Kebiasaan

2118 Kata
Shalsha terkekeh ketika dia melihat video Danu yang sedang menghabiskan makan siangnya. Bahkan dari awal sampai akhir, tapi menggunakan Timelapse hingga membuktikan kalau Danu benar-benar menghabiskannya. Bahkan sampai memperlihatkan kotak makan siangnya sampai habis. Seharian ini Shalsha berada diruangan dosen. Karena kuliah S2 itu fleksibel, jadinya ada kelas Online pula sehingga Shalsha tidak perlu ke kampus. Menyelesaikan kelas dan sudah mengajar, Shalsha bergegas untuk pergi menemui temannya. Dia sudah janjian dengan sang sahabat, jadinya dia mengirimkan pesan pada Danu bahwa akan pulang terlambat dan memintanya untuk menghangatkan makanan yang sudah disiapkan dalam kulkas. “Jalan-jalan,” gumamnya sambil berjalan dan memesan taksi Online. Melewati prodi menuju pintu keluar. “Neng, mau kemana?” “Eh? Mau pulang, Pak. Sudah selesai kelas juga.” “Nih bawa, tadi ada yang bimbingan ke saya Cuma gak suka kue cokelat.” “Ihhh, bapak bisa aja,” ucap Shalsha mengambil papperbag yang diberikan oleh kepala laboratorium tersebut. “Terima kasih, Pak. Untuk bapak gak suka.” Karena sekarang sedang zaman bimbingan, bukan hanya satu yang didapatkan Shalsha, tapi juga makanan yang lain dari dosen berbeda. Memang, Shalsha sadar kalau cantik itu akan mendapatkan privilege yang menguntungkan. Makannya dia suka merawat diri. Meskipun suka ada dosen perempuan muda bahkan staff tata usaha yang memperlihatkan ketidaksukaan pada Shalsha. “Bu Shalsha, lagi ngapain?” bahkan mahasiswa juga banyak yang secara terang-terangan mengagumi Shalsha. Iyalah, dia umurnya baru 23 tahun dan sekarang sedang merajut S2, padahal otaknya biasa saja. Cuma yaaa karena sekarang menjadi tenaga pengajar, maka Shalsha belajar mati-matian. Dia ingin pintar. Bahkan Shalsha baru menyadari, kalau dirinya itu pintar hanya saja tertutup rasa malas. “Kalau aja dari dulu gue gak males, pasti jadi yang terbaik seangkatan.” Begitu gumamnya dalam hati. “Mau pulang, hehehe,” menjawab mahasiswa yang berada dalam mobil. Pria tersebut turun, ohhh Shalsha pernah melihat mahasiswa ini sebelumnya. Karena dua tahun dibawahnya. Pria itu mengulurkan tangannya untuk salam. “Eh, iya hehehe.” Kadang Shalsha juga salah tingkah, orang mereka umurnya hanya beda dua tahun. Jadi suka ada getaran itu. Mana sebelumnya Shalsha tidak pernah menjadi primadona, jadi sekalinya diperhatikan itu membuat dia kaget. “Mau saya anterin gak, Bu?” “Gak usah, kamu duluan saja.” “Yakin, Bu? Kalau gak salah, kita searah kan? jadi gak papa biar sekalian.” “Gak usah, saya mau ketemu temen dulu.” “Temennya dimana, Bu? Saya anterin saja.” “Ini udah order taksi, gak enak kalau dicancel. Terima kasih ya, lain kali saja.” “Yahh, tapi beneran ya Bu, lain kali harus menerima tawaran saya.” Shalsha hanya tersenyum, dan membiarkan anak didiknya pergi setelah berpamitan. “Kalau gak salah dia itu salah satu most wantednya kampus ‘kan? bisa-bisanya gue dilirik bocah macam tu,” tapi ya, selera Shalsha itu yang lebih dewasa supaya bisa memanjakannya. Lima menit menunggu taksi, akhirnya Shalsha bisa berangkat menuju salahsatu caffe milik temannya. Disambut dengan rentangan tangan. “Kangen banget, bu dosen sibuk emang. Mana sekarang lagi lanjut S2 kan? duhh calon dosen tetap inimah.” “Udah ah jangan dibahas, gue malu tau.” Memukul bahu sang sahabat. “Mana? Katanya mau kasih gue kue gratisan?” “Dih, inget aja ya kalau yang gratisanmah. Bentar gue bawain dulu,” ucap Mala meninggalkan Shalsha sendirian dikursi. Baru juga Shalsha hendak membuka ponsel, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Loh, saya kira bukan Bu Shalsha.” “Pak Zain?” *** Zain juga pulang lebih awal karena sudah selesai mengajar dan mampir untuk membeli kopi. Tapi tidak meminumnya disana dan pergi sepuluh menit kemudian setelah berbicara sebentar dengan Zain. Itu membuat Mala menggoda sang sahabat. “Gak nyangka, sahabat gue yang dulunya culun, jelek sama item sekarang banyak yang suka. Mana otaknya sekarang agak mencair juga. Sebenernya lu semedi dimana sih bisa berubah drastic kayak gini?” Shalsha tertawa mendengarnya. “Kagaklah! Dulu gue emang males aja mana sibuk mikirin kakek, rasanya jadi dosen itu jauhhhh banget. Makannya gue gak banyak belajar. Kalau sekarang kan tuntutan, masa mahasiswa nanya terus gue gak bisa jawab. Ditambah lagi kalau gue jelek, mereka gak akan betah dikelas gue.” Mala sampai duduk dihadapan Shalsha dan memandang wajah sahabatnya lama. “Asli lu cantik banget sekarang. Udah tau fashion sama dandan juga.” “Udah deh! Gue malu! Gue tabok nih lama-lama, anjirrr!” Mala malah tertawa. “Jadiin pacar satulah. Lumayan juga buat anter jemput.” “Belum tertarik gue.” Serius, sejauh ini Shalsha belum menginginkan ikatan dengan orang lain. Apalagi statusnya menikah dengan Danu. Pasti akan sangat memusingkan. “Yang tadi juga keren. Dosen dia?” “Asisten dosennya Pak rektor. Tapi denger-denger dia bakalan jadi dosen tetap sih, secara kan kepake sama Pak Rektornya langsung.” “Lu juga bakalan ‘kan?” “Doain aja, gue gak se-WOW! Itu dimata Pak Rektor, jadi gak tau masuk apa kagak.” Tapi tenang saja, Shalsha akan berusaha sebaik mungkin supaya bisa masuk dari bagian Universitas.” “Tapi buat minggu depan lu bakalan datang ‘kan? ke acaranya si Nuria? Ultah di hotel, lumayan dong nginep disana. Sekalian temen-temen yang lain harus lihat perubahan drastic lu yang Cuma dalam hitungan bulanan.” “Jadi dong, gue mau pamer kecantikan,” ucapnya dengan sombong. Shalsha begitu menikmati kebersamaan dengan Mala, bercerita kesana sini sampai jam makan malam tiba. “Lu makan disini aja, gue kasih gratis ya?” “Emang itu tujuan gue kesini.” “Asem. Diem disini, gue buat dulu.” “Ikutlah, mau liat juga dalem dapurnya,” ucap Shalsha mengekori Mala. Sayangnya, Shalsha tidak bisa focus pada sang sahabat karena mendapatkan pesan beruntun dari Danu. Pak Rektor: Pulang, saya kasih kamu uang lebih banyak. Masakin saya. Saya gak mau yang ada didalam kulkas. ME: Biasanya juga kalau saya masak itu sebagian manasin yang ada dikulkas, Pak. Bapak juga suka makan makanan itu. Pak Rektor: saya maunya kamu yang masakin, Sha. Nanti saya kasih uang lagi. cepetan. “Ngatur banget nih orang. Udah dibilangin uang bukan segalanya juga.” ME: G. Dan segera menutup room chat juga mengaktifkan mode silent dengan wajah kesal. “Kenapa, Sha?” “Gak papa.” Sementara disisi lain, Danu melihat banyaknya makanan yang ada dalam kulkas. Memang lengkap dan terlihat segar, hanya perlu memanaskannya saja. Tapi Danu tidak mau melakukannya sendirian, dia malas bergelut dengan alat dapur lagi meskipun hanya sekedar memanaskan. “Kenapa gak dibaca? Berani dia mengabaikan. Apa perlu ditambah ya? diiming-imingi enam juta?” **** Shalsha baru pulang sekitar jam 7 malam. Menolak diantarkan Mala karena khawatir tahu dimana tempatnya tinggal sekarang. Begitu Shalsha memasuki apartemen, dia langsung memeriksa kulkas dan kaget karena melihat makanan yang dia buat masih awet. “Baru pulang?” “Huaa kaget!” teriaknya langsung berbalik dan menatap Danu yang hanya memakai bathrobe. “Jangan tiba-tiba muncul kayak setan dong, Pak!” mengatur napasnya sebelum berkata, “Kenapa makanannya masih utuh? Bapak belum makan?” “Belum, tadi saya ngemil dulu. Sama kamu angetin, saya mau pake baju dulu,” ucapnya dengan wajah datar. “Dia kenapa sih? harusnya gue yang marah dong karena ini makanan masih utuh.” Meskipun mendumal, ya Shalsha tetap menuruti perintahnya. Menyeramkan juga kalau Danu sudah marah. “Kenapa gak dipanasin sendiri sih, Pak? Kan tinggal masukin Microwave juga. Atau panasin diwajan, nanti saya yang nyuci piring. Kata Mama Isla juga dulu kayak gitu ‘kan?” “Udah males saya berkutat sama hal begituan.” “Tapi itu bikin saya gak nyaman. Serasa ninggalin anak kecil dirumah. Kan saya juga punya keperluan sendiri, jadi nantimah kalau saya gak pulang, jangan sampai gak makan. Bapak udah tua, harus sadar diri biar gak gampang sakit.” Ingin protes dengan sebutan tua, tapi Danu terlalu malas dan diam saja memandang makanan tersaji didepan matanya. “Nah, makan sekarang. Kalau Bapak sakit, saya yang disalahin Mama nantinya.” “Ya baguslah biar kamu sadar. Kan emang tugas kamu buat rawat saya.” “Hahaha.” Tertawa hambar. “Ogah saya ngurusin 24 jam.” “Kamu kan dibayar, Sha.” “Kan uang bukan segalanya, Pak. Meskipun saya dibayar, bukan berarti Bapak bisa seenaknya tau gak?” “Kok malah kamu yang marah?” “Emang harusnya siapa yang marah? Bapak? Mana ada hak marah Cuma karena saya keluar sama temen, Pak. Kan itu kehidupan pribadi saya,” ucap Shalsha kesal. “Kamu masih marah perihal makan siang? Saya udah habisin loh, Sha. Udah kirim buktinya juga.” “Bukan karena itu. Saya kesal soalnya bapak gak makan duluan, padahal tinggal manasin. Please, sadar diri. Kalau sakit tetep saya yang repot.” Entah kenapa rasanya Shalsha begitu kesal. Dia menarik napasnya dalam dan memejamkan mata cukup lama. Danu bahkan belum makan. Dari tadi dia menanggapi Shalsha terus. “Sha? Kalau ngantuk dikamar.” “Diem,” ucap perempuan itu. Danu juga merasa ada kesetaraan disini, padahal sebelumnya dirinya merasa bisa mengendalikan Shalsha. Tapi yang membuat Danu kaget adalah kalimat, “Meskipun ini salah bapak yang udah bikin saya kesel, saya tetep akan minta maaf karena ngomel mulu. Bapak habisin makanannya, saya mau mandi. Nanti kalau udah selesai makan biarin aja, saya yang bakalan nyuci.” “Kamu gak makan?” “Udah tadi diluar.” Kali ini menjawab dengan nada tanpa rasa kesal. Namun setelah ditinggalkan Shalsha, Danu hanya menatap makanan didepannya dengan bingung. Kalau dia sedang membutuhkan teman atau seseorang, Danu akan pergi kerumah kedua orangtuanya untuk makan bersama, atau mungkin makan diluar bersama dengan temannya. Menikah dengan Shalsha memberikan rutinitas baru yaitu kursi diruang makan yang tidak kosong. “Udahlah makan aja,” ucapnya segera menghabiskan makanan. Sementara Shalsha sedang keramas sekarang. Jujur saja dia tidak enak mendapatkan banyak uang dari Danu tapi malah tidak mengurus pria itu dengan baik. Hanya itu kekhawatirannya. Namun jika harus mengurusnya 24 jam, Shalsha tidak sanggup karena dia memiliki kehidupan pribadi juga. “Kayaknya gue bentar lagi haid. Udah pegel pinggang sama sakit payudara.” Ditambah lagi sering mengantuk. Tanda-tandanya sangat jelas. “Mana udah lapar lagi.” Selesai mandi dan berpakaian, Shalsha keluar kamar untuk mencari camilan. Dia kaget dengan piring yang sudah bersih. “Woahh, dia nyuci piring?” menatap tidak percaya. *** Karena hari ini Danu ingin mengerjakan tugas, jadi dia keluar untuk meminta Shalsha membuatkannya camilan dan teh. Sekalian memberikan list yang akan dibawa ke Thailand lusa. Tok! Tok! Tok! “Sha, saya butuh bantuan,” panggilnya. Tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. “Sha?” panggil Danu lagi. Ketika membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Danu membukanya dan mengitip terlebih dahulu. Tidak terdengar suara gemercik air, jadi tidak ada dikamar mandi. “Lahh, disini ternyata. Kecil banget makannya kagak kelihatan,” ucap Danu menuju Shalsha yang terlelap dimeja belajarnya. Melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Shalsha, ternyata sedang mengerjakan tugas analisis kebijakan public. Rambut Shalsha menutupi wajahnya, membuat Danu refleks mendekatkan tangannya untuk menyingkab. Sampai… TRINGGG! Ponsel Danu berbunyi membuatnya bergegas merogoh dari saku. “Bap──” “Shhhhtt!” Danu mengisyaratkan Shalsha untuk diam. Untungnya perempuan itu peka dan membiarkan Danu bicara dulu. “Iya, saya akan selesaikan malam ini, Pak. Besok saya juga kayaknya gak masuk kampus, atau mungkin sebentar saja. Prepare untuk ke Thailand. Sekretaris saya sudah menyiapkan semuanya. Nanti juga saya didampingi oleh WR I.” melangkah duduk ditepi kasur Shalsha dan bicara sekitar lima menit dengan Shalsha yang terus menatap suaminya. “Baik, Pak. Sama-sama.” Baru telpon ditutup. “Bapak ngapain ih ke kamar saya? Mana duduk disana lagi ah.” “Saya panggil tapi gak nyaut, makannya saya masuk.” “Kan bisa ditelpon juga.” “Udah terlanjur masuk, saya minta bikinin camilan sama teh,” ucapnya kemudian melangkah pergi. “Pak! Gak mau minta maaf dulu udah masuk sembarangan?! Pak?!” Tapi diabaikan oleh Danu. “Gak papa, Ca, dia lagi pusing dapet job dari Yayasan.” Menuruti apa yang diinginkan suaminya. Nampan itu bahkan berisi tiga camilan sehat buatan Shalsha. “Ini camilannya, Pak.” “Oh iya, list buat packing udah saya kirim barusan kekamu. Siapin dari sekarang. Pokoknya satu koper saja, saya gak mau banyak-banyak.” “Okeyy, besok aja, Pak. Saya mau ngerjain tugas dulu. Pokoknya sebelum bapak berangkat, koper udah siap.” Melirik Shalsha yang menyusun camilan. “Saya keluar ya, Pak. Eh, ada lagi gak? Yang bapak perlukan?” “Kamu lagi ngerjain tugas analisis kebijakan public?” “Iya, Pak.” “Itu tugas yang sulit.” “Bener banget, Pak.” “Tapi saya ahli.” Shalsha terdiam. Lalu dia harus apa? “Oh, saya juga to be ahli kok. Lihat aja nanti,” ucapnya dengan percaya diri. “Udah kan? saya mau keluar.” Danu menyipitkan matanya begitu sang istri keluar. “Dia bisa sendiri?” kemudian tertawa meremehkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN