Valerie duduk di hadapan Cedric, yang tengah sibuk dengan berkas laporan yang Valerie bawa kepadanya tadi. Ia menopang dagu dengan kepalan tangan kanannya, sambil menatap wajah Cedric yang terlihat serius.
Bayangan hal-hal, yang mereka lakukan akhir-akhir ini, tiba-tiba saja melintas di dalam kepala Valerie. Bagaimana Cedric yang mengecup lembut bibirnya dan bagaimana Cedric, yang begitu lembut dalam menyentuh tubuhnya.
Valerie mengerjapkan mata dan menggelengkan kepalanya. Pikiran yang begitu liar dan gila, disela bekerja. Bisa-bisanya ia lakukan.
"Pak?" panggil Valerie kemudian sambil menurunkan topangan dagunya, dengan segenap keberanian yang ia punya, serta rasa penasaran yang begitu besar.
"Hm? Kenapa??" tanya Cedric, dengan mata yang masih berkutat pada berkas laporan di tangannya.
"Em, Apa Bapak punya...,"
"Punya apa??" tanya Cedric yang masih tidak menatap Valerie sama sekali.
Valerie melipat bibirnya. Bodoh. Kenapa ia ingin sekali bertanya, atasannya ini memiliki kekasih atau tidak. Untuk apa ia harus tahu?
"Punya apa? Cepat katakan!??" desak Cedric.
"Em, Apa Bapak punya pacar?" tanya Valerie yang tidak bisa untuk menahan rasa penasarannya barang sedikit saja. Lagipula sudah terlanjur bicara juga tadi.
"Tidak ada," jawab Cedric santai dan tiba-tiba saja malah membuat rasa lega di d**a Valerie.
"Kalau Istri???" tanya Valerie lebih lanjut lagi dalam menguliti. Tapi yang ditanya kini malah mengabaikan berkas yang tengah ia baca dan menatap dirinya.
"Kenapa memangnya??" tanya Cedric dengan raut wajah tidak suka.
Valerie memutar bola matanya ke bawah. Pertanyaan bodoh. Kenapa ia harus menanyakan hal semacam ini. Apa yang ia harapkan, dari hubungan yang cuma sebatas timbal balik dari bantuan, yang bosnya berikan?
Valerie menggeleng pelan. "Tidak, Pak. C-cuma penasaran. Kita... Maksud saya... Saya takut, bila nantinya melukai perasaan wanita yang memiliki hubungan dengan Bapak. Kalau saya terlalu dekat dengan Bapak. Bagaimanapun juga, apa yang terjadi sepertinya sudah melewati batas. Saya pernah mengalami hal yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan. Ya mungkin juga bapak sudah tahu kan? Kalau lelaki yang pernah ada dalam hidup saya, sudah menghancurkan kepercayaan saya dengan berhubungan sangat dekat dengan wanita lain. Jadi saya pikir...,"
"Tidak ada," jawab Cedric yang kembali melihat berkas di tangannya lagi.
Valerie mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. "Ya?"
Cedric menghela napas dan kembali menatap Valerie lagi. "Kekasih, istri. Tidak ada. Saya tidak memilikinya," ucap Cedric dengan cukup jelas dan padat. Tapi malah membuat Valerie tersenyum lebar.
Cedric mengernyit dan Valerie segera menghilangkan senyumannya, saat sadar dengan ekspresi wajah atasannya yang seolah bingung dengan reaksi berlebihannya ini.
Valerie menepuk-nepuk wajahnya sendiri dan sekilas, Cedric seperti mengguratkan sebuah senyuman, sebelum kembali memasang raut yang serius di wajahnya lagi.
"Oh iya, hari ini sampai seminggu ke depan, kamu lembur ya?"
"Lembur, Pak??" ulang Valerie dengan tatapan tak percaya.
"Iya. Kenapa? Tidak bisa? Atau tidak mau??"
"Bukan, Pak. Tapi, menurut kebijakan perusahaan, bukannya anak baru belum boleh ikut lembur? Ya minimal masa kerja satu bulan baru boleh."
"Oh ya? Bukankah, kamu pernah lebih dari satu bulan bekerja di sini??"
"Oh itu... Pernah sih, Pak."
"Ya sudah. Apa ada masalah? Ayo cepat kita selesaikan. Jangan lupa catat, ada rapat besok jam sembilan pagi."
"Oh iya, Pak. Baik," ucap Valerie yang terburu-buru menyalakan notebook dan mencatat jadwal tambahan bosnya ini.
Setelah hari-hari yang cukup menyita waktu, maupun menguras energi. Valerie terkapar di atas meja kerjanya. Ia merebahkan kepalanya, dengan kedua tangan yang menopang kepalanya itu. Helaan napas yang panjang pun turut mengiringinya juga. Sungguh melelahkan pekerjaan ini. Dibanding menjadi manager pemasaran. Kenapa ia merasa lebih lelah, saat menjadi asisten pribadi bosnya?? Tapi bagaimana tidak, ia bekerja seharian lebih. Wara wiri ke sana kemari mengikuti setiap kegiatan bosnya. Syukur-syukur tubuhnya masih kuat dan kakinya masih bisa diajak berjalan.
"Valerie, ini dokumen yang Pak Cedric minta ya, tolong berikan," ucap salah seorang pegawai di depan meja Valerie.
Valerie mengembuskan napas dari mulut dan melirik ke arah suara, lalu mengangkat kepalanya.
"Kasih sendiri dulu aja gimana?? Kakiku pegal sekali ini. Mau istirahat dulu sebentar.
"Ya elah, Val. Aku buru-buru nih, udah ditunggu suami di depan. Dia suka marah-marah, kalau aku lama. Aku duluan ya??" ucapnya sambil berlalu pergi.
Valerie berdecak kesal dan mau tak mau, ia pergi juga ke ruangan atasannya. Sudah mengetuk pintu hingga beberapa kali, tapi tidak ada suara jawaban sama sekali. Mungkin, bosnya sedang berada di dalam toilet.
Sudah pegal sekali kakinya ini. Valerie dorong saja pintu ruangan dan masuk sambil memanggil-manggil atasannya itu.
"Pak??" panggil Valerie yang kini berjalan mendekati meja kerja yang kosong. Pandangannya sedikit terganggu, dengan sesuatu yang ada di sofa. Ternyata, bosnya sedang terlelap di sana. Pasti ia lelah juga, karena pekerjaan yang begitu banyak akhir-akhir ini.
Valerie meletakkan berkas di atas meja dan kemudian datang ke sisi Cedric. Ia berjongkok di bawah sambil memandangi wajahnya dari jarak yang dekat.
Tampan. Pastinya ia adalah laki-laki idaman setiap wanita. Hanya saja, yang seperti ini biasanya sulit untuk didekati. Apalagi didapatkan. Tapi, ia seharusnya sedikit berbangga diri. Tubuhnya pernah dijelajahi dengan cukup ganas juga olehnya. Meskipun, mungkin hanya sebatas itu saja. Tidak lebih dan tidak akan pernah mungkin bisa lebih dari itu.
"Kamu sedang apa??" tanya orang yang tiba-tiba saja membuka kelopak matanya.
Valerie terperanjat dan terjungkal ke belakang. Cedric bangkit, lalu membantu Valerie untuk bangun.
"Ck! Ada-ada saja," ucap Cedric sambil mengangkat tubuh Valerie.
"Bapak buat saya kaget."
Cedric menyunggingkan senyumnya. "Kamu yang aneh-aneh saja. Malah memperhatikan orang yang sedang istirahat."
"Tadi saya kira Bapak tidur."
"Lantas, kamu dengan seenaknya menonton??"
"Ya bukan begitu juga. Oh iya, Pak. Itu laporan hari ini. Ada di meja."
"Iya. Biarkan saja."
"Tidak mau langsung dicek?"
"Nanti saja. Saya ingin pulang sekarang. Lelah. Besok lagi saja. Kamu juga pulanglah."
"Boleh??
"Iya. Kenapa tidak?? Memangnya, kamu mau sendirian di sini??"
"Ya tidak, Pak."
"Ya sudah. Ayo pulang," ajak Cedric sambil mengambil jas navy miliknya di belakang kursi.
Saat di dalam lift.
"Pulang dengan siapa??" tanya Cedric.
"Biasa, Pak. Taxi online."
"Ya sudah. Ayo, saya antar pulang," ucap Cedric sambil keluar dari pintu lift yang sudah terbuka.
Valerie mengikuti dan akhirnya benar-benar diantarkan pulang oleh atasannya ini. Mumpung sudah sepi. Jadi tidak ada yang memperhatikan.
Mobil hitam glossy yang Cedric kendarai tiba di sebuah rumah minimalis, di dalam sebuah komplek perumahan.
"Yang ini rumahnya??" tanya Cedric.
"Iya, Pak. Mau mampir dulu?"
"Boleh," ucap Cedric yang langsung membuka sabuk pengamannya juga. Valerie sempat tidak menyangka, bila ajakan basa basinya itu, malah diiyakan begitu saja.
Sudah berada di dalam rumah. Cedric menoleh ke segala penjuru, memperhatikan detail barang. Maupun mencari tanda-tanda kehidupan di rumah ini.
"Tinggal sendirian??" tanya Cedric.
"Iya, Pak."
"Orang tua??"
"Mama meninggal saat usia saya sepuluh tahun dan Papa sudah menikah lagi, tapi tidak tinggal di sini. Dia tinggal bersama istri dan juga anak-anak dari istri yang sekarang."
"Oh begitu."
"Ayo silahkan duduk dulu. Saya mau ganti baju sekalian siapkan minum."
Cedric duduk pada sofa, sambil menunggu Valerie datang kembali. Tidak sampai lima belas menit, Valerie kembali dengan secangkir kopi untuk Cedric, yang ia letakkan di atas meja.
"Silahkan diminum kopinya, Pak."
"Iya terima kasih."
Craang!!
Valerie dan Cedric menoleh bersamaan ke kaca rumah yang pecah. Dengan berlarian, Valerie mencoba membuka pintu rumah dan mencari siapa orang yang melemparkan sebuah batu besar, yang sudah ada di dalam rumahnya.
Tidak ada siapapun di luar. Hanya tadi, Valerie seperti melihat sekelebat bayangan seseorang.
"Siapa??" tanya Cedric.
"Tidak tahu. Paling orang iseng."
"Orang iseng mana, yang sampai merusak rumah??"
"Entahlah," ucap Valerie yang kembali masuk dan hendak membersihkan pecahan kaca.
Valerie menyapu semua pecahan kaca itu dan membuangnya ke belakang. Setelah itu, ia kembali lagi ke sofa untuk menemani Cedric.
"Saya akan menginap malam ini," ucap Cedric sambil menyeruput kopi buatan Valerie.
"Hah?? Menginap?"
"Iya. Katakan, dimana kamarnya??"
"Itu... Kamarnya ada di lantai atas. Tapi... cuma ada satu. Maksudnya, cuma ada satu ranjang. Kamar yang satunya penuh barang-barang."
"Tidak apa-apa. Kita bisa berbagi tempat tidur."
"Ha??" ucap Valerie menganga.
"Kenapa? Sudah biasa kan? Kamu juga pernah menginap di tempatku bukan??"
Malam harinya.
Valerie berkali-kali melirik kepada lelaki, yang berada satu selimut dengannya. Sampai laki-laki itu sadar dan balik menatap Valerie.
"Ada apa?? Kenapa kamu suka sekali menatapku diam-diam??"
Valerie menggeleng. "Tidak apa-apa, Pak."
"Jangan bilang, kalau kamu menyukaiku."
Valerie tersenyum masam. "Saya cukup sadar diri kok. Tidak cantik. Tidak menarik. Bahkan, kita seperti langit dan bumi. Jauh sekali. Ya sudah ya, Pak. Saya tidur duluan."
Valerie merebahkan tubuhnya, dengan posisi membelakangi Cedric. Ia tidak benar-benar memejamkan mata dan hanya berdiam diri, sambil meratapi lagi, nasib sial di hidupnya kini.
Kira-kira, siapa yang menginginkan wanita sepertinya? Agaknya mustahil ada.
"Pak, laki-laki itu suka wanita yang seperti apa??" tanya Valerie tiba-tiba.
"Kenapa memangnya?"
"Tidak apa-apa. Cuma, sepertinya susah mencari laki-laki, yang cuma cukup dengan satu wanita di hidupnya."
"Ada."
Valerie memutar kepalanya dan menatap Cedric. "Siapa??"
"Kakakku."
"Kakak??" ucap Valerie sembari kembali duduk dan menatap Cedric.
"Iya. Dia sudah lima tahun ditinggal mati istrinya. Tapi tidak pernah menikah lagi. Tidak pernah mencari wanita lain dan hanya ada mendiang istrinya itu di hatinya."
"Beruntung juga ya?" ucap Valerie.
"Siapa??"
"Wanita itu, dia memiliki lelaki yang sangat setia. Jarang sekali ada. Aku juga ingin yang seperti itu. Tapi sayangnya, malah dapat yang brengsekk," ucap Valerie sambil melipat bibirnya dan menahan air di pelupuk mata. "Padahal kan, semuanya sudah aku berikan. Lepas jabatan. Tinggalkan pekerjaan. Tapi malah dimanfaatkan," keluh Valerie, yang kali ini benar-benar tidak bisa menahan air itu jatuh dari matanya, yang ia usap cepat-cepat dengan kedua punggung tangannya.
Cengeng sekali. Tapi ia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Orang yang terlihat kuat, tapi memiliki sisi yang rapuh di dalamnya. Selama ini, tidak punya tempat untuk mengadu. Dulu, masih ada sang nenek. Tapi setelah meninggal kurang lebih satu tahun yang lalu, ia jadi merasa sebatang kara sekarang. Meskipun memiliki ibu tiri. Tetap saja rasanya berbeda. Dan lagi, mereka tidaklah sedekat itu.
"Maaf, Pak. Saya malah jadi begini," ucap Valerie sambil mencebik dan terus mengusap butiran air yang berjatuhan dengan kedua punggung tangannya.
Hangat. Tiba-tiba saja, Valerie merasakan kehangatan dari sebuah dekapan di tubuhnya, disertai dengan usapan yang begitu lembut di punggungnya.
"Untuk apa minta maaf? Sudah. Jangan menangisi laki-laki, yang bahkan tidak pantas untuk kamu ditangisi."