Sandiwara

1819 Kata
Danu baru tahu, kalau ternyata Shalsha sekeren dan sepopuler itu di FISIP. Bahkan sang dekan secara terang-terangan berkata akan mempermudah Shalsha supaya jadi dosen tetap disini, sekarang saja sang dekan berbicara dengan Danu sebelum mereka pulang. “Jadi, Pak, dia berpotensi untuk memajukan fakultas kita juga. Bisa diandalkan juga. Mungkin bapak bisa bantu mempermudah. Biar apa? Ya biar bisa menjadi dosen tetap disini, Pak. Dari Yayasan mungkin supaya gak usah bersaing. Bapak bisa bantu rekomendasikan.” Danu malas membahas Shalsha, karena jelas sekali pria ini tertarik dengan hal lain. “Bapak anak udah berapa ya?” “Sudah lima, Pak. Kenapa barangkali?” “Oh tidak, hanya bertanya. Kalau perihal Shalsha, saya gak bisa bantu banyak. Dosen yayasan ‘kan dari yayasan sendiri. saya gak bisa bantu apa-apa. Lebih baik ikut daftar saja saat ada lowongan. Saya permisi ya,” ucap Danu berpamitan pada Dekan yang usianya lebih tua. Berjalan menuju ke parkiran rektorat. Tapi Danu pergi ke ruangannya dulu sebelum pulang. masih ada satpam disana, sosok itu belum menggeser plang nama yang menunjukan kalau sang rector ada di rektorat. “Bapak disini sampai malam?” “Enggak, Pak. Mau pulang sekarang. Itu tolong keterangan saya langsung di out saja. saya lagi gak menerima tamu.” Karena jam kerja sudah usai. Jadi Danu ingin keterangan bahwa dirinya in segera dirubat menjadi out supaya tidak ada siapapun yang menemuinya. Mengambil beberapa berkas untuk diperiksa apartemen, Danu pulang mengendarai audi hitam miliknya. Saat masuk kedalam, hidungnya sudah mencium aroma masakan yang menguar enak. “Pak, sepatunya kebiasain disimpen diraknya lagi.” Danu tidak paham. Sebelum ada Shalsha, dia selalu menyimpan semuanya dengan rapi kok. kenapa perempuan itu terus mengarahkannya? Padahal selama ini Danu hidup dengan teratur. “Mandi dulu, abis itu makan. Udah saya siapin air hangatnya.” Danu melangkah masuk kedalam kamar tanpa mengatakan apapun. Shalsha sudah biasa dengan sosok yang kadang berpenyakitan bisu itu, jadi dia menikmati saja perannya sambil menggunakan headset dan bergoyang sesekali. Tanpa perempuan itu ketahui, Danu sudah selesai mandi dan melihat tingkah Shalsha disana. Menyanyi dengan suara sumbang dan memekik telinga. Danu heran, bagaimana bisa perempuan ini dipuja banyak dosen difakultasnya? Padahal jelas-jelas dia tidak menarik sama sekali. Mengenakan daster batik layaknya ibu-ibu kompleks, rambut dicepol dan wajah tanpa make-up yang membuatnya tampak mengantuk terus. Jangan lupakan kacamata yang menempel diwajahnya. “Ayam! Kaget!” teriak Shalsha saat berbalik mendapati Danu disana. “Bapak sejak kapan disana?” “Mana teh herbal punya saya?” “Ini, Pak.” Memberikannya pada Danu. Hidup bersama pria ini membuat Shalsha mengetahui beberapa hal tentang sang Rektor yang begitu tertutup. Shalsha mengetahui hal-hal yang disukai oleh Danu jika diberitahu pria itu sendiri, atau bahkan diberutahu mertuanya. “Besok Mama pulang, dia minta kita pergi kerumahnya.”’ “Oke.” “Bisa gak paginya ke Rumah Sakit dulu? kakek saya nanyain terus, Pak.” Karena itulah tujuan Shalsha menikah, untuk membuat sang kakek cepat pulih. “Oke.” Setelah makan malam, Danu akan kembali ke kamarnya untuk bekerja. Biasanya Danu akan meminta Shalsha membuatkan camilan untuk menemani bergadangnya. Ini malam minggu, Shalsha juga bergadang untuk membuat PPT dan memberikan penilaian terhadap tugas yang baru saja dikirimkan. Belum lagi tugasnya sebagai mahasiswa, haduhhh Shalsha lelah sekali. Ditambah perannya sebagai istri. “Gak papa, kan dapet banyak duit,” ucapnya pada diri sendiri. setidaknya menjadi istri Danu itu menguntungkan dalam hal finansial. Ketika malam semakin larut, Shalsha merasa lapar dan pergi kedapur untuk membuat mie instant. Melihat pintu Danu yang tertutup ditambah pria itu tidak meminta dibuatkan camilan, membuat Shalsha berfikir kalau Danu tidak bergadang. “Hallo kesayangan,” sapanya pada mie instant yang disembunyikan dikabinet bawah. Selama ini Shalsha memberikan makanan sehat pada Danu, jadi makanan semacam ini selalu disembunyikan. “Katanya harus hidup sehat, kamu sendiri makan mie instant?” “Astagfirullah, hampir saja saya bacakan ayat kursi, Pak,” ucap Shalsha sambil tersenyum. Menetralkan deru napasnya dan menjawab dengan santai. “Kan kita beda usia, Pak, jadi gak papa kalau saya makan ini.” “Maksudnya?” “Aduh gimana ya, bapak sudah 36 tahun, saya masih 23 tahun jadi kuat buat makan yang…. Junk food kayak gini. Ehehehe. Bapak butuh apa?” segera mengalihkan perhatiannya. Tapi Danu hanya mengambil air kemudian berbalik lagi kekamarnya. “Bisu beneran tau rasa tuh orang. Heran deh.” “Kamu ngomong apa?” “Lagi narasi, Pak,” ucapnya buru-buru. Selama tinggal bersama, Shalsha sudah terbiasa diabaikan oleh pria ini. Selesai makan mie dan kembali ke kamarnya, Shalsha melihat pintu kamar Danu yang terbuka. “Lupa ditutup ‘kah?” mendekat dan menutupnya. Tapi sebelumnya Shalsha mendengar kalimat, “Iya, Sayang,” dari dalam. Membuat Shalsha terdiam. “Gak mungkin punya pacar, orang kata Mama Isla dia Jones kok.” lagipula, Shalsha tidak peduli mau dia punya pacar atau tidak karena keduanya sepakat tidak mencampuri urusan masing-masing. **** Sesuai dengan rencana, mereka pergi ke rumah sakit dulu untuk menemui Kakek Sobar. Penyakitnya mengharuskan dia 24 jam dirawat disana. Setelah menikah dengan Danu, Kakek Sobar bahkan dipindahkan kekamar yang lebih nyaman. Keduanya berjalan berjauhan. Ketika masuk ruangan, barulah Shalsha menggandeng tangan Danu. “Jangan nyari kesempatan kamu.” “Dih, siapa yang nyari kesempatan? Saya aja pegangnya jauhan kayak gini,” ucap Shalsha kesal. “Aca?” panggil seseorang dari dalam sana. “Udah ah ayok masuk.” Menarik tangan Danu supaya ikut melangkah bersamanya. “Assalamualaikum, Kakek.” “Waalaikumsalam, kirain gak jadi dateng.” “Jadi dong, Kakek. Kan ini akhir pekan. Biasanya juga suka datang kesini tiap minggu.” Mencium tangan sang kakek, diikuti oleh Danu dari belakang. Dia bahkan merangkul Shalsha supaya terlihat seperti suami istri pada umunnya, dan itu mengagetkan Shalsha. “Hehehe, gimana keadaan Kakek?” “Alhamdulillah baik apalagi liat cucu kakek sekarang udah punya pendamping. Makasih ya, Nak Danu.” “Untuk apa, Kek?” “Sudah mau jaga Aca. Dia pas nelpon selalu bilang kalau kamu itu baik banget.” “Udah kewajiban itumah, Kek.” Sampai dering ponsel Danu berbunyi, pria itu berpamitan untuk mengangkat panggilan dibalkon dan meninggalkan Shalsha dengan sang kakek. “Kakek kenapa senyum mulu? Serem deh.” “Seneng Kakek tuh, soalnya sekarang kamu udah punya pendamping hidup yang jagain kamu. kalian emang baru saling kenal, tapi Kakek yakin dia bisa jadi kepala keluarga yang baik buat kamu. jangan lupa segerakan punya anak. Usia Danu kan udah gak muda lagi.” “Heheheh, iya, Kakek.” “Dia baik ‘kan sama kamu?” “Ih udah dibilangin kalau dia baik banget, Kakek. Ya meskipun kita menikah mendadak, tapi hubungan kami baik-baik aja kok.” shalsha tahu apa yang diharapkan kakeknya, makannya dia menceritakan bagaimana indahnya rumah tangga yang dia jalani saat ini. “Kalau kayak gitu, Kakek makin tenang kalau suatu saat kakek pergi. Kamu udah punya laki-laki yang bisa jagain kamu.” Shalsha menggeleng. “Karena sekarang Shalsha punya kehidupan baru, kakek harus sembuh dan pastiin sendiri kalau Shalsha emang bahagia. Kakek harus ke apartemennya Shalsha yang sekarang, disana bagus banget pemandangannya.” “Gak diragukan lagi, Kakek percayain kamu sama Danu.” Senyuman dengan mata berkaca-kaca, hal yang paling ditakutkan adalah kehilangan sang Kakek. Danu kembali bergabung setelah selesai menelpon, mereka berbincang sebentar. Danu meminta maaf karena baru datang lagi dikarenakan dia sibuk sekali sebagai Rektor yang memiliki banyak pekerjaan. “Minggu depan aja harus terbang ke Thailand, Kek. Ada kerjasama dengan pihak universitas disana.” “Aca ikut?” “Enggak, Aca ‘kan harus ngajar, Kek. Mana ada kuliah lagi,” jawab Shalsha dengan cepat. “Lain kali ikut aja. nanti pasti Danu bisa cari alasannya, libur kuliah sehari juga gak apa-apa. Ikut suami kalau dinas.” “Hehehe, iya, Kakek.” Setelah beberapa lama berbincang. keduanya berpamitan, bahkan saat ini tangan Danu masih menempel di pingang Shalsha. Begitu mereka keluar dari ruangan itu, Shalsha langsung mendorong pelan Danu. “Gak usah sentuh-sentuh.” “Saya bantu kamu ya.” berucap sinis dan melangkah lebih dulu. Perawat yang melihat tingkah keduanya itu menggelengkan kepala heran. “Pasutri lagi marahan kayak gitu ya?” **** Dilanjut ke rumah Mama Isla, disana Shalsha diberikan banyak oleh-oleh dari Polandia. Ya, adiknya Danu kuliah S2 disana sambil bekerja. Memiliki dua adik ipar wanita yang usianya ada diatas Shalsha. Mereka belum bertemu, tapi sudah memberikan hadiah. “Ini dari mereka berdua, buat kamu.” “Wah, mereka di Polandia bareng, Ma?” “Nggak, beda kota ajasih. Dua jam kalau mau ketemu.” Mengangguk paham dan terus menerima hadiah dari Mama Isla, salah satunya adalah jamu kesuburan. “Biar kamu cepet hamil loh, Mama gak mau nunda punya cucu, apalagi Danu udah mateng usianya.” Shalsha hanya terkekeh mendengarnya. “Kalian baik-baik aja ‘kan?” “Sejauh ini iya, Ma.” “Udah bobok bareng?” Shalsha diam karena malu, lagipula dia harus menjawab apa? “Belum ya? pake ini aja biar stamina dia meningkat. Gak usah cepet-cepet sih, tapi segerakan. Lagian lambat laun juga kalian bereproduksi. Kenapa ditunda-tunda?” “Ma, ngomongnya jangan yang aneh-aneh,” ucap Danu mendekat untuk mengambil minuman dikulkas. “Halah, aneh apanya? Mama ngomong faktanya. Kamu gak normal kalau gak sentuh wanita secantik Shalsha, abnormal kamu, Bang.” “Heh, Mama kalau ngomong hati-hati dong.” “Lagian tancap gass kenapa, orang udah seminggu masa gitu-gitu aja. coba dulu sekali, lama-lama juga ketagihan.” Sumpah, Shalsha malu mendengar percakapan itu jadi memilih menunduk dengan pipi yang memerah. “Tuh, Shalsha sampai malu. Udah dong, Ma. Gak boleh urus urusan ranjang kita.” Danu mendekat dan memberikan botol air dingin. “Minum,” ucapnya sambil mengusak rambut Shalsha. Perempuan itu tahu kalau ini adalah acting Danu, tapi dia malu apalagi sudah membicarakan perihal ranjang. Malu karena tidak suka! “Cieee, tuh udah manis gitu, kenapa ditunda coba?” “Udah, Ma,” pinta Danu memilih kembali menemui Papanya untuk melanjutkan pembicaraan. Mama Isla memicingkan mata. “Danu cepet banget move-onnya.” “Dulu dia patah hati, Ma?” “Beuhh banget. Tapi itu masa lalu dah, Mama gak mau bahas lagi. yang penting sekarang kamu udah berhasil masuk dihati dia.” Shalsha hanya bisa tersenyum. Itu adalah sebuah kemustahilan dan sandiwara belaka. Tapi jika didepan kedua orangtua Danu, mereka bersikap layaknya suami istri. Seperti jam makan malam sekarang, Shalsha mengambilkan makan untuk sang suami. Dan ini dijadikan ajang kesempatan untuk Shalsha membawakan banyak nasi. “Wahh, Danu sekarang makannya banyak, Sha?” Mama Isla sampai kaget. “Iya, Ma. Makanan buatan Shalsha masuk dilidahnya, jadi makannya suka banyak.” Danu melotot, dia sadar ini pembalasan karena dirinya sering mengatakan: “Saya mau makan ini, ini, ini dan ini. semua menu harus ada nanti maalam.” Kemudian berakhir dengan makanan yang terbuang sia-sia dan Shalsha yang marah-marah. “Makan yang banyak ya, Mas Danu,” ucap Shalsha tersenyum miring melihat ekspresi sang suami yang tampak menahan kesal. Jika di apartemen, Shalsha yang akan diperbudak. Jadi kesempatan sekarang untuk Shalsha memutar balikan keadaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN