Alice mengukir senyum, setengah terpaksa. Pelan, ia melangkah ke arah Levin yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Tentu saja, Alice tidak akan membiarkan laki-laki itu merasa jika dirinya menang. Bahwa mungkin, Levin berpikir jika Alice takut padanya, maka pria itu bisa berbuat seenaknya.
Alice akan menunjukkan bahwa dirinya tidak lemah. Maka, ia mengambil duduk tepat di sebelah pria itu, masih dengan sunggingan di bibir. Menoleh, ia menatap Levin berani. "Kenapa harus takut dengan calon suamiku sendiri?"
Alice bisa melihat kening pria itu berkerut dalam. Sedetik, sebuah tawa berat, agak serak menyusup ke telinga Alice tanpa penghalang. Ada senyum geli yang tertahan di bibir kemerahan itu. Dan, Alice menahan diri untuk tidak meledak dan melemparkan makian. Pria ini sedang mengejeknya ya? Memangnya apa yang salah?
"Bagus, Alice. Sepertinya kita selangkah lebih maju, benar? Sudah menerima kehadiranku, eh?"
Sialan pria ini!
Alice tidak menyangka jika respon seperti itu yang akan Levin berikan. Bukannya merasa senang karena berhasil menantang pria itu, Alice justru merasa kesal sekarang. Dia kalah telak. Di hadapan sang paman yang kini menatap mereka dengan senyum lebar.
Argh. Kenapa Alice menyesal dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi? Pria itu jadi semakin besar kepala.
Alice tidak bisa menyembunyikan raut sinis dalam wajahnya. "Memangnya aku bisa apa selain menerimamu? Apa aku punya pilihan?"
Hening. Sejenak. Alice bisa melihat rahang pria itu mengeras. Hanya berlangsung beberapa detik karena setelahnya, ia berhasil mengendalikan diri. Mengubah rautnya menjadi ramah dan bersahabat.
"Aku hanya perlu waktu untuk membuatmu jatuh cinta padaku, Alice. Setelahnya, kamu akan merasa jadi wanita paling beruntung di dunia karena bisa menikah denganku."
Alice benar-benar membenci seringai mengejek yang pria itu tampilkan. Alice mendengus. Omong kosong. Laki-laki pemaksa seperti dia, mana mungkin bisa membuat Alice bahagia? Alice yakin sekali, jika mereka benar-benar menikah nanti, Alice akan gila karena hanya bisa terkurung di rumah, dengan pengawasan ketat layaknya tersangka kasus pembunuhan. Dia itu~ sedang mencari citra positif dari pamannya atau apa?
"Oh, tentu saja aku percaya." masih dengan nada sinis yang sama, Alice menjawab pertanyaan pria itu.
"Sudah-sudah. Lebih baik kita segera bersiap-siap. Paman akan mengantarmu sampai depan, Alice. Dan kita akan bertemu lagi saat upacara pemberkatan nanti."
Suara paman Beni terdengar tenang, terkendali. Yang entah kenapa, membuat kekesalan Alice semakin memuncak, hingga rasanya ingin meledak saat ini juga. Alice memejamkan mata, sejenak. Dirinya tidak boleh kalah secepat ini. Jika paman Beni bisa membuangnya ke tempat Levin tanpa rasa bersalah, maka Alice juga bisa berpura-pura menikmati sebelum akhirnya mencari cara untuk lepas dari semua drama memuakkan ini.
Alice menatap sang paman, bibirnya mengulas senyum. "Tentu saja, Paman. Alice akan jadi anak baik sampai upacara pemberkatan selesai."
***
Ada hening yang sangat panjang ketika mobil yang dikendarai Levin mulai melaju meninggalkan rumah paman Beni. Alice tidak mau repot-repot membuka percakapan, begitu pun Levin yang memilih fokus pada kemudi. Hingga kemudian, suara berat pria itu terdengar,
"Alice, aku harap kau mau bekerja sama."
Kening Alice berkerut, ditatapnya pria itu dengan sebelah alis terangkat. "Kerjasama seperti apa yang Anda maksud? Mengikuti semua perintah Anda seperti b***k?"
"Tentu saja tidak. Kau boleh memilih apa yang kau sukai atau tidak. Nanti setelah kita sampai di rumah, akan ada beberapa orangku yang membawa gaun untuk pernikahan kita. Kau bisa memilih sesuai keinginanmu," lanjut pria itu lagi, tanpa melirik ke arah Alice sama sekali.
Melihat itu, Alice menghela napas. "Kenapa aku tidak mendapat pilihan untuk tidak menikah denganmu?"
Alice bisa melihat pria itu mencengkeram kemudinya erat, hingga buku jarinya memutih. Dan, Alice terksiap saat tatapan tajam milik pria itu melayang ke arahnya. Menusuk.
"Jangan bahas ini lagi, Alice. Suka atau pun tidak, kau akan tetap menjadi istriku."
Alice mendengus. Mengalihkan lagi tatapannya keluar jendela. Satu hal lagi yang ia pelajari. Bahwa berdebat dengan seorang Mikhail Levin hanya akan mendapatkan jalan buntu, dengan kemenangan mutlak milik pria itu seorang.
Beberapa menit kemudian, mobil Levin sudah memasuki gerbang. Perlahan, deru mobil berhenti sepenuhnya. Alice buru-buru keluar tanpa mempedulikan Levin. Dirinya masih benar-benar kesal dengan pria itu. Dan, kekesalan Alice semakin bertambah ketika ia memasuki rumah, beberapa bodyguard sudah mengikutinya dari belakang. Bergerak dalam diam dan awas, seolah Alice adalah anak kecil berumur delapan bulan yang harus dijaga dari beberbagai sisi.
Alice mendengus kesal. Ia kemudian berbalik dan mencari keberadaan Levin. Ketika menemukan pria itu sedang bercakap-cakap dengan salah satu pria berjas, Alice langsung menghampiri pria itu tanpa basa-basi.
"Aku tidak mau ada bodyguard yang mengikutiku. Aku bukan anak kecil yang akan tersesat tanpa pengawasan." Alice berujar tegas, dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Sementara, pria itu hanya meliriknya sekilas. Kemudian melanjutkan percakapan seolah Alice hanyalah seseorang yang tidak penting.
Dan, itu membuat kekesalan Alice makin memuncak. Menggertakkan gigi, Alice lalu berbalik dan membiarkan para bodyguard memimpin langkahnya untuk menuju kamar putih. Dalam hati, Alice bersumpah akan menghafalkan tiap bagian rumah ini agar dirinya tidak perlu lagi bergantung pada Levin dan para bodyguard sialannya itu.
****
Alice mendesah. Menggulung lagi selimutnya. Matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding. Pukul dua dini hari. Alice tidak bisa tidur. Dirinya merasa bosan luar biasa. Sebab, seharian ini dia hanya menghabiskan waktu di kamar ini, terkurung, tidak bisa beranjak kemana-mana, dan itu nyaris membuatnya gila lebih awal.
Alice menggigit bibir bawah. Dirinya ingat dengan perkataan Levin tadi siang, bahwa pria itu menyerah dan membiarkan Alice keluar dari kamarnya tanpa bodyguard. Alice sempat merasa heran. Tidak biasanya laki-laki itu mengiyakan permintaannya tanpa banyak bicara. Mungkin kepala Levin sedang terpantuk sesuatu, pikirnya.
Lagipula, seluruh bagian rumah ini dipasangi cctv, kata Levin. Jadi kalau pun Alice ingin kabur, dia akan segera ketahuan....
Ah, pria itu benar-benar licik. Alice jadi curiga jika Levin juga menaruh cctv di kamar mandinya. Lalu diam-diam memutar video saat Alice mandi dengan pikiran kotor yang berputar di kepalanya. Tanpa sadar, Alice bergidik, ngeri. Segera mengenyahkan pikiran konyol itu dari kepalanya. Levin tidak mungkin punya jiwa psikopat kan?
Tentu saja tidak.
Oke. Tarik napas. Hembuskan.
Sepertinya Alice perlu udara segar untuk mendinginkan isi kepalanya. Maka, ia segera beranjak dan keluar dari kamar. Menjulurkan kepala, Alice menengok ke sisi kanan dan kiri. Sepi. Tidak ada satu makhluk pun yang berkeliaran di lorong depan kamarnya.
Mengulum senyum, Alice melangkah santai menyusuri lorong. Beberapa kali lewat sini, Alice sudah cukup hafal dengan jalannya. Dan Alice yakin jika dirinya bisa sampai di taman kecil yang ia datangi dua hari lalu.
Ketika sampai di anak tangga terakhir, langkah Alice mendadak ragu. Ia berada di persimpangan lagi. Bingung dengan jalan yang harus ia lalui kali ini. Alice menggigit bibir, menimang-nimang. Lalu berbelok ke kanan. Sama saja, pikirnya. Alice yakin jika dirinya tidak akan tersesat kali ini.
Ketika langkahnya semakin jauh, Alice mendengar suara gemericik air di ujung lorong. Ada sebuah ruangan luas, yang lebih cocok disebut ballroom dengan grand piano besar di sudut ruangan. Pemutar musik klasik di sisi lainnya, dan juga... deretan pintu kaca di sisi yang mengarah keluar.
Dalam remang cahaya lampu, Alice bisa melihat dengan jelas jika dibalik pintu kaca itu terdapat sebuah kolam renang yang cukup luas, dengan sinar kebiruan yang memantulkan cahaya bulan. Rupanya, dari sanalah suara gemercik itu terdengar.
Alice memegang pinggiran pintu kaca, membiarkan hawa dingin merambati telapak tangannya, menusuk hingga ke tulang. Dan, bola mata Alice seketika melebar saat melihat punggung telanjang seseorang yang sedang meliuk indah di dalam air.
Orang gila mana yang berenang pukul dua dini hari?
Dengan rasa penasaran yang sudah mencapai ubun-ubun, Alice kemudian menggeser pintu kaca dan melangkah lebih dekat dengan sosok itu. Meski terbesit rasa takut dalam pikirannya, tapi Alice tetap saja nekat demi menjawab rasa penasarannya.
Waktu berlalu begitu lambat kemudian. Mata Alice seolah tepaku pada tubuh indah yang masih meliukkan tubuhnya. Geekannya begitu tegas, berwibawa, sekaligus bisa terlihat luwes secara bersamaan. Dan, Alice seolah tersihir. Ada kekuatan tak kasap mata yang membuat tubuhnya mendadak terpaku di tanah, dengan manik yang mengikuti sosok itu lekat-lekat.
Napas Alice seolah menghilang saat secara perlahan, sosok itu berenang ke tepi kolam, hingga kemudian berdiri dengan menyisakan tetes-tetes air yang berjatuhan dari rambutnya, menuju kening, kelopak matanya yang masih tertutup, rahang, hingga dagunya yang tegas. Tepat ketika mata itu terbuka, tatapan mereka langsung beradu. Dan, saat itu pula Alice sadar jika sosok itu adalah...
Mikhail Levin.
****
Alice terkesiap, mundur selangkah. Maniknya masih bertubrukan dengan iris setajam elang milik Levin ketika pria itu mulai menaiki tangga kolam, berjalan ke arahnya. Pelan, tegas, dengan aura intimidasi yang menguar pekat ke udara. Dan, Alice menelan ludah. Napasnya mendadak tercekat.
Kaki Alice masih memaku ke tanah ketika Levin berhasil mencapai jarak dua langkah darinya. Lalu, suara berat pria itu terdengar, berdesir halus di telinga Alice. "Apa yang kau lakukan di sini, Alice?"
Alice berkedip dua kali. Dilihatnya pria itu tengah menggosok rambutnya dengan handuk putih. Tampak begitu menggoda di bawah sinar keperakan bulan. Dalam benak, Alice berpikir; apa pria itu tidak kedinginan? Memangnya tubuh Levin terbuat dari apa?
Membasahi bibir bawahnya yang kering, Alice mencoba mengeluarkan suara, "Ak.. aku hanya... sedang mencari udara segar."
Sialan. Kenapa nada bicara Alice terdengar gugup?
Alice bisa melihat seringai di bibir kemerahan itu. Seperti sedang mengejeknya. Pelan, dia kembali menipiskan jarak. Dan Alice merasa jika punggungnya sudah menyentuh pintu kaca. Maniknya melebar. "Jangan mendekat lagi," pekiknya, tertahan oleh gugup.
Bagaimana bisa efek Mikhail Levin berubah se-mengerikan ini? Membuat Alice nyaris kehilangan napas saat aroma lembut citrus dan segarnya lemon mulai menggelitik kewarasannya. Sistem kerja otak Alice mendadak lumpuh.
Lagi-lagi, Alice menelan ludah. Dirinya tidak bisa bergerak ketika tangan besar pria itu terangkat menuju pipinya. Dan Alice tersentak mundur saat telapak dingin itu membuat sistem syarafnya mendadak beku. Pelan, jari-jari itu merayap hingga dagu, mengangkatnya perlahan hingga wajah mereka nyaris tak berjarak.
Dan, Alice meringis perih ketika pria itu mempererat cengkramannya. "Kau pikir, apa yang sedang kau lakukan dengan gaun setipis ini, Alice? Menggoda serigala yang sedang berjaga?
Eh?
Alice mengerjab, pelan. Apa maksudnya? Pandangan Alice langsung turun pada pakaian yang ia kenakan; sebuah gaun tidur selutut dengan cardigan yang membungkus lengannya hingga pergelangan tangan. Tidak ada yang salah sama sekali, kecuali... kerah gaun yang terlalu lebar—nyaris memperlihatkan setengah dadanya. Alice buru-buru menutupi dengan kedua tangan. Rasa panas menjalari pipinya tanpa dikomando.
Alice menunduk, menggigit bibir bawahnya sebelum berujar, terbata. "Se...sebaiknya aku pergi sekarang."
Dorongan tangan kecil Alice di bahu pria itu membuat sedikit ruang di antara mereka. Dan Alice menggunakan kesempatan itu untuk segera melarikan diri. Tentu saja, Alice tidak akan tahan berada di dekat Levin lebih lama dari ini. Sebab, Alice sendiri tidak begitu yakin jika dirinya bisa bertahan. Situasinya terlalu manis untuk ditolak.
Alice memukul kepalanya dengan tangan, berulang kali untuk mengembalikan kesadarannya kembali. Tidak, Alice, kamu tidak boleh menyerah secepat ini. Perang bahkan belum di mulai...
"Alice, kau salah jalan. Biarkan aku mengantarmu kembali ke kamar."
Alice terkesiap. Langkahnya langsung terhenti. Baru saja hendak menoleh, sebuah telapak tangan dingin sudah melingkupi jarinya, memberi genggaman erat. Levin sudah menjulang di sampingnya, tanpa menoleh. Kali ini dengan balutan bathrobe warna hitam.
"Jangan membantah, Alice."
Setelahnya, Alice hanya bisa pasrah ketika pria itu mulai menarik tangannya, membawa Alice melewati lorong-lorong dengan pencahayaan oranye lembut, berasal dari lampu-lampu kecil yang tergantung di sepanjang lorong.
***