"Jangan berpikiran yang bukan-bukan! Aku tidak melakukan hal apapun kepadamu! Kamu pikir, aku bernafsu kepada wanita yang sudah muntah di bajuku! Bahkan, aku sampai membuangnya tadi!"
Valerie berusaha keras mengingat apa yang terjadi semalam, sampai ketika ia mendekati pria di depannya itu dan seperti yang dikatakan olehnya, bila ia muntah di pakaiannya.
"Astaga! Maaf. Aku akan ganti rugi. Berapa harga pakaian mu itu??"
Cedric nampak tersenyum sekilas, kemudian menyebutkan nominal angka, yang cukup membuat kedua kelopak mata Valerie terbuka lebar-lebar.
"Tiga ribu tiga ratus lima puluh enam dollar."
"Hah?? Yang benar saja??"
"Hey, pakaian yang aku kenakan itu merek ternama. Bukan yang biasa-biasa saja!" cetus Cedric.
"Em, kita masih bisa bernegosiasi kan?? Sekarang, aku tidak akan mengatakan kepada siapapun, kalau kamu malah membawaku ke tempatmu begini. Karena, aku bisa saja kan, mengatakan kalau kamu melecehkan ku saat mabuk??"
"Astaga. Kamu masih sempat-sempatnya berpikiran licik begitu."
"Aku bukannya berpikiran licik! Tapi memang benarkan?? Coba sekarang, kenapa kamu malah membawaku ke tempat kamu begini?? Pasti, orang juga akan berpikiran buruk tentang kamu!"
"Semalam, kamu bahkan sampai mengejar ku dan saat aku menanyakan dimana rumahmu. Kamu malah merengek dan mengatakan, tidak ingin pulang ke rumah. Karena suamimu sedang bersama selingkuhannya. Apa kamu lupa hm!?"
Valerie tertegun sejenak. Ia mengingat kembali, rentetan kejadian semalam, yang tadinya ia kira, bila ia hanya sedang bermimpi saja.
"Astaga!" seru Valerie sambil menepuk dahinya.
"Ya sudahlah! Nanti pokoknya aku ganti! Aku harus pergi dulu. Mau urus perceraian di pengadilan!" seru Valerie, sambil turun dari atas tempat tidur dan hendak pergi ke arah pintu. Namun, tangannya malah lebih dulu dicekal oleh Cedric.
"Aku butuh jaminan!" seru Cedric.
Valerie berdecak kesal dan membuka tautan kalung di lehernya. Kemudian, ia juga menarik tisu dari atas nakas dan mengeluarkan lipstik merah, dari dalam tas kecilnya.
Dengan bertumpu pada atas nakas, Valerie terlihat mengguratkan lipstik di atas selembar tisu, yang kemudian ia letakkan di telapak tangan Cedric, beserta dengan kalungnya juga.
"Ini kalung peninggalan nenekku. Sangat berharga dan juga, ini nomor telepon ku. Saat aku sudah memiliki uangnya nanti, aku akan segera mengambilnya kembali!!"
Kata-kata terakhir yang Valerie ucapkan, sambil pergi ke arah pintu, lalu keluar dari dalam ruangan.
Beberapa bulan setelahnya.
Valerie merentangkan kedua tangannya ke atas. Lega juga. Akhirnya, ia resmi berpisah dengan si bajingann Felix. Hanya tinggal melamar kembali ke perusahaan, tempat ia bekerja sebelumnya. Mereka pasti menerima dengan senang hati, bekas karyawannya, yang cukup kompeten ini.
Benar saja. Tidak perlu waktu yang lama, tidak memakan proses yang berkepanjangan, Valerie akhirnya diterima kembali, di tempatnya bekerja dulu. Sebenarnya, muak juga, bila harus berhadapan dengan lelaki brengsekk itu. Akan tetapi, bila dibiarkan saja, bukankah akan sangat menjengkelkan. Minimal, Felix harus menerima konsekuensinya dan kembali ke tempatnya semula. Bagaimanapun caranya, ia akan berusaha keras untuk bisa melengserkan Felix dari jabatannya yang sekarang. Seperti apa yang dia lakukan dulu, dengan cara yang mulus, sampai ia bisa digoyahkan juga. Sekarang, tinggal ia yang harus melakukan hal yang sama.
Valerie datang dengan berdandan secantik mungkin. Ia harus terlihat sangat cantik bukan, untuk membuat Felix menyesal berkali-kali lipat, karena sudah menyia-nyiakan wanita sepertinya.
Sepatu high heels hitamnya, menuntun Valerie ke sebuah ruangan. Katanya, sebelum bekerja, ia harus menemui CEO dari perusahaan ini. Entah untuk apalagi. Tapi, Valerie rasa, ini adalah kesempatan yang bagus, dengan begitu, ia bisa mencoba untuk mengambil hati atasannya lagi dan siapa tahu kan, ia akan kembali dipromosikan untuk jabatan yang sama.
Suara ketukan sepatu terhenti di depan sebuah ruangan. Valerie mengangkat tangan kanannya dan mengayunkan kepalan tangan kanannya pada daun pintu.
"Siapa??" tanya suara dari dalam ruangan dan membuat Valerie mengernyit heran. Bukannya, atasannya sudah tua, kenapa suaranya terdengar seperti orang yang masih cukup muda? Penasaran. Serta ingin segera menyelesaikan tahap terakhir, untuk segera bekerja lagi, ia pun menjawab pertanyaan orang, dari dalam ruangan.
"Valerie, Pak. Saya Valerie."
"Ya, masuklah!!" perintah suara dari dalam ruangan.
Pegangan pintu disentuh dan diturunkan. Valerie mendorong pintu, lalu kemudian masuk, untuk menghadap orang yang sedang tertunduk, sambil membaca berkas lamaran miliknya.
"Selamat pagi, Pak. Saya Valerie."
"Oh itu nama kamu," ucap orang yang berada di hadapan Valerie sekarang, sambil mengangkat kepalanya.
Valerie mengernyitkan dahinya lebih dulu, mengingat-ingat, siapa orang yang sepertinya tidak asing ini.
"Silakan duduk, Nona Valerie. Lama tidak bertemu," ucap orang itu yang membuat Valerie seketika menelan salivanya sendiri.
Valerie menarik kursi dan duduk di sana. Ia melihat sebuah papan nama, yang bukan lagi atas nama atasannya yang dulu. Malahan nama lainlah yang tertera dan juga, orang asing yang terlihat familiar inilah yang berada di hadapannya sekarang.
"Kamu masih berhutang kepadaku. Jangan lupa itu," ucap orang di depannya dengan suara yang pelan dan orang itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Cedric. Pria yang ia temui beberapa waktu ke belakang di Bar. Ia bahkan masih memiliki hutang kepadanya.
"K-kenapa bisa?? Bukannya Pak Alex yang harusnya ada di sini??" tanya Valerie, yang sepertinya sudah mulai ingat, dengan sosok yang ada di depannya sekarang.
"Oh itu, beliau sudah terlalu tua. Sudah waktunya berhenti. Lagipula, perusahaan ini adalah milik orang tua saya. Jadi ya... Saya berkewajiban untuk meneruskannya," ungkap sosok itu.
Tangan Valerie mengepal di bawah meja. Sial sekali nasibnya. Kalau begini caranya, bagaimana ia bisa mendapatkan jabatannya kembali.
"Oh begitu."
"Ok. Kita lihat data diri kamu. Nama Valerie Christy Nugraha. Usia, dua puluh sembilan tahun. Pernah bekerja di sini sebagai manager pemasaran. Cukup menarik. Kalau begitu, kamu saya tempatkan sebagai asisten pribadi saya saja."
Valerie menelan salivanya sendiri dan berkata dengan cukup berani. "Apa tidak bisa bekerja di bagian yang lain? Hasil kerja saya cukup bagus. Mungkin, saya bisa kembali menjadi manager pemasaran."
Permintaan yang membuat Cedric ingin sekali tertawa. Mentang-mentang sudah pernah saling kenal, dia jadi seenaknya meminta jabatan begini.
"Jabatan itu sudah ada yang menempati. Kenapa kamu malah menginginkannya?? Lagipula, tidak buruk juga kan menjadi seorang asisten pribadi? Bahkan, banyak yang menginginkannya."
"Tapi saya inginnya jadi manager, Pak. Saya, sudah sangat paham, dengan pekerjaan di lapangan. Saya hampir tahu sepenuhnya, seluk beluk bagian itu dan saya juga, membuat grafik pembelian naik drastis waktu itu."
Cedric menghela napas dan menatap Valerie dengan cukup serius. "Jadi apa yang saya katakan, atau tidak sama sekali," ucapnya dengan kelopak mata yang tidak berkedip.
Valerie menghela napas dan berkata, "Baiklah."
"Ok bagus! Mulailah bekerja hari ini. Kamu juga, harus mengumpulkan uang untuk membayar hutangmu bukan??"
"Iya, Pak. Baiklah."
"Ini tugas pertamamu!" ucap Cedric sambil memberikan jadwal yang baru tersusun sedikit.
"Rangkum semuanya dan laporan kan, setiap kegiatan yang harus saya lakukan. Sudah sana, bekerjalah dengan rajin, bila ingin bertahan lama di sini."
"Iya, Pak. Baik."
Valerie bangkit dari kursi dan keluar dari dalam ruangan, serta mulai mengerjakan, apa yang sang atasan perintahkan.
"Ini, berkas-berkas proyek kita," ucap Leticia, sambil memberikan tumpukan laporan kepada Valerie.
"Kamu, kamu bekerja lagi di sini??" tanya Leticia dengan mata yang membeliak.
Valerie tersenyum dan berkata,
"Iya. Tapi tenang saja, aku bukan ingin mengganggu hubunganmu. Seperti kamu yang mengganggu hubunganku. Aku di sini untuk bekerja. Jadi, mohon kerja samanya, Nona Leticia."
Leticia berbalik dan terlihat pergi ke ruangan yang merupakan tempat Felix berada. Kemudian Valerie pun tersenyum masam sambil menggelengkan kepalanya.
Setelah beberapa hari yang membosankan ia lakukan. Valerie datang ke dalam ruangan Cedric, untuk memberitahukan, jadwal mereka hari ini. Wajahnya nampak ditekuk dan kusut. Pekerjaan yang begitu melelahkan dan juga, begitu tidak menantang baginya. Bahkan, ia lihat penjualan yang merosot juga. Karena ketidakbecusan Felix. Coba saja ia yang menempati posisi itu. Pasti penjualan, sudah akan meningkat drastis seperti dulu.
"Pak, kita ada rapat satu jam lagi," ucap Valerie.
"Iya. Kamu siapkan semua bahan rapat nanti ya?" ucap Cedric yang matanya terfokus pada layar Macbook-nya saja.
Tidak ada jawaban apapun, Cedric hanya merasakan seseorang mendekati kursinya. Lalu bersandar pada mejanya dan kini, berhadapan dengannya dalam jarak yang dekat.
Tangan Valerie terulur ke arah Cedric. Ia mengusap pipinya dan menurunkan tangannya perlahan-lahan. Cedric menelan salivanya sendiri. Sebelum tangannya juga ikut bereaksi.
"Apa yang sedang kamu lakukan?? Berusaha untuk menggodaku??" tanya Cedric dengan tatapan mata yang menusuk dan cekalan tangan, yang ia lakukan pada lengan Valerie di kancing kemejanya.
"Tidak. Tapi, kalau Bapak berpikir demikian, anggap saja iya."
"Kamu terlalu berani, Valerie. Apa yang kamu inginkan sebenarnya?"
Valerie menyunggingkan senyumnya. "Saya hanya butuh sedikit bantuan dan saya akan berikan apapun. Termasuk, tubuh saya mungkin, bila bapak mau!"
"Astaga. Kamu begitu percaya diri. Tapi baiklah! Kita bisa mencobanya!"
Pernyataan yang Cedric lontarkan dan malah membuat Valerie kaget sendiri.