belikan kontrakan untuk mbak Disa,” ujar Kenzi. “Kontrakan? Mbak butuh cash Ken, kamu tahu mbak punya banyak hutang,” ujar Disa. “Kalau seperti itu nanti mbak enggak punya apa-apa, Mbak,” tutur Kenzi. “T-tapi,” ujar Disa, “kamu tahu kan? Selama ini mbak sudah melindungi kamu, dan ... .” “Oke stop mbak. Seperti ini saja, hutang mbak saya lunasi, sisanya saya investasikan ke kontrakan. Please mbak jangan terlalu jujur sama suami mbak itu, sekalipun mbak cinta mati sama dia, mbak pakai logika dong Mbak,” ujar Kenzi. “Mbak sudah tua, mbak cuma punya dia.” “Mbak, ada saya sama Tiara. Ingat itu.” “Tentang Tiara, nanti dia tinggal di mana?” Kenzi menatap kakaknya, selama ini Tiara tinggal dengan ibunya, terkecuali saat kost di luar kota. Setiap liburan Tiara akan tinggal dengan ibu Kenzi. “Biar dia ikut saya,” ucap Kenzi. “Istri kamu mau mengerti?” “Pasti. Dia pasti mengerti.” “Terus kamu?” “Sudah mbak, jangan bahas hal itu. Yang penting sekarang, mbak jangan terlalu buta mencintai suami mbak, mbak bilang saja kalau jatah saya memang lebih banyak sesuai hukum waris islam, oke?” Disa hanya mengangguk pasrah. Kenzi bersandar di sofa usangnya. Mungkin sofa ini nanti akan dibuangnya jika dia akan pindah ke rumah baru, dengan kehidupan yang baru. Bahkan barang-barangnya sepertinya tak layak ada di tempat ini. Kenzi menoleh ke foto pernikahannya yang masih terbingkai rapih, dengan mendiang istrinya. Dia memang menikah di usia yang sangat matang. Namun pernikahannya hanya berjalan sebentar saja, istrinya sudah lebih dahulu dijemput yang Maha Kuasa. “Buka lembaran baru hidup kamu Ken,” ucap Disa. “Bagaimana jika ... sudah lah. Mbak pulang sana, saya mau istirahat,” ujar Kenzi mengusir kakaknya secara tidak halus. Kakaknya hanya mendengus dan beranjak pergi, meninggalkan adiknya seorang diri. Dia keluar dari rumah itu, mengambil sepeda motor maticnya. Lalu memandang rumah itu sekali lagi. Rumah yang dibeli Kenzi dengan susah payah, dia membeli rumah ini sendiri, mencicil dari sejak awal kerja, ketika sudah lunas. Dia pun menikah, namun sayang pernikahannya hanya berjalan sebentar. Kini dia menjual rumah ini untuk menempati rumah lain, dengan kehidupan lain. Seuntai doa dari Disa terpanjat untuk adiknya, agar adiknya bahagia, tak pernah mengalami kesakitan lagi. Atau adiknya akan benar-benar gila! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN