BAB VIII. Robot.
“Aku tidak suka dengan model yang ini.” Alice melemparkan gaun pernikahan yang baru saja dipilihkan oleh seorang petugas yang didatangkan Levin pagi ini.
Laki-laki itu—tidak, laki-laki setengah perempuan itu telihat menahan kekesalannya sejak tadi—sebab, ini adalah kali kelima Alice menolak rancangan gaun yang ia tawarkan.
“Yaampun bok. Ini gaun mahal punya. Bahannya juga limited edition. Di Indonesia kagak ada yang jual tau yey,” ujar pria itu, memungut gaun yang dilemparkan Alice ke atas ranjang dengan gerakan gemulai.
Sementara, pegawai-pegawai yang lain tidak berani mendekat, hanya melihat sambil membawakan stok gaun yang lain. Mungkin, mereka takut jika terkena semprot Alice?
Alice mendengus. “Masa sih Mbak Ernes—atau, Erni?” kening Alice berkerut, pura-pura menunjukkan raut wajah serius. "Kayaknya saya kemarin liat yang model gini di tanah abang deh.”
Dan, Alice nyaris menyemburkan tawa saat melihat muka dongkol laki-laki itu. Kayak pengen meledak—atau menyemburkan lahar panasnya ke arah Alice. Tapi, dia berhasil menahan diri.
“Erna, Sist. Erna. Situ kalau ngubah nama orang emang paling ahli yey. Gemas deh.”
Alice tergelak, sudah tidak tahan lagi. Si Erna tampak seperti orang menahan kentut sekarang, astaga.
Sungguh. Jika boleh jujur, Alice suka sekali dengan gaun-gaun yang sejak tadi diperlihatkan padanya. Semuanya cantik, berkelas, dan tampak menawan—yang bahkan Alice sendiri bingung mau memilih yang mana. Alice hanya tidak mau jika Levin mengira jika dirinya sudah dengan suka rela menerima pernikahan ini.
Dan, entah kenapa, ia ingin sekali melihat kemarahan pria itu ketika mendengar Alice menolak semua gaun pernikahan yang dipilihkan. Pasti akan sangat menyenangkan sekali.
“Ini stok gaun terakhir yang ay punya. Awas aja kalau yey masih nolak. Nanti kucubit-cubit pipi yey deh.” Erna berbalik. Mengambil gaun dari salah satu pegawainya yang berada paling ujung.
Ketika Erna kembali dengan gaun terakhir, Alice nyaris tidak bisa berkedip—saking terpesonanya dengan gaun itu. Sebab, mungkin ini adalah gaun paling indah yang pernah ia lihat. Gaun itu berwarna putih gading, dengan brokat yang cantik di bagian d**a. Tidak terlalu terbuka, sederhana, tapi tampak elegan dan mewah dengan taburan kristal di sepanjang pinggang, dengan ekor gaun menyentuh lantai.
“Nah. Terpukau juga kan yey. Apa juga ay bilang."
Alice berkedip dua kali, seolah tersadar. Si Erna sudah memasang wajah penuh kemenangan, dengan senyum lebar—sangat lebar hingga nyaris membuat bibirnya robek sebentar lagi. Dan, Alice mendengus. Walaupum keinginannya memakai gaun itu sangatlah besar, tapi Alice tidak boleh menyerah secepat ini. Alice tidak mau ada yang besar kepala melihatnya tunduk.
“Aku masih enggak suka.” Alice melengos, lalu mendudukan pantatnya ke atas ranjang, menyilangkan kaki. Ia lalu mengambil apel di atas nakas dan berlagak kayak tuan putri—yang membuat senyum Erna lenyap dari peradaban bumi.
Dan, Alice berdehem. Tawanya nyaris meledak lagi, astaga.
Suara pintu yang terbuka agak kasar membuat Alice nyaris terlonjak. Sosok pria berbalut setelan jas lengkap baru saja masuk, dengan wajah keras—dan raut sedatar triplek.
Semua orang langsung menundukkan kepala—memberi hormat. Tapi, tentu saja, tidak untuk Alice. Dirinya tidak akan terpengaruh dengan aura d******i yang menguar pekat di udara—berasal dari kedatangan pria itu.
“Aku dengar kau tidak mau memilih satu pun gaun hari ini, Alice.”
Alice menggigit apelnya lagi. Mencoba bersikap tak acuh. “Yah, mau bagaimana lagi? Tidak ada gaun yang aku suka. Kamu memberikan kebebasan buat aku memilih, ingat?”
Sebenarnya, bersikap angkuh seperti ini bukan ciri khas Alice sama sekali. Namun, harus bagaimana lagi? Hanya ini satu-satunya cara yang Alice tau untuk menjaga harga dirinya tetap utuh. Alice tidak suka dijajajah, dan hal inilah yang coba ia tunjukkan pada Levin. Sekarang.
Levin menipiskan jarak. Dengan satu alis terangkat ke atas--mengejek. “Umurmu sekarang berapa, Alice? Dua puluh satu, kan? Kenapa kau tidak bisa bersikap dewasa?”
Eh?
Alice mengerjab. Oke, egonya sedikit tertampar. Tapi, Alice tidak boleh menyerah secepat ini kan? Maka, ia meletakkan sisa apelnya ke atas nakas. Ikut berdiri dan menatap pria di depannya tajam. “Aku hanya tidak suka dengan gaun yang dia bawa, Tuan Levin yang terhormat. Kenapa Anda tidak bisa mengerti juga?”
“Alice, dengarkan aku.” Pria itu semakin menipiskan jarak, mengangkat dagu Alice dengan jemari besarnya, “ini sudah orang kelima yang aku datangkan untuk memperlihatkan gaun rancangannya padamu, ingat? Dan jawabanmu masih tetap sama. Sekarang, kesabaranku sudah mulai habis.”
Alice meringis saat pria itu melepaskan tangannya. Matanya menyorot penuh kebencian. Tapi, tampaknya Levin tidak peduli dengan hal itu. Ia justru mundur satu langkah dan berjalan menjauh.
“Erna, aku ambil gaun yang berada di tanganmu. Aku bahkan sudah tidak peduli apakah calon istriku itu menyukainya atau tidak.”
Setelahnya, pria itu bergerak dengan langkah lebar ke luar pintu. Di susul dengan suara bantingan setelahnya.
Alice kembali duduk di atas ranjang. Mengambil napas dalam untuk meredakan kemarahannya. Sebab, sekarang Alice tahu, bahwa seorang Mikhail Levin memang tidak pernah bisa dirinya lawan. Pria itu punya segalanya—yang bisa membuat Alice menyerah pada keadaan, dimulai dengan menyetujui pernikahan ini secara suka rela.
****
Alice hanya diam ketika Levin mengajaknya untuk melihat gladi bersih dekorasi pernikahannya di salah satu gedung terbesar di Jakarta. Pun ketika seorang wedding organizer tengah menjelaskan detail upacara pernikahan mereka, Alice tidak mendengarkan.
Dia tidak peduli sama sekali. Sebab, sekarang ini, Alice merasa jika dirinya tengah kehilangan harapan untuk menghindari pernikahan ini. Bahwa nyatanya, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain bersikap kekanakan. Ah, sialan.
“Aku harap kau bisa bersikap baik di hadapan orang-orangku, Alice. Terlepas kau memang menginginkan pernikahan ini atau tidak.”
Alice mengerjab saat suara Levin berbisik begitu dekat di telinganya. Di depan mereka, seorang lelaki berkemeja dongker dan sepatu bahan masih sibuk menjelaskan.
Ia menatap Levin dengan sebelah alis terangkat. Ia mengulum senyum manis. “Tentu saja, Tuan. Hamba akan menuruti perintah Anda dengan senang hati.”
Sebab, Alice sudah terlalu lelah untuk berkonfrontasi. Mungkin, menyindir dengan cara halus cukup efektif untuk membuat laki-laki itu tersadar.
Dan, Levin tidak membalas. Bahkan menampilkan raut wajah terganngu pun juga tidak. Alice hanya bisa mengerucutkan bibir dan menahan kekesalannya dalam hati. Pelan, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling gedung. Pada lampu kristal mewah ditengah ruangan, panggung pelaminan yang sudah setengah jadi, atau pada d******i warna emas dan perak di sepanjang mata memandang.
“Bagaimana menurutmu, Alice?”
Eh?
Tersentak, Alice melihat wajah Levin yang hanya menyisakan jarak sejengkal darinya. Ia tergagap, menatap sekitar. “Aku setuju dengamu.”
Sebelah alis pria itu terangkat. “Aku bahkan belum menyatakan pendapatku.”
Alice hanya bergumam untuk menanggapi. Rasanya melihat dekorasi gedung yang sedang dipasang lebih menarik daripada memandang wajah menyebalkan seorang Mikhail Levin. Mungkin memang benar jika lelaki itu se-tampan dewa Yunani, tapi tidak dengan sikap dan kepribadiannya.
“Oke. Sepertinya kau tidak tertarik dengan dekorasi ini, benar? Bagaimana jika aku menyuruh Rehan mengubah semuanya dalam waktu dua hari?”
Mata Akice membulat. Ia memandang Levin dengan sorot tak percaya. Laki-laki ini sudah gila, ya? Bagaimana dia bisa menyuruh orang melakukan hal mustahil semacam itu? Upacara pernikahan kurang daeri dua hari lagi, astaga. Alice bahkan bisa melihat wajah Rehan—sang wedding organizing itu memucat.
Pelan, Alice menghela napas. Rupaya dia harus mengalah lagi sekarang. Alice berontak, Levin tidak terima dan berhasil membungkam Alice dengan perintah. Sekarang, Alice mencoba untuk diam dan mengikuti. Tapi pria itu masih saja bersikap menyebalkan.
Jika hati Alice tidak terbuat dari baja, mungkin sekarang ia sudah mencakar wajah tampan pria itu dengan kukunya.
Alice kembali mengukir sunggingan manis, seolah dirinya adalah pasangan paling bahagia di dunia. “Tidak perlu diubah lagi. Aku sudah cukup puas dengan dekorasinya.”
Kedua alis pria itu terangkat tinggi, pun dengan sudut bibirnya, menyeringai. Dan, rasanya Alice ingin meledak saat melihat sinar kemenangan dari mata pria itu, seolah menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa di sini.
“Baiklah. Kalau begitu kita akan memakai dekorasi ini.”
Alice menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Dan, suara seorang bocah kecil membuat atensinya teralih.
“Ayah!”
Kening Alice berkrut ketika seorang bocah laki-laki berlari ke arah merkeka sambil tersenyum lebar. Matanya seketika membulat saat bocah itu mengambur ke dalam pelukan Levin yang sudah lebih dulu berjongkok.
“Hai jagoan. Bagimana kabarmu?” Levin menciumi pipi tembem sang anak, tampak bahagia sekali.
Dan, entah kenapa, Alice merasa jika pria itu tampak lebih manusiawi sekarang.
“Baik, Ayah. Kaffa tadi dibeliin mainan sama Bunda loh. Lihat deh.” Anak itu menunjukkkan sebuah mobil-mobilan kecil dari saku kemejanya, yang dibalas dengan antusias oleh Levin.
“Bagus. Tadi Kaffa ke sini sama siapa?”
“Sama Bunda dong. Itu dia lagi ngomong sama temennya.” Kaffa menunjuk seorang perempuan dengan balutan dress selutut, membentuk lekukan tubuhnya yang sempurna.
Wanita itu tampak bercakap-cakap dengan seorang pria di dekat pintu masuk. Sesekali rautnya tampak serius, lalu tertawa kecil. Cantik dan berkelas sekali. Seolah tahu ada yang mengamati, wanita itu menoleh dan mengulum senyum. Melamabai riang ke arah mereka.
Lalu, ketika wanita itu akhirnya berjalan dengan langkah anggun mendekati mereka, barulah Alice sadar jika ada sesuatu yangg tidak beres di sini.
Tiba-tiba, ada anak kecil yang memanggil Levin dengan sebutan ayah, juga wanita cantik yang kini mendekat—yang tadi dipanggil dengan sebutan Bunda.
Eh?
Alice meengerjab-gerjab. Matanya seketika terbelalak dengan bibir setengah terbuka.
Jangan-jangan, Alice Cuma dijadikan istri kedua? Atau kemungkinan yang paling parah, ternyata Alice sebenarnya tidak akan menikah dengan Mikhail Levin, melainkan ada pria lain yang sedang disiapkan untuknya.
Ya Tuhan, ini bencana!
***