PROLOG
"Danu gak mau nikah sama orang yang gak di kenal, Ma."
"Kalau gak gitu, Kakek kamu gak akan warisin perusahaannya sama kita, Danu. Tolong kamu paham." Mamanya mencoba untuk membujuk.
Daripada memperpanjang perdebatan, pria berusia 36 tahun itu memilih untuk mengakhiri sarapannya. "Kalau tau Mama mau ngomongin itu doang, Danu gak akan nginep di sini."
"Danu! Jangan gitu sama Mama kamu." Aris; sang Papa menatap tajam anak sulungnya. Mencoba menghentikan sang anak yang hendak pergi.
"Nak, lagian usia kamu gak lagi muda. Mau sampai kapan? Mama pengen kamu cepet nikah biar Mama punya cucu juga. Bukan sekedar ingin warisan Kakek kamu, tapi ini yang terbaik buat kamu, Nak."
"Danu gak mau. Kalau Mama mau cucu buat Mama, minta aja sama adek. Jangan sama Danu."
"Kamu harus menikah, Danu. Gak boleh kayak gini terus."
"Gak mau, Ma! Danu gak mau nikah sama orang yang gak dikenal."
"Kalau gak mau nikah sama pilihan Kakek, seenggaknya kamu punya pilihan sendiri. Kamu gak nikah-nikah bikin Mama pusing."
"Ini hidup Danu! Kenapa Mama ikut terlibat?"
"Danu!" Kini sang Papa kehilangan kesabarannya dan menatap tajam sang anak. "Duduk, Papa mau ngomong sama kamu."
Namun diabaikan, dia tetap meraih jasnya. "Papa mikir aja, masa iya Danu harus nikah sama cewek yang gak dikenal sama sekali. Nikah itu sekali seumur hidup," Ucapnya memilih untuk pergi, mengabaikan teriakan sang Papa di belakang sana.
Danuarta Suraghana, pria berusia 36 tahun yang menjabat sebagai Rektor Universitas Swasta Ternama di Ibu KotaKota: Universitas Thribhuana. Pria itu mengendarai range rover miliknya ke tempat kerja. Selama sebulan terakhir ini, dia dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak dia kenal, bahkan belum pernah Danu temui sebelumnya.
Alasannya karena sang Kakek pernah berjanji dengan teman masa mudanya bahwa mereka akan menjalin tali keluarga dengan menjodohkan keturunan mereka. Karena Danu adalah cucu laki-laki satu-satunya, maka Danu menjadi korban disini.
"Pak Rektor, ada rapat mingguan hari ini dengan seluruh dekan dari tiap fakultas. Lalu setelah itu, bapak ada jadwal mengajar di FISIP," Ucap sang sekretaris yang duduk di depan pintu ruangannya.
Selain menjabat sebagai Rektor, Danu juga dosen dari FISIP. Dia berasal dari sana dimana sebelumnya pernah menduduki posisi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan. Memiliki dua kewajiban yang berbeda, Danu masih berstatus sebagai dosen pengajar disaat dirinya masuk dalam jabatan struktural kampus dan menjadi pemimpin.
Rektorat dan FISIP itu berdekatan. Kebetulan tempat Danu mengajar tepat berada di gedung belakang rektorat sehingga Danu hanya perlu berjalan.
Memegang jabatan struktural tertinggi tentu membuat Danu begitu disegani di fakultasnya sendiri. Sebagai Rektor, Danu punya kesibukan. Danu memiliki asisten dosennya sendiri, tapi kebetulan hari ini sang asisten sedang sakit. Danu juga sudah cukup lama tidak datang ke Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintah ini. Ingin sedikit bernostalgia karena dulunya Danu memulai kariernya disini.
brak! "Ya ampun! Maaf, Mas," Ucap seorang perempuan yang menabrak Danu dari arah belakang.
"Kalau jalan itu pakai mata, lihat kopi kamu tumpah ke baju saya."
"Maaf, Mas. Saya bersihkan ya. Biar saya…," Ucapannya menggantung begitu dia melihat siapa yang ditabrak. "s**t! Pak Rektor!."
"Kamu bilang apa?" Tanya Danu kesal. Sudah menabrak sekarang jadi mengumpat.
"Maaf, Pak. Saya reflek gak sengaja. Jasnya biar saya bersihin ya, Pak."
"Gak usah! Gak perlu sentuh-sentuh saya." Danu melihat laptop dan buku silabus yang dipegang wanita itu. "Kamu mengajar disini?"
"Saya asisten dosennya Bu Ukilah, Pak. Sekali lagi saya minta maaf ya, Pak."
Hari Danu benar-benar kacau, dia berdecak dan melangkah pergi begitu saja. Melangkah kembali ke Rektorat untuk mengganti jas.
Meninggalkan sang wanita yang penuh ketakutan. Bagaimana ini? Apa dia akan mendapatkan masalah?
"Neng Shalsha Cantik, belum masuk ngajar, Neng? Itu mahasiswanya udah pada siap loh."
Perempuan itu menoleh melihat Dekan FISIP yang sudah akrab dengannya. Sebelumnya dia merasa tenang karena sudah kenal baik dengan Dekan dan seluruh staff FISIP. Tapi sayangnya malah bermasalah dengan Rektor sendiri. "Haduh, gini caranya gak akan diangkat jadi dosen tetap. Eh, amit-amit dah."
***
Menghindari keluarganya sendiri, Danu tidak mengangkat telpon dari sang Mama. Sosok itu pasti akan memintanya untuk datang kesana lagi.
Danu pulang ke apartemen tempatnya tinggal sendirian. Mandi dan makan malam sendiri sambil menatap laptop dan memeriksa beberapa pekerjaan.
Hidupnya terorganisir, tapi dan teratur sampai sebulan terakhir dirinya dipaksa menikah. Sebenarnya kakeknya sudah mengatakan hal ini sejak dua tahun lalu, dan Danu menolak dengan baik. Tapi tidak berhenti, sekarang tiba-tiba diminta menikah lagi.
Ting! Tong!
Suara bel berbunyi menyebabkan kecurigaan. Saat melihat dimonitor, benar saja itu sang Mama. Danu memilih diam dan melihatnya.
"Danu! Mama tau kamu didalam! Cepat keluar! Kakek kamu jatuh kesumur! Mama sama Papa mau kesana ini!"
Seketika Danu membuka pintu. "Mama jangan bercanda."
"Gila aja kalau jadiin ini candaan. Cepetan!"
Danu bergegas mengambil coat dan ikut kedalam mobil sang Papa dan Mama. Didalam sana, kedua orang tuanya mengomel karena Danu tidak kunjung mengangkat panggilan.
"Ya mana Danu tahu! Orang kalian kalau nelpon biasanya mau minta Danu nikah doang."
Sampai sakit kepala Mamanya itu, dia mengomel tanpa henti sampai akhirnya mobil berhenti didepan rumah Kakek Agus.
"Kakek emang gak dibawa kerumah sakit? Pasti kalian bohong ya? Masa masuk sumur gak dibawa ke RS?"
Danu diabaikan dan sang Mama melangkah masuk lebih dulu. Mengikuti dari belakang, Danu baru melihat bagaimana sang Kakek berbaring lemah di ranjang tanpa baju.
"Kenapa gak dibawa kerumah sakit?"
"Bapak yang nolak, Den. Maunya dipijat aja," Jelas sang perawat yang menjaga kakeknya selama ini.
"Kok bisa masuk sumur sih?" Tanya Danu heran.
"Lagi jalan ke belakang. Ternyata penutup sumurnya sudah rapuh. Biasanya juga Bapak gak kesana, Den. Ini gak biasanya malah main ke halaman belakang."
Menatap miris pada sang Kakek. Mama dan Papanya tampak begitu sedih melihat keadaan kakek Agus.
"Kakek mau ngomong sama Danu. Kalian keluar aja," Ucapnya dengan nada lemah.
Danu menahan napas, dia sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh kakeknya tersebut.
Mendekat saat sudah tidak ada orang, Kakeknya menghela napas dalam. "Nikah ya. Selain kakek punya janji sama temen kakek, kamu juga udah tua. Umur 36 harusnya udah punya anak sekolah SMP, Danu. Kakek gak mau kamu terpaku ke masa lalu. Sampai kapan? Ini waktunya kamu melangkah pada arah yang lebih baik lagi. Menikah bukanlah hal yang buruk, perempuan yang kakek pilih adalah perempuan yang baik."
Danu masih diam.
"Dia bisa jadi istri yang baik buat kamu. Kakek tahu bagaimana perjuangannya sekolah sendiri. Kamu akan mencintainya seiring berjalannya waktu."
Untuk kalimat cinta, Danu tertawa karenanya. Mana mungkin semudah, secepat itu untuk jatuh cinta lagi.
"Danu? Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Kalau sudah seperti ini, tidak akan ada celah untuk dirinya menolak bukan?
"Ya?"
"Iya, Kakek."
***
"Sha? Udah buat silabus untuk semester ini?"
"Sudah, Bu. Barangkali ibu mau lihat dulu ini."
Shalsha, seorang perempuan berusia 23 tahun yang sekarang menjadi asisten dosen. Shalsha sebagai asisten dosen Dari Hj. Ukilah dengan mata kuliah Manajemen pelayanan publik Prodi Administrasi Publik. "Kamu bentar lagi nyusun tesis 'kan?"
"Iya, Bu."
"Bakalan repot dong?" Wanita tua itu memeriksa silabus yang Shalsha buat.
"Nggak, Bu. Kalau masalah ngajar, saya bisa handle kok."
"Bagus kalau itu. Nanti kalau kamu udah lulus S2, Ibu bantu kamu biar bisa jadi dosen tetep di sana. Ibu kan bentar lagi pensiun, kamu yang nantinya gantiin Ibu."
Senyuman Shalsha langsung terbit. Cita-citanya memang menjadi seorang dosen sejak kecil.
Lulus S1 di tempat dirinya sedang mengajar sekarang, dan melanjutkan S2 di kampus berbeda atas usul Ibu Ukilah yang sekarang mengajak Shalsha untuk mengajar di sana.
Sudah ada jaminan kalau dia akan dibantu supaya jadi dosen tetap di sana, jadi Shalsha senang bukan main. Shalsha bukan salah satu murid yang pintar, tapi dia murid beruntung yang diberi kepercayaan oleh dosennya.
"Nih buat kamu jajan ya. Tolong periksa ulang juga nilai kelas karyawan sebelum diupload ya. Biar pas masuk perkuliahan, nilai udah beres semua."
"Makasih banyak, Bu. Buat nilai, akan saya usahakan selesai hari ini kok."
"Besok ke kampus juga, minta Dekan buat hapus nama Ibu dari penguji sidang komprehensif. Tau sendiri Ibu sekarang sakit sakitan."
"Iya, Bu."
"Sekalian ke Rektorat ya. Ke WD II buat omongin gaji punya Ibu yang belum masuk. Mereka salah input nomor rekening."
"Baik, Bu."
Karena kejadian seminggu lalu, Shalsha menghindari Rektorat. Dia takut bertemu dengan Danu dan berakhir diingat sebagai seorang yang buruk. Shalsha juga takut jika dirinya tidak bisa menjadi dosen tetap disini.
Saat Shalsha kuliah, Danu masih menjabat sebagai Dekan dan pernah mengajari Shalsha juga. Pria itu memang menyeramkan dengan sifatnya yang dingin dan juga killer. Dia mengeluarkan siapa saja yang tidak memperhatikannya di dalam kelas.
Selesai dari rumah sang dosen, Shalsha pulang ke rumahnya. Bukan untuk istirahat, melainkan untuk bersiap pergi ke rumah sakit dimana sang kakek berada.
Baru juga Shalsha menyiapkan makanan, dia mendapatkan telpon dari kakeknya. "Hallo, Kek? Aca lagi siap-siap ini. Kakek mau titip apa?"
"Gak usah. Cepet kamu kesini. Kamu nikah sekarang. Calonnya udah ada."
Shalsha tidak terkejut. "Iya, nanti Aca ke sana."
Karena sang kakek menjodohkan Shalsha dengan pria pilihannya. Mana bisa menolak saat satu-satunya keluarga yang Shalsha miliki adalah sang Kakek. Dia ingin sosok itu sembuh dengan cara menuruti semua keinginannya.
Bahkan sekarang Shalsha siap dinikahi meskipun di rumah sakit. Entah siapa calon suaminya, bagaimana rupanya, Shalsha tidak peduli.
Dia hanya ingin sang Kakek sembuh dari sakitnya. Karena orang tuanya sudah tidak ada, dan Kakek yang merawat Shalsha sejak kecil.
"Kakek?" Shalsha memasuki ruang rawat inap sang kakek.
"Aca ke sini, Nak. Ini calon suami kamu. Salaman dulu sambil nunggu penghulu."
Mata Shalsha membulat ketika pria yang berdiri di hadapannya ini adalah Rektor yang seminggu lalu mengalami kejadian buruk dengannya. Danuarta, pria itu sepertinya mengenali Shalsha karena sekarang dia tengah menyipitkan matanya.
"Aca sini. Salim dulu sama calon suami kamu."
Shalsha mendekat dengan jantung berdebar kencang. Mengulurkan tangannya pada Danu. Untungnya pria itu menerima salam Shalsha.
"Jangan gitu, dicium tangannya dong, Aca. Itu calon suami kamu, lebih tua juga dari kamu loh."
Shalsha terpaksa melakukannya.
"Nah gitu kan bagus."
Saat tangan mereka terlepas, Danu langsung meraih hand sanitizer dan mengalihkan pandangan dari Shalsha. Terlihat jelas kalau kedepannya Shalsha akan menghadapi sifat menyebabkan pria ini.
Yang benar saja! Masa dia akan menikah dengan Rektornya sendiri!