7

941 Kata
Mamak dan Bapak berjanji akan pulang setelah asar. Sementara aku, karena tak ada keperluan lagi, sedangkan di rumah pakaian kotor menumpuk belum dicuci, akhirnya memutuskan pulang. Mulanya, aku ingin berjalan kaki saja yang tak melahap banyak waktu jika lewat tanggul—jalan sawah—sambil menelepon Mas Yus. Tapi Aldri terus memaksa mengantar. Mamak melihat kelakuannya dan akhirnya membujukku. Aku terus diam di belakang Aldri dengan satu tangan membekap hidung. Seperti saat berangkat tadi, debu-debu langsung terbang ke udara setiap kali motor membelah jalanan. Debu bagai kabut pekat saat kami berpapasan dengan truk pengangkut sawit yang membuat jalanan beraspal selalu kembali rusak tak lama setelah diperbaiki. “Kamu lucu. Di mana-mana, kalau berangkat bersama, pulangnya ya harus bersama-sama,” oceh Aldri tanpa menoleh ke belakang. “Itu kan persepsimu!” jawabku jutek. Aku masih begitu kesal dengan tingkahnya tadi. “Kenapa kamu jadi begitu kesal padaku? Apa aku buat kesalahan?” Ia menoleh sekilas, lalu membenarkan posisi spion sampai wajahku terpantul di sana. Aku sengaja mengembuskan napas keras-keras. “Ibumu bilang, kamu setuju menikah denganku. Apa itu benar?” Aldri kembali bertanya. Aku kembali mengembuskan napas. “Aku gak bilang setuju,” tampikku. “Ibumu yang bilang. Ibumu juga bilang, apa aku menyukaimu." “Lalu?” “Kamu pasti tau aku jawab apa. Sebenarnya, saat semalam aku menemui ibumu, aku bilang padanya bahwa aku sangat menyukaimu. Aku minta pada ibumu agar membujukmu agar mau menikah denganku." “Apa?!” Mataku langsung melebar. Aldri mengangguk. “Tenang aja, aku cowok baik-baik. Kamu gak perlu merasa takut akan menjadi istriku. Aku gak akan pernah memukulimu. Aku janji." Aku benar-benar syok mendengar penuturannya. Jadi ... ternyata ia sudah menemui Mamak tadi malam lalu membujuk Mamak. Kugigit bibir bawah cukup keras, benar-benar tak menyangka ada orang yang begitu memaksakan kehendaknya. Sudah jelas dari sikapku bahwa aku menolaknya mentah-mentah. Aldri ternyata begitu mengerikan. Aku bergidik saat membayangkan kami disandingkan di depan penghulu. “Kita berhenti sebentar. Aku sangat haus." Belum sempat menjawab, Aldri sudah membelokkan motor ke pelataran rumah yang nyaris dipenuhi dedaunan karet kering. Beberapa pohon karet yang tumbuh di bibir halaman sudah meranggas, sebagian lagi masih dikerubuti dedaunan berwarna oranye, siap menggugurkan diri. Aku mengembuskan napas dan memandang Aldri dengan kesal melalui spion. Aldri membalasku dengan cengiran. Sepertinya, ia tahu bahwa perempuan di boncengannya sangat kesal padanya. Motor berhenti. Kami turun lalu menuju teras rumah di mana sebuah meja panjang dibebani aneka gorengan yang diletakkan ke piring-piring plastik warna-warni. Sementara beberapa botol sirop diletakkan di atas meja satunya. Di salah satu bangku panjang, beberapa cowok tengah memperhatikan kami. “Dua ya, Bu, yang banyak es tawarnya,” kata Aldri sambil mencomot tempe goreng. Lalu mengunyahnya sambil memberiku senyum kecil. Satu tangannya mengisyaratkan agar aku segera duduk. Pelan, kugeser kursi plastik merah terang lalu mendudukinya dengan canggung. Aldri masih berdiri di samping kursiku, sementara empat cowok dewasa yang duduk tak jauh dari kami, terus memperhatikan. “Namanya Nona, calon istriku. Sebentar lagi kami nikah,” ucap Aldri sambil melepas kacamata kataknya. Ia tersenyum sinis saat seorang cowok berbaju merah tiba-tiba tersedak pisang goreng. Aldri menarik kacamataku kemudian meletakkannya di atas meja. Lalu, ia duduk santai di bangku panjang yang diduduki empat orang cowok asing. Cowok berbaju merah kini menatap Aldri lekat. “Nona, dia ....” Aldri menunjuk cowok berbaju merah yang duduk di bangku paling ujung. Cowok yang ditunjuknya langsung menatapku, kali ini lebih lama dan tanpa malu-malu. Wajahnya masih merah akibat tersedak. Kurasa, ia tak menyadari ada remah makanan di dekat bibirnya. “Namanya Bandi, sahabat TERBAIKKU." Aldri memberi penekanan pada kata terbaikku. Ia menatap tajam ke wajah putih Bandi lalu mengembuskan napas kasar, terlihat begitu kesal. Wajah kesalnya seketika raib, digantikan ekspresi yang begitu menggemaskan. “Jika aku gak melihatmu tadi, aku gak akan tau kamu ada di sini. Kukira, kamu masih di rumah saudaramu di Pringsewu,” kata Aldri, yang langsung disambut Bandi dengan senyum kecil. Bandi kemudian berdiri dan memeluknya. Ia kembali duduk di tempatnya dan lagi-lagi menatapku. “Di sampingnya itu Rudi, di sampingnya lagi Andri, dan yang itu ... Iswanto." Harus kuakui, di antara teman-teman Aldri, Iswanto-lah yang paling menarik perhatian. Berpostur tegap, wajah putih bersih, dan saat ia tersenyum, dekiknya membuat lelaki itu terlihat semakin memesona. Dia paling tampan, tentu saja melebihi Aldi. Juga Mas Yus. “Senang bisa berkenalan dengan calonnya Aldri." Iswanto mengerling, membuat Aldri langsung mengepalkan tangan lalu melayangkannya ke wajah Iswanto, pura-pura akan meninjunya. Aldri menurunkan tangan lalu melangkah mendekatiku, tanpa sungkan merangkulku. Aku menepisnya cukup keras tapi Aldri kembali melakukannya. Andai tidak ada teman-temannya, pasti sudah kembali kutepis. “Apa kamu serius akan menikah, Al?” tanya Bandi, menatapku sekilas. “Kukira kamu hanya akan kawin dengan perawat dan bau obat dan pasien-pasienmu.” Sambung Iswanto yang langsung dibalas Aldri dengan pelototan. Teman-teman Aldri langsung tertawa. Sementara aku hanya terdiam salah tingkah. Meskipun begitu, aku mencoba ikut tertawa saat mereka tertawa, dan sesekali menyeruput es yang sebenarnya hanya tersisa cendolnya saja sehingga terdengar sret-sreeet yang keras saat diseruput. Untung saja, kebosananku segera diselamatkan oleh HP yang berdering dalam saku androk. Segera aku mengangkatnya, lalu melangkah menjauh. “Maniiis, bagaimana kabar calon mertuaku? Apa kamu sudah menemukannya?” “Sudah, Mas. Untung saja Mas segera nelepon. Ada yang ingin kusampaikan, Mas.” Suaraku lembut. Dadaku bergemuruh. “Sampaikan saja. Ada apa, Ma-nis?” Kuhela napas kemudian menjelaskan semua yang dikatakan Mamak. Setelah itu, kupinta saran darinya apa yang sebaiknya kulakukan. Tak lupa juga memintanya segera pulang untuk melamar. “Baiklah, akan Mas usahakan, Manis. Kamu tenang saja. Begitu semua tugas kelar, Mas akan segera pulang.” Aku tersenyum sendiri. Mendadak, aku sangat senang. Mas Yus akan melamar. Oh, Tuhaan ... terima kasih. Ini adalah hari yang begitu membahagiakan. Aku menghampiri Aldri sambil tersenyum sendiri, terbawa suasana hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN