5

1312 Kata
"Turunkan aku di sini." "Kenapa?" tanya Aldri tanpa menoleh. "Mau nunggu teman!" Aku beralasan. Padahal, sebenarnya hanya tak ingin ada sebagian guru yang melihatku diantar olehnya. Bisa-bisa, mereka bergosip ria. Apalagi kalau sampai Nina melihatnya, ia pasti akan memasang ekspresi bahagia karena lelaki yang dicintainya kukhianati. Huh! Belum-belum, aku sudah merasa kesal padahal hanya membayangkannya. Aldri menghentikan motor. Aku langsung melompat turun. "Nanti kujempuut!" katanya setengah berteriak saat aku melangkah menjauh darinya. “Siapa dia?” Aku yang tengah berjalan sambil merapikan jilbab langsung menoleh ke sumber suara. Tari menatapku sambil tersenyum menggoda. “Apa dia orangnya?” Tari mengerling jail. Walau Tari senang menggoda, setidaknya, ia tak suka bergosip seperti kebanyakan guru di sekolah. Itulah kenapa aku menyukainya sebagai teman. Selain itu, ia juga pendengar yang baik. “Menurutku, dia tampan,” katanya. Aku hanya diam, sibuk membenarkan jilbab sambil terus melangkah di sampingnya. “Sama Mas Yus tampan mana?” Aku menoleh untuk melihat reaksinya. Tari langsung jatuh hati saat kukenalkan pada Mas Yus beberapa bulan lalu. Ia secara terang-terangan mengakuinya padaku yang langsung kutanggapi dengan pelototan. “Em, Mas Yus, sih, menurutku tidak ada duanya. Ya cakepan pangeranku kemana-mana, laaah,” sahutnya dengan logat yang dibuat-buat lenjeh. Aku sama sekali tak merasa kesal karena sudah hafal dengan tabiatnya. Selain itu, Tari sudah menekankan padaku bahwa ia takkan pernah menjadi parasit bagi sahabatnya sendiri. Baik aku, dan siapa pun yang dekat dengannya. Entah jika pada Nina. Ngomong-ngomong tentang Nina, aku berharap, ia datang terlambat atau libur sekalian. “Tapi, lelaki tadi tidak buruk juga, kok. Gaul. Rambutnya itu, lho, seperti burung kakak tua. Ooh, menggemaskan seka-liii." Tari meletakkan kedua telapak tangan di pipinya, lalu tersenyum sambil mengerjapkan mata. “Terima saja dia,” cetusnya spontan. Aku tersentak, langsung memandang Tari yang tengah mengerling menggoda. “Benarkah?” tanyaku, alih-alih menuduhnya menyuruhku menerima Aldri karena ia ingin bersama Mas Yus. “Apa menurutmu aku harus menerimanya?” tanyaku lagi karena ia terus mengerjapkan matanya. Ganti Tari yang tersentak. Mata sipitnya memandangku cukup lama. Sambil terus melekatkan tatapannya ke wajahku, ia menggeleng pelan. “Sebenarnya, aku jujur, ya, aku tak begitu jelas melihat wajahnya." Akunya. Aku memasang wajah cemberut. Ucapku, mencoba mengikuti gaya bicaranya yang kemayu. “Emmm, gak tau wajahnya tapi menyuruhku menerimanya. Aku tau alasanya, kok.” Aku menatapnya pura-pura curiga. “Pasti, agar kamu bisa bersama Mas Yus, kan? jujur.” Tari memasang tampang cemberut, membuatnya terlihat seperti anak kecil lucu yang menggemaskan. Ia memiliki wajah bulat dengan sepasang mata sipit yang bening. Bibir mungil, dan hidung yang tak terlalu mancung. Kabar yang beredar, ia memilih pergi dari kota kelahirannya karena malu dengan pernikahannya yang gagal. Aku sering sekali berkata padanya. Kenapa musti malu? Namun, tiap kutanya, ada saja dalih Tari mengelak. Seolah, goresan hidupnya di masa lalu bagai bangkai kambing yang harus dipendam dalam-dalam agar bau menyengatnya tak merebak ke mana-mana. “Emm, pasti kamu sedang melamun, ya? Melamunkan lelaki tadi, atau ... takut Mas Yus kuambil? Ooooh, sepertinya, melamunkan le-la-ki tadi.” Tari menatapku dengan sorot menggoda. Aku memerosotkan tas canklong dari pundak kemudian mengayunkan ke bahunya. Tari terkekeh. “Kutanya, bagaimana caranya kamu menghindari perjodohan itu, wahai sahabatku yang baik?” Masih ada sisa tawa di bibirnya, dan aku menanggapinya dengan gelengan kecil. “Kalau kamu memang tak menyukainya, maka kamu harus cari cara,” tuturnya pelan. Ia terlihat tulus, membuatku jadi ingin menceritakan yang sebenarnya. Bahwa ternyata, Mamak tak benar-benar menghendakiku menikah. Tapi bukannya menjelaskan, aku malah berkata sambil menatapnya. Kalau-kalau, ia terlihat senang karena sahabatnya ini memilih bersikap pasrah. “Entahlah, aku akan berusaha tapi gak tau bagaimana caranya. Masalah semakin runyam. Orangtuaku kabur dan aku akan menjemputnya dengan ....” Tari memperhatikanku dengan emosi berubah-ubah. Entah karena sebagai sahabat ia mengkhawatirkanku, atau karena ia ingin memiliki Mas Yus. Entahlah. Tapi yang pasti, seandainya aku tak bertingkah konyol saat bertemu Aldri untuk pertama kalinya, masalah pasti tak serunyam ini. Tari menepuk bahuku lembut. “Kamu tidak boleh menyerah, Na. Kalau tidak suka, bilang tidak suka. Cinta tidak bisa dipaksa. Katakan itu pada orangtuamu.” Aku memandang Tari, merasa begitu terharu. Ia ternyata lebih mementingkan kebahagiaan sahabatnya timbang perasaannya pada Mas Yus. Dan ucapan Tari benar, cinta memang tak bisa dipaksa. Seperti cinta Juliet yang akan terus melekat pada Romeo meski orangtua mereka tak setuju. Atau cinta Layla pada Qays, dan cintaku kepada Mas Yus. Tapi bagi Mamak? Mamak. Bukankah perkataan Aldri kemarin secara tak langsung telah memberitahu bahwa Mamak tak benar-benar menjodohkan kami? Masalahnya adalah, apakah nanti, Mamak akan marah sampai tak mau bertemu denganku atau tidak? Aku menggeleng, tak mau membayangkan yang bukan-bukan. “Na! Nona!” Tari menepuk pundakku cukup keras. Aku tersentak kaget. “Jangan melamun dan cukup hanya mengatakan seperti yang kukatan padamu saja. Apa kamu mengerti?” Ia menatapku sungguh-sungguh. Aku mengangguk pelan. “Tapi, pasti aku boleh tahu, dong, kenapa orangtuamu bisa kabur?” tanyanya dengan tatapan menyelidik. “Karena ideku untuk segera mengusir Aldri dari rumah kelewat batas," jawabku tanpa menatapnya. Lalu menunduk menatap jalanan berdebu dengan perasaan sedih. Kenapa kemarin aku bertindak gegabah dengan pura-pura hamil? Bodoh. Bodoh. “Jangan sedih. Yang seharusnya kamu lakukan adalah, segera mencari keduanya, Na.” Aku menelan ludah. “Dia sudah menemukannya. Sepulang sekolah, dia akan mengantarku menemui orangtuaku." Tari menghentikan langkah. “A-pa! Dia?” Aku mengangguk membenarkan. “Dia?! Kamu yakin akan pergi dengan dia?!” tanyanya terlihat masih tak percaya. “Itu satu-satunya cara agar kedua orangtuaku mau pulang.” “Pintar sekali dia menjebakmu, ya?” Tari mencibir. “Kurasa, dia tertarik padamu.” Wajah Tari yang mulanya tegang perlahan mengendur. “Terima kasih udah peduli padaku. Kamu memang sahabatku,” kataku terharu karena ia terlihat begitu kesal pada Aldri. Tari jelas berada dipihak sahabatnya. “Kamu juga sahabatku, kok. Tapi, kalau kamu memilih bersama dia, aku boleh, kan ....” Ia tersenyum menggoda. Tanpa pikir panjang segera kutimpuk kepalanya dengan tas. Tari langsung menghindar saat hendak kupukul lagi. Kami akhirnya sampai di depan sekolah, langsung berjalan menuju kantor, melewati murid-murid yang duduk melingkar di teras kelas sedang bermain dakon. Tak lama kami duduk di kantor, bel berbunyi. Aku berdiri yang segera disusul oleh guru-guru lain. "Assalamualaikum. Pagi, Murid-murid," sapaku di ambang pintu. Dengan wajah riang segera melangkah masuk ke kelas tiga. “Waalaikum salam, Bu, Guruuu. Pagi jugaaa." Semua murid memasang wajah ceria. Aku nenarik napas panjang saat secara tak sengaja memandang ke arah salah satu anak yang tengah menjahili temannya. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Selalu ribut di kelas baik pada mata pelajaranku maupun guru lain. “Amirul, diam." Pintaku sambil duduk. Amirul menatapku sekilas, lalu kembali mengajak ngobrol teman sebangkunya. Tangannya menarik paksa buku Rahman yang sejak tadi hanya diam. Sabar, Nona, sabar. Aku kembali menarik napas, lalu meletakkan buku-buku di atas meja. "Aku minta satu lembar." "Jangan!" "Satu saja!" Lalu, terdengar sobekan kertas. Aku menatap ke sumber suara. Lagi-lagi, Amirul si biang pembuat ulah. Anak itu memang luar biasa sulit diatur. "Amirul, minta maaf pada Rahman!" kataku setengah berteriak sambil melangkah mendekat. Siswa-siswi lain langsung menatap ke arah Amirul yang terlihat cuek. Wajahnya angkuh. Tangannya bergerak-gerak di atas meja tengah melipat kertas. Membuat perahu. "Amirul, dengar yang ibu katakan tidak? Minta maaf pada Rahman." Suaraku melunak. Kuhela napas mencoba meredam perasaan kesal. Amirul terus bersikap cuek. Perasaan kesal karena terus dicueki semakin menggumpal dalam dadaku. Aku menggigit bibir menahan kesal. Namun mata Amirul yang menatapku menantang, membuatku tak tahan lagi. "Amirul!" Aku membentak. "Bu guru galak! Pantas nggak nikah-nikah! Bu guru galak, pantas tidak ada yang mau!" Kupandang anak didikku dengan mata membelalak tak percaya. Sungguh tak punya tata krama. Amirul terus menatapku menantang. Aku tak tahan lagi. Tanganku tahu-tahu sudah menjewer telinga Amirul dan baru melepasnya saat terdengar suara sepatu mendekat. "Ada apa ribut-ribut?" Aku menoleh. Pak kepala sekolah berdiri di ambang pintu. Dahinya mengernyit dengan wajah terlihat penasaran. Baru saja aku hendak menjelaskan, tiba-tiba Amirul menangis kencang. Pak kepala sekolah langsung mengamati wajah Amirul. "Apa yang Anda lakukan?" Pak kepala sekolah menatapku dengan mata terpicing. "Saya ...." "Ikut ke kantor."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN