Alice hanya bisa menatap semua itu dalam diam. Mereka tampak seperti... keluarga bahagia. Seorang anak laki-laki yang lucu, istri cantik dan berkelas, serta suami tampan nan kaya raya. Nyaris seperti gambaran dongeng yang seringkali ia baca. Begitu sempurna, tanpa cela.
Dan, Alice merasa jika dirinya sudah tidak dibutuhkan sekarang. Atau, lebih baik Alice menyelinap keluar dari sini diam-diam dan mengungsi ke rumah temannya? Sepertinya itu ide yang sangat menarik. Sebab, Alice sudah tidak tahan dengan situasi yang tengah dirinya hadapi sekarang.
Baru selangkah dirinya mundur, suara berat Levin menghentikan pergerakannya. Lelaki itu menarik lengannya tanpa rasa bersalah, hingga posisi mereka sejajar sekarang. Alice berkedip saat wanita itu mengulurkan tangan.
"Hallo Alice." dia menyapa ramah, bibirnya mengulum senyum. Meski ragu, Alice membalas jabatan tangan itu. "Namaku Clara."
Alice mengangguk. Lalu melepaskan tautan tangan mereka. Kebingungan masih menggelayuti kepalanya saat ini. Jika benar wanita itu adalah istri pertama Levin, kenapa ia malah menyambut hangat calon istri kedua dari suaminya?
Dan, sampai sekarang, Alice masih bingung dengan jalan pikiran Levin. Apa yang kurang dari seorang Clara hingga dia memakasa Alice untuk menikahinya? Levin itu... benar-benar b******k.
Sebuah tawa kecil membuat buyar lamunan Alice. Clara sedang menutup bibirnya dengan sebelah tangan. Bahkan saat tertawa seperti ini pun dia masih terlihat anggun...
"Ya Tuhan, ekspresimu lucu sekali." masih ada sisa-sisa tawa terdengar. "Kamu pasti bingung kan kenapa Kaffa memanggil calon suamimu ayah?"
Eh? Alice mengerjab. Keningnya berkerut dalam. Ia kemudian berkata dengan nada polos, "Anda itu... istri pertamanya Pak Levin kan?"
Wanita itu tergelak lagi. Kali ini sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Alice sendiri semakin kebingungan. Sebenarnya, apa yang lucu di sini? Kenapa wanita itu terus tertawa sejak tadi? Apa ini alasan Levin hendak menduakannya? Karena dia punya kelainan tidak bisa berhenti tertawa, mungkin?
Alice menoleh ke sisi kanannya. Tidak menemukan keberadaan Levin. Rupanya pria itu sedang mengajak Kaffa mendatangi sebuah meja di sudut ruangan, tempat prasmanan yang memang sengaja dihidangkan untuk para pekerja. Ah, sialan. Kenapa Alice malah terjebak si sini?
"Maafkan aku, Alice. Rupanya kamu memang salah paham. Biarkan aku memperkenalkan diriku lagi." ia kembali mengulurkan tangan. Yang dibalas Alice dengan kebingungan yang sama.
"Namaku Clara Adrienne. Kakak perempuan Mikhail. Dan, bocah laki-laki yang Mikhail gendong adalah anakku. Yang juga merupakan keponakannya."
Eh? Alice berkedip dua kali. Wajahnya seketika terasa panas. Rasa malu menjalar dari pipi hingga ke leher. Ternyata duagaannya melenceng sangat jauh. Clara bukan istri Levin, wanita simpanan, apalagi selingkuhannya. Sungguh. Jika di sini ada pilihan buat menghilang, Alice sudah memilih opsi itu dari tadi.
Alice buru-buru menundukkan kepala. "Maafkan aku," ujarnya, nyaris berbisik.
"Tidak apa-apa, Alice. Wajar jika kamu berpikiran seperti itu."
Pelan, Alice mengangkat wajah. Clara sudah mengukir senyuman lagi. Tampak bergitu cantik dan menawan. Sebagai seorang wanita, Alice saja mengagumi wajah itu. Apalagi pria...
"Ayo. Kita susul Kaffa sambil bercerita."
Alice tidak sempat menolak saat Clara menarik lengannya untuk mengikuti.
"Ayahnya Kaffa sudah meninggal sejak Kaffa lahir. Jadi, Mikhail sudah seperti pengganti ayahnya sendiri. Dan aku tidak bisa melarangnya untuk memanggil Mikhail ayah." Clara menoleh. Sorotnya berubah serius. "Jadi Alice, karena sekarang kamu adalah calon istrinya, aku meminta izinmu. Bolehkah Kaffa tetap memanggil Mikha dengan sebutan ayah?" ada binar harapan di matanya. "Kelak, jika Kaffa sudah dewasa, aku akan menceritakan semua kebenaran itu pelan-pelan."
Dan, Alice menelan ludah. Merasa jika dirinya tidak pantas menerima permohonan ijin dari Clara. Namun, pada akhirnya ia tetap mengangguk. "Tentu saja Kak. Levin punya hak penuh untuk membiarkan Kaffa memanggilnya ayah. Aku hanya bisa mendukung keputusannya."
Oh, dan rasanya Alice ingin muntah sekarang. Mendukung seorang pemaksa semacam Mikhail Levin? Oh. Yang benar saja. Perkataan konyol apa itu? Mungkin, setelah ini, Alice akan memersihkan mulutnya dengan sabun.
"Ah. Kamu memang calon istri yang baik, Alice. Levin tidak salah memilihmu." Clara tersenyum lebar, menepuk pundak Alice sekilas. "Nah. Kalau begitu, aku tinggal dulu ya. Kaffa belum makan siang dari tadi."
Alice mengangguk singkat. Di detik berikutnya, Clara sudah berjalan mendekati Levin, bercakap-cakap sejenak, lalu mengambil Kaffa yang mulutnya belepotan cokelat dari tangan Levin. Setelahnya, wanita itu keluar dari pintu di samping gedung.
Alice mengambil napas. Sebab, tidak semua pemikirannya selalu benar. Dirinya nyaris saja ingin menghajar Levin jika dugaannya memang benar. Sebab, pada dasarnya, tidak ada wanita yang ingin diduakan atau dinomorduakan kan? Alice tidak sudi menikah dengan pria itu jika ternyata cuma dijadikan istri kedua.
Eh? Pemikiran macam apa tadi? Seolah Alice akan menjadi seorang istri sungguhan saja. Alice memukul dahinya dengan kepalan tangan. Dasar bodoh.
Sedetik, sebuah jemari besar menghentikan pergerakan tangannya. Mendongak, orang yang sedari tadi meracuni otaknya sudah berdiri menjulang, menatapnya dengan sebelah alis terangkat, tak lupa dengan manik yang menghujam tajam.
"Apa yang sedang kau lakukan, Alice?"
Alice berkedip. Menjauhkan tangannya dari genggaman Levin dan mundur selangkah. Ia memalingkan wajah. "Bukan urusanmu juga kan?"
"Terserah kau saja." jawaban pria itu terdengar datar. "Kalau tidak ada yang ingin kau lihat lagi, sebaliknya kita pulang saja."
Alice mengambil napas. Sebenarnya, dia malas sekali jika harus kembali ke rumah sialan itu. Dia benar-benar bosan dan rasanya ingin mati saja. Alice meridukan udara segar, juga sesuatu yang baru seperti ini. Maka ia kembali menatap Levin seraya berkata "Aku butuh udara segar yang sangat banyak. Kalau Anda mau pulang dulu, silahkan."
"Seolah aku akan menuruti permintaanmu saja," balas Levin, sarkastik.
Dan, Alice memutar bola mata. Tentu saja. Apa yang dirinya harapkan? Levin akan meninggalkannya di sini sendirian dan Alice bisa pergi ke mana pun yang ia inginkan? Itu cuma bisa terwujud dalam mimpi.
"Ikut aku dengan sukarela atau kuseret saja?"
"Terserah!"
Dan, Alice bersumpah jika dirinya baru saja melihat senyum kemenangan di bibir Levin. Sialan. Kenapa dia selalu suka jika Alice akhirnya menyerah?
***
Kening Alice berkerut dalam. Ia memandang sesuatu di depannya dan wajah Levin bergantian. Pria itu hanya memasang wajah datar dengan tangan yang masih memegang kemudi. Sedangkan, Alice tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan sekarang?
Sungguh. Alice benar-benar tidak paham. Ada rasa tak percaya sekaligus heran dalam benaknya. Lagi, Alice menatap hamparan pasir putih di depannya--masih tidak berubah. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ternyata, seorang Mikhail Levin bisa bersikap manusiawi juga. Alice tak menyangka jika pria itu akan mengiyakan permintaannya untuk liburan.
"Kau tidak mau turun, hm?"
Alice berkedip dua kali. Dilihatnya Levin yang mulai membuka pintu dan turun. Tak mau membuang waktu, Alice segera mengikuti langkah Levin yang tengah berjalan ke arah pantai.
Tapi, ditengah jalan, Alice berhenti. Hey. Untuk apa mengikuti pria itu? Lebih baik ia bersenang-senang sendiri.
Melirik sekitar, Alice melihat beberapa rumah makan yang menghadap langsung ke arah pantai. Cukup ramai, didominasi oleh para remaja dan pasangannya. Ah. Bikin iri saja. Alice jadi ingat jika dia punya gebetan di kampus, pernah sekali mengajaknya dinner bareng. Apa kabar pria iti sekarang, ya?
"Alice. Apa yang kau laukukan di sana? Jangan coba-coba untuk kabur."
Alice berdecak kesal. Menatap Levin yang kini berjarak sepuluh langkah darinya, dengan sepasang mata yang menyorot tajam--tidak mau dibantah.
"Aku tidak mau dikira anakmu, Pak. Jadi aku menjaga jarak darimu," balasnya asal. Alice bersedekap dengan raut malas.
Pria itu tampak tersinggung. Dia mmelangkah lebar-lebar ke arahnya. Ketika jarak tersisa satu langkah, Levin berujar dengan nada gusar. "Apa katamu?"
Alice menggeleng pelan. "Aku tidak mengatakan apa pun. Mungkin Anda salah dengar."
"Jangan memancing kemarahanku, Alice," geramnya, dengan manik berkilat tak suka.
Oke, Alice menarik lagi kata-katanya yang memuji jika pria itu ternyata bisa bersikap baik. Sebab, Levin tetaplah Levin. Seorang pria menyebalkan dan keras kepala.
Baiklah. Untuk saat ini, Alice tidak mau memancing perdebatan lagi. Ia tidak mau acara liburannya terganggu dengan konfrontasi tidak jelas dengan Levin. Jika ia nekat melanjutkan, mungkin mereka akan terus berdebat hingga besok pagi, membuat dua jam perjalanan ke sini sia-sia.
Alice mengulum senyum--yang semoga saja terlihat manis di mata pria itu. "Aku tidak bermaksud memancing kemarahanmu, Pak. Jadi bisa biarkan aku berkeliling pantai ini sendirian tanpa pengawal? Sebab, aku ingin menikmati libuaranku tanpa gangguan dari siapa pun."
"Jadi kau menganggapku gangguan?" sambar Levin cepat, dengan rahang mengeras. Tampak sekali sedang menahan jiwa monsternya untuk tidak menampakkan diri. Sedang, Alice hanya bisa mengambil napas dalam.
Kenapa rasanya Alice terlihat selalu salah di mata Levin?
"Tidak." Alice mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Kenapa tidak Anda sudahi pembicaraan tak penting ini dan membiarkanku pergi? Aku janji tidak akan kabur kemana pun. Sungguh."
Dan, Alice tidak bisa menahan hatinya untuk bersorak penuh kemenangan saat melihat raut wajah Levin mulai merileks.
"Kamu akan dapat waktumu nanti, Alice. Setelah kita makan siang."
Mata Alice melebar. "Aku tidak lap--"
"Jangan membantah."
Dan, Alice hanya bisa pasrah saat tangan besar pria itu menarik jemarinya. Menuju rumah makan terdekat yang sedari tadi menyebarkan harum ikan bakar yang menggoda perut. Lalu, seolah tau akan mendapat asupan, cacing-cacing di perut Alice mulai berbunyi nyaring.
Yah, semoga saja Levin tidak mendengar suara perutnya.
***
"Sepertinya ini lebih tepat disebut makan sore--alih-alih makan siang." Alice menatap semburat jingga yang mulai memenuhi langit. Lalu pada piring di depannya yang tinggal tersisa kepala dan duri ikan. Alice melirik piring milik Levin. Masih ada nasi dan separuh ikan yang masih utuh.
Ini karena Alice yang terlalu kelaparan dan menghabiskan makanan dengan cepat atau Levin yang makannya terlalu lambat, sih? Sudah mirip Putri Solo saja.
Tau tak mendapat balasan, Alice menyangga dagunya dengan siku terlipat. Menatap Levin sambil berujar lagi. "Apa alasanmu membawaku kemari?"
"Aku tidak akan menemuimu dalam dua hari ini. Jadi, anggap saja ini hadiah yang kuberikan padamu sebelum kau sah menjadi istriku, Alice."
Dan, Alice berkedip beberapa kali. Hey! Dia tidak salah dengar kan? Apa tadi? Levin tidak akan menemuinya selama dua hari? Itu adalah kabar paling bahagia yang pernah Alice terima sepanjang hidup.
Ayo, katakan selamat tinggal untuk pria menyebalkan kita sekarang.
***