“Makannya pelan-pelan,” ucap Danu pada sang kekasih yang bernama Tatiana tersebut. wajahnya yang jelita mengingatkan Danu pada masa lalu yang mengiris hati. Bahkan itu yang menjadi dasar kenapa Danu menjaga Tatiana dan menunggunya sampai beranjak dewasa supaya hubungan mereka bisa melangkah lebih jauh lagi. Perbedaan umur 8 tahun, kala itu saat Tatiana masih berumur 17, Danu sudah menginjak usia 25 tahun. “Kenapa terburu-buru sih?”
“Mas, aku lagi banyak kerjaan di Rumah Sakit.”
“Lah, bukannya kamu minta Mas buat datang kesini?”
“Hmm, kan aku kangen. Mas akhir-akhir ini sibuk sama posisi Rektor. Jadinya aku terabaikan gitu,” mengerucutkan bibirnya kesal pada sang kekasih.
“Na, kamu kepikiran gak kalau suatu saat kita nikah dan punya anak? Seenggaknya terbesit dipikiran kamu untuk membentu sebuah keluarga?”
“Mas, kamu tahu aku gimana. Aku gak mau punya anak. Kita saling memiliki satu sama lain. Kalaupun kita menginginkan waktu untuk bermain sama anak-anak, kan tinggal dipanti.”
Penganut childfree, itulah Tatiana. “Okey.”
“Kita udah ngomongin ini dari lama, Mas. mas sendiri yang udah setuju ‘kan?”
“And Then, posisi aku sekarang udah menikah. Apa kamu… gak cemburu? Gak pengen nikah sama aku gitu?”
“Hubungan kita yang kayak gini aja udah cukup buat aku. Kita baik-baik aja, lagian aku percaya kalau kamu gak akan macam-macam dibelakang aku.”
“Salah satu cara biar aku gak macem-macem yaitu dengan menikah sama kamu. aku bakalan lawan orangtua kita.”
“Tapi aku gak mau, mas. aku gak mau lawan Ayah aku. udah mending kayak gini aja. Mas malah bikin aku gak mood deh.”
“Hei, jangan kayak gitu,” ucap Danu menahan lengan sang kekasih. “Maaf, mas gak bermaksud bikin kamu kesel. Duduk lagi. ayok habisin makanannya.”
Menghela napas dalam, Tatiana kembali duduk dan makan sambil mengabaikan keberadaan sang kekasih. Untuk Danu, dia sudah terbiasa dengan sikap Tatiana yang seperti ini. lelah juga sih, tapi dia menyayangi sang kekasih.
Setelah selesai makan, Danu mengantarkan lagi Tatiana ke Rumah Sakit. Dalam mobil, perempuan itu bertanya, “Mas sayang gak sih sama aku?”
“Kalau Mas gak sayang sama kamu, gak mungkin Mas bertahan sejauh ini buat tetep ikutin apa yang kamu mau.”
Senyumannya mengembang dan langsung berpindah ke pangkuan Danu untuk memeluknya. “Aku sayang banget sama kamu, Mas.”
“Iya, Mas juga,” ucapnya membalas pelukan Tatiana.
“Aku takut sama Ayah aku, tapi aku juga gak mau kehilangan kamu. hubungan ini baik-baik aja selama ini. kenapa kita harus melangkah dengan resiko tinggi?”
“Okey, ini waktunya kamu kerja lagi.” merangkup pipi Tatiana dan mengecup bibirnya. “Masuklah.”
“Mas langsung pulang?”
“Ke kampus dulu, ada yang harus diberesin.”
“Hngghh, aku mau main ke apartemen kamu. Aku mau nginep disana biar istri kamu juga tahu batasan kalau kamu punya aku.”
“Gak perlu lakuin itu, dia juga sadar dimana posisinya. Jangan ke apartemen, kali ini Mama sering datang karena punya menantu. Jadi lebih baik sayang disini saja. biar Mas yang berkunjung. Kan sebelumnya juga Sayang harus pergi karena waktunya tidak tepat.”
Berdecak, kesal juga lama-lama seperti ini. “Nahkan tidak nyaman. Kalau kamu mau, Mas bisa mengambil langkah beresiko tapi membuat kita bebas bersama-sama bahkan didepan public. Mas gak takut kalau harus cerai sama Shalsha dan bertengkar dengan orangtua. Tapi akhirnya kita bersama ‘kan? kita bisa kayak pasangan normal pada umumnya.”
Menggelengkan kepalanya kuat. “Oke, gak papa kalau aku gak boleh pergi ke apartemen kamu. tapi jangan membawa pembahasan ini juga. Aku gak suka.”
***
Setelah berbicara dengan asisten dosennya terkait system pengajaran, akhirnya Danu pulang ke apartemen. Sebelumnya dia menyerahkan semua pekerjaan pada asistennya itu karena akan disibukan dengan banyak hal sebagai rektor. Pulang ke apartemen berharap disambut dengan makanan enak seperti biasa. Tapi kali ini Shalsha tidak ada disana. Kemana bocah itu?
Danu memeriksa ponselnya, tidak ada pesan sama sekali. “Kemana dia ini?” melangkah membuka kulkas. Ada banyak makanan yang tinggal dipanaskan disana. Namun Danu malas, dia ingin disiapkan oleh sang istri dan memilih menunggu sampai perutnya terasa sakit. Danu ingin menelpon Shalsha, tapi dia sadar seringkali melarang sang istri ikut campur dengan urusannya. Jadi Danu juga tidak mau demikian.
“Dia kemana sih? lama amat gak pulang-pulang. atau lupa jalan pulang?” karena kesal, Danu meraih kunci mobil dan mencari sang istri ke Rumah Sakit. Curiga kalau Shalsha ada disana bersama dengan kakeknya. Ternyata benar, begitu Danu masuk, dia melihat Shalsha sedang menyuapi sang kakek.
“Eh, Danu? Shalsha bilang kamu lagi gak bisa dateng soalnya sibuk. Abis dari Bekasi juga ya?”
Dani terdiam sejenak. “Iya, Kek, baru pulang. tadi sempet ke apartemen dulu buat mandi. Terus nyusul Shalsha kesini,” ucapnya mendekati sang kakek dan mencium tangannya. “Kakek gimaana keadaannya?”
“Alhamdulillah baik kalau lihat kalian bareng-bareng kayak gini. Kakek jadi seneng,” ucapnya memandang Shalsha yang sekarang dirangkul oleh Danu. Wajah perempuan itu tampak kesal. “Shalsha, ada suami salim dulu dong. Kebiasain.”
“Iya, kakek.” Terpaksa melakukannya.
“Gak usah nginep juga, kan Danu pulang.”
“Loh, Shalsha mau nginep?” tanya Danu.
“Iya, dia bilang mau nginep soalnya kamu mau tidur di Bekasi.”
“Enggak kok,” ucap Danu buru-buru. “Danu tidurnya di apartemen, Kakek.” Segera membeli penjelasan.
“Sha, kamu pulang aja ya, Nak. Gak usah nemenin kakek.”
Shalsha awalnya merengek, tapi Kakek tetap memaksanya untuk pulang. pada akhirnya, Shalsha masuk kedalam mobil Danu dengan wajah yang masih kesel. “Kenapa sih kamu? ada yang salah? Atau ada yang bikin kamu badmood. Jangan bawa-bawa kesini energy buruknya.”
“Energy buruk ini berasal dari Bapak.”
“Iya dan itu salah kamu gak masakin saya makan malam. saya lapar tau, Sha.”
“Lah, tinggal panasin juga.”
“Saya maunya yang seger, kan kata kamu juga biar sehat jadi masak mendadak.”
“Saya gak bisa selamanya stay buat masakin bapak. Saya juga punya kepentingan.”
“Tapi harusnya saya diutamain, Sha. Kan saya kasih uang ke kamu.”
“Oh, jadi bapak gak ikhlas ngasih uang ke saya? Harusnya sepadan dong sama rahasia besar bapak yang saya pegang. Malah harusnya ditambah lagi uangnya. Maunya enak aja, gak mikirin perasaan orang lain yang terluka. Emang gak punya hati nurani!” teriak Shalsha keluar dari mobil begitu sampai dan melangkah lebih dulu.
Danu sampai bingung dengan yang terjadi pada istrinya. Dia segera menyusul cepat. Tangan Danu menggentikan langkah Shalsha yang hendak masuk ke kamarnya. “Buatin saya makan malam dulu, Sha. Kamu ini kenapa sih? PMS apa gimana?”
“Halah ngapain saya buatin makanan buat bapak, kan masakan saya bukan selera situ sampe dibuang ke Tempat sampah.” Menghentakan tangan Danu dan melangkah menuju kamar. BRAK! Menutup pintu secara kasar hingga Danu berfikir keras. Apa yang dimaksud tempat sampah? Sampai akhirnya Danu paham, pasti Shalsha salah paham. Teringat juga kalau sekretarisnya tadi bilang kalau Shalsha datang hendak menemuinya. “Ya ampun, pasti salah paham dia.” Buru-buru mengetuk pintu sang istri dan menjelaskan bagaimana kotak makan siang itu berakhir di tangan seorang satpam.
“Halaahhh alesan aja itumah.”
“Enggak, Sha. Emang itu ceritanya.”
“Bapak kan makan siang sama pacar, jadi makan siang buatan saya dibuang.”
“Enggak ya ampun. Jangan merajuk dong udah. Kan saya udah jelasin, kamu harus pahami saya, Shalsha. Saya lapar ini, mau kamu masakin cepat,” perintah Danu dengan nada suara ketus.
“Ogah!” Shalsha bukannya tidak sopan, tapi dia benar-benar kesal. Mungkin juga gejala PMSnya sudah mulai tiba.
“Sha, nanti saya belikan kamu barang branded sebagai permintaan maaf karena gak ambil lagi kotak makan siang itu sama satpam.”
Shalsha masih diam.
“Dua deh, mau? Itu beda jatahnya. Saya yang keluarin duit pribadi buat kamu.”
Tetap tidak menjawab. “Oke, saya tambah uang jajan kamu bulan depan sebagai permintaan maaf. Udah jangan marah-marah mulu."
Kalau soal uang, Shalsha menyerah dan memilih keluar. “Deal?”
Danu menghela napasnya dalam. “Iya, Deal. Tapi perlu diingat kalau saya gak buang itu. sekretaris saya yang t***l terus kasih itu makanan.”
Shalsha tidak mendengarkan, dia masih kesal dan tidak peduli apapun alasannya. Memilih berjalan masuk ke dapur dan mulai memasak. Membuat Danu memperhatikan bagaimana istrinya itu memasak. “Kamu gak boleh kayak gitu. Kalau ada hal yang bikin kamu terganggu, tanyain biar gak mengundang kesalahpahaman kayak tadi. Saya gak buang pemberian kamu, Shalsha.”
Shalsha yang masih kesal itu memotong bawang dengan kuat hingga membuat Danu menelan salivanya kasar. Takut juga melihat pisau tajam itu. “Oke, saya tunggu kamu selesai masak disana.” Dengan wajah datar dan mencoba tenang, Danu mengambil air dalam kulkas dan duduk diruang keluarga. Sampai akhirnya hidangan makan malam selesai, Danu pindah keruang makan. “Kamu mau kemana?”
“Bapak aja yang makan. Saya lagi gak nafsu.”
“Jangan gitu, Sha. Makan dulu.”
“Nanti. Kalau bapak udah selesai, baru saya makan.”
Sadar sekali kalau istrinya masih marah. “Besok buatin makan siang lagi, saya makan. Janji.”
“Halah, capek-capek saya bikin. Mending laporan aja sama Mama biar dia yang anterin langsung ke kampus.”
“Jangan gitu dong, Sha. Saya janji besok kirim video bukti kalau saya lagi makan,” ucapnya membujuk sang istri. Bisa bahaya kalau Shalsha berhenti measak. Karena meskipun isinya sayuran, Danu suka dengan rasa masakan yang dibuat istrinya ini.
Shalsha terdiam. “Bikin video mukbang dari awal sampai akhir coba buat besok bukti. Gimana?”
Ingin membantah, tapi akhirnya… “Oke. Tapi perlu diingat disini kalau saya gak buang makanan kamu. itu sebuah ketidaksangajaan, Shalsha.”