6

1380 Kata
Dengan tubuh panas dingin yang terasa lemas bagai tak bertulang, kuseret kaki menuju warung di pinggir jalan. Memesan es cendol, kemudian duduk di kursi kayu, menatap nanar ke arah sekolah. Mataku perlahan memanas saat terngiang ucapan kepala sekolah tadi. Bagaimana ini? Aku harus berbuat apa? Ya Tuhan .... Aku menghela napas, mencoba bersikap tenang. Meskipun sudah berkali-kali kujelaskan kejadian yang sesungguhnya secara rinci, tapi kepala sekolah tetap kekeuh pada pendiriannya. Katanya, aku telah keterlaluan karena bersikap kasar pada anak didik. Jadi, beliau memutuskan memecatku tanpa pesangon. Kuaduk cendol yang baru diantar sambil mengusap air mata yang merangsek turun. Ini sama sekali tidak adil bagiku. Si bocah ingusan itu yang bersalah, kenapa aku yang tertimpa s**l? Kugigit bibir bawah cukup kuat. Tanganku terkepal menahan amarah yang membuncah manakala teringat wajah tegas kepala sekolah tadi. Apa mentang-mentang Amirul murid sementara aku seorang pendidik, maka hanya aku yang patut disalahkan? Air mata yang sejak di sekolah kutahan agar tidak tumpah, kembali luruh. Terasa hangat bergulir pelan membasahi pipi. Sungguh, aku tidak siap. Mau makan apa orangtuaku jika anak satu-satunya mulai hari ini tak punya pekerjaan? Mereka, jelas tak mungkin diberi makan biji-biji kelapa sawit yang getir. Pun, tak mungkin memamah biji-biji karet kering yang keras dan tajam. Aku bergidik saat tiba-tiba membayangkan ekspresi Mamak jika kusajikan dua jenis biji berwarna merah jingga dan cokelat kehitam-hitaman yang menjadi sebagian besar mata pencaharian di desa ini, Mesuji F, Wonosari, Lampung. Wanita itu, pasti akan melotot galak dan bilang, “Memang mamak kambing, Nduk, disuruh makan kayak gini?!” Dan Bapak yang selalu pendiam, mungkin hanya akan diam, memandang dengan sorot mata bertanya. “Bagaimana Bapak bisa memakannya, seandainya memang bisa dimakan, lihat sendiri gigi Bapak.” Kupukul-pukul kepala yang terasa pening dengan tangan terkepal. Sakit. Perasaanku pasti tak akan sekalut ini seandainya dipecat pada musim hujan. Karena di musim itu, pekerjaan selalu datang silih berganti. Aku bisa ikut buruh uwur padi. Atau mencari jamur-jamur gemuk berwarna cokelat kehitaman yang tumbuh subur di batang-batang kelapa sawit busuk untuk dijual. Tapi sekarang ini, saat bumi Mesuji dilanda paceklik panjang serta tak bersahabat pada banyak orang, kami hanya punya setengah hektar kebun karet yang harga per kilonya sangat murah ... dan aku dipecat tanpa pesangon .... Aku menggeleng kuat, mencoba menepis bayangan yang bukan-bukan. Tergesa kukeluarkan HP saat mendengar bunyi bel tanda istirahat. Aku tak mau tertangkap basah oleh salah satu muridku sedang menangis di sini. Al, aku sudah pulang. Send. Tak sampai 15 menit, Aldri terlihat dari kejauhan menunggangi sepeda motor besar. Aku segera membayar lalu bergegas menghampirinya yang tersenyum kecil. "Pakai," ucap Aldri sambil mengulurkan kaca mata hitam besar. Aku segera menerimanya, lantas memakainya untuk menyembunyikan mata agar tak terlihat habis menangis. Selain itu, juga untuk melindungi mata dari debu yang langsung menukik ke udara saat motor mulai melaju cepat membelah jalanan. Banyaknya debu, membuat pandangan jadi tak jelas. Aku menutup hidung dengan ujung jilbab. Andai saja manusia menyebalkan ini menjemput dengan mobilnya. “Sengaja pakai motor, biar lebih cepat.” Aldri yang seolah mengerti jalan pikiranku, menoleh. Aku menahan diri agar tak tersenyum saat melihat kaca mata besar berbentuk katak yang ia kenakan. Sungguh besar, nyaris menutupi sebagian pipinya. “Rumahnya di mana?” Aldri menatapku dari spion. “Bukannya kamu tinggal di sini? Kamu kan yang nulis alamatnya?" “Iya, tapi aku gak suka keluyuran, juga gak suka jalan ke mana-mana seperti yang kamu pikirkan. Jadi aku gak tahu alamatnya." Ya ampun, ternyata lelaki ini suka berburuk sangka. Padahal, aku tak berpikir seperti itu. Dan ... bukannya lelaki ini pernah bilang bahwa terkadang ia mengunjungi pasiennya? Masa orang sini tak tahu daerah sini. Aneh. Aku membuang napas. Membisu. Untunglah, Mamak tak menjodohkanku dengannya. Sudah menyebalkan, suka berburuk sangka, pula. Beberapa menit berlalu, hanya derum motor yang mengiringi perjalanan kami. “Rumahnya di mana?” Aldri kembali bertanya. “Lurus aja, itu ada jembatan, lalu belok ke kiri.” Tanganku yang bebas mengacung lurus ke jalan, tak sengaja menyenggol bahu Aldri. Aldri menoleh, aku langsung bersikap cuek. Setelah melalui jalanan yang sedikit rusak, kami akhirnya tiba di depan rumah sederhana—yang kemarin juga kutanyai. Kami langsung masuk. Aldri langsung duduk di ruang tamu mengobrol dengan Bapak, sementara aku menemui Mamak di kamar, menjelaskan semua alasan kenapa sampai pura-pura hamil. “Sesal opo artine—apa artinya? Yang penting, jangan diulangi lagi,” ucap Mamak, tangan keriputnya bergerak mengusap kepalaku. Aku tersenyum senang karena ternyata ia tak marah. Masalah pekerjaan yang sejak tadi menggelayuti benak, akan kupikirkan nanti. “Maaf,Mak," ucapku penuh sesal. Mamak kembali mengangguk. Kutarik napas panjang. d**a rasanya plong. Amat lega. “Menikahlah dengan Aldri, Nduk." DEG! Kupandang perempuan di hadapanku dengan jantung mengentak kuat. Mamak menatapku penuh harap. “Nduk.” Aku sungguh berharap barusan hanya salah dengar. Mamak tak mungkin mengingkari janjinya—kalau tidak suka dengan Aldri, maka perjodohan tak akan dilanjutkan. Begitu yang selalu digaungkannya saat membujukku agar mau bertemu Aldri. Sambil memijit-mijit bagian belakang kepalanya, Mamak memandangku dengan tatapan mengibai. Mamak tampak kurang sehat. Wajahnya pucat dan cuping hidungnya merah juga berair. Sepertinya, hendak terserang flu. Mamak menggenggam tanganku, menatapku penuh permohonan, kemudian berkata dengan suara nyaris berbisik, “Aldri sepertinya sangat mencintaimu, Nduk, menikahlah dengan dia. Sebelum ... perempuan tua ini ma-tiii.” Kutatap Mamak dengan pandangan tak percaya. Apa aku tak salah dengar? Mamak sampai bicara ngawur agar aku mau menikah. Apa ia amat tergila-gila pada Aldri? “Writing tresna jalaran saka kulina—cinta bermula karena terbiasa bersama, Nduk. Lama-lama, kamu pasti suka Aldri.” Kugigit bibir kuat. Sakit. Berarti, aku tak salah dengar. Kutatap Mamak cukup lama lalu menggeleng kecil. “Mamak kan tau ....” Suaraku parau. Aku masih tak habis pikir pada Mamak yang mengingkari janjinya. “Kalau aku ....” “Ojo ngunyahi banyu segara, Nduk. Jangan terus melakukan hal yang sia-sia. Yus hanya memberimu janji-janji palsu, Yus tak akan pernah menikahimu,” kata Mamak lirih dengan tangan terus memijit-mijit bagian belakang kepalanya. Tingkah Mamak yang kekanakan sungguh meremas hatiku. Airmataku menetes perlahan. “Kan, dulu Mamak yang bilang agar aku sabar menanti Mas Yus. Percaya, Mak, Mas Yus pasti ....” “Saat itu tiba, Mamak mungkin sudah mati.” “Mak ....” Air mataku kembali luruh. Aku mulai tersengal. Mamak terus memberiku pandangan memelas. Aku menarik napas. Kenapa aku harus mengalami situasi seperti ini? Belum menikah dengan Aldri saja, batinku sudah begini tertekan. Aldri memang tampan, tapi cinta ini bukan untuknya. Hanya ada Mas Yus seorang di dalam sini. Mas Yus segalanya. “Nduk." Kutelan ludah. Tenggorokanku terasa teecekat. Wajah Mamak begitu sedih. Pipi keriputnya telah dialiri air yang terus turun dari kedua mata cekungnya. Menatapnya yang begitu memprihatinkan, hati kecilku benar-benar tak tega. Tapi bila aku harus menikah dengan Aldri .... Sungguh, andai tak dosa, ingin rasanya kutelan getah karet sebanyak-banyaknya. Agar tenggorokan terkatup oleh getah karet yang lengket, paru-paru juga menjadi lengket, jantung, semuanya menjadi lengket sehingga tubuhku tak bisa lagi berfungsi dengan baik. Lalu ... aku mati. Beres segala persoalan duniawi. “Nduk.” Kutatap Mamak. “Apa Mamak begitu menyukai Aldri? Tapi ... aku gak menyukainya, Mak. Mamak kan pernah bilang kalau kami ti—” “Lupakan ucapan Mamak dulu, Nduk." Aku menunduk, tersengal-sengal. Bude masuk lalu menepuk-nepuk bahuku. “Mamak hanya ingin kamu segera nikah. Umurmu hampir 29 tahun dan Mamak akan segera matii, Nduuk." “Ma-maaaak!” Teriakku kesal. Aku begitu sedih karena Mamak mulai berkata menyebalkan, kesal karena ia terus memaksakan kehendak. Mamak mengusap airmatanya, lalu mendekapku erat. Aku seperti diterpa angin segar saat mengingat ucapan Mamak barusan—hanya ingin sang anak segera menikah. Mungkin, bila aku bisa membujuk Mas Yus agar segera menikahiku .... “Pitong dino—tujuh hari, Nduk, perkenalanmu dengan Aldri.” Lirih Mamak. Aku mengangguk hanya untuk menyenangkan hatinya. Sebelum tenggat waktu berakhir, aku akan membujuk Mas Yus agar mau datang menemui Mamak dan Bapak. Aku mempererat pelukan dan tersenyum sendiri. Aku pasti akan menikah dengan Mas Yus. Hanya dengan Mas Yus seorang. (Btw, ada yang nyadar gak kalau cerbung ini lanjutan cerbung Kumpul Kebo yang udah tamat? Masa lalu Al dulu, ada dalam cerbung Kumpul Kebo. Jangan lupa love dan komentari
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN