BAB 6; Potret.
Alice membuka tirai jendela, mersakan sinar jingga menerangi setiap sudut di kamarnya. Menghirup napas dalam, pandangan Alice menyapu sekeliling. Pada lemari dua pintu di samping meja riasnya, atau pada foto-foto semasa SMP hingga kuliah yang terpajang di dinding.
Alice berjalan mendekati salah satu bingkai yang berisi potret dirinya mengenakan seragam putih biru. Sosok dalam foto itu tersenyum lebar sambil merangkul kedua kawannya di sisi kanan dan kiri. Alice ingat, waktu itu adalah pengumuman kelulusan, Alice bahagia karena mereka bertiga lulus dengan nilai yang cukup baik. Di antara keduanya, hanya Alice saja yang seragamnya masih putih bersih, berbanding terbalik dengan milik kedua temannya yang penuh coretan dan pilok.
Alice tersenyum kecil, beralih pada potret dirinya yang lain. Ada fotonya ketika masih SMA, dengan latar tempat depan gerbang sekolah, bersama teman satu kelasnya. Waktu itu hampir mendekati ujian nasional, diambil sebagai foto kenang-kenangan yang akan di taruh pada buku tahunan.
Tiba-tiba, senyum Alice berubah pedih. Dirinya tidak punya foto ketika SD, sama sekali. Bahkan foto kedua orangtuanya pun hanya ada satu, pemberian bibi Aurin ketika Alice duduk di bangku dua SMA, awal ketika Alice tahu identitasnya yang sebenarnya. Sebuah kenyataan pahit jika kedua orang tuanya sudah meninggal.
Alice mengambil napas dalam ketika paru-parunya mendadak sesak dan bola matanya memanas. Mengerjab beberapa kali, Alice mengamati kamar yang menemaninya sejak kecil ini. Dia pasti akan merindukan kehangatan kamar ini. Pada tumpukan buku di atas meja belajarnya, aneka boneka panda di atas ranjang, bahkan bekas rembesan air hujan di beberapa bagian dindingnya.
Apa Alice siap tinggal di rumah besar Levin sendirian? Jawabannya tentu tidak. Sebab, sebagai jiwa Alice masih melekat pada rumah ini, pada kenyamanan yang di tawarkan setiap jengkal bangunan, atau pada tawa dan kehangatan yang diberikan seluruh penghuni rumahnya.
Alice pasti akan merindukan ucapan konyol Randi tentang bumi yang akan diserang alien, juga perkataan Aurin dan Beni yang terkadang membuatnya kesal tetapi sekaligus juga bisa menyadarkan Alice.
Sebuah ketukan di pintu membuat atensi Alice teralih. Wajah Randi muncul berikut tubuhnya yang tambun. Lelaki itu kemudian masuk dengan wajah tetekuk. Pipi gempalnya terlihat semakin penuh saat bibir kemerahan itu mengerucut.
Alice tersenyum geli. "Kok jelek gitu sih mukanya."
Lelaki berusia dua belas tahun itu berlari, menghambur cepat ke dalam pelukan Alice. Alice yang tidak siap nyaris saja terhuyung ke belakang. Tapi tidak jadi karena Randi memeluknya erat sekali. Alice terkekeh kecil, mengusap ujug kepala Randi yang sudah mencapai dagunya. Dari dulu, Randi selalu bersikap manja padanya, meski seringkali juga suka bertingkah usil.
"Katanya Kak Alice mau pergi ya?" suara Randi terdengar serak. Seketika, gerakan tangan Alice terhenti. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Randi. Apa Randi akan paham jika Alice ceritakan yang sejujurnya?
Alice melepaskan pelukannya perlahan. Diusapnya air mata yang meleleh di pipi Randi. Sorot mata Alice melembut, "Masa udah gede masih nangis sih? Enggak malu sama kawan-kawanmu?"
Randi menggeleng. "Enggak lah. Orang mereka gak tau kalo aku nangis," jawabnya polos.
"Dasar." Alice mencubit pipi Randi yang memerah. Lalu menangkup kedua pipinya dan menatap Randi lekat, "enggak usah khawatir. Kakak perginya gak jauh kok. Nanti Randi masih bisa main ke rumah Kakak yang baru."
Alice merasa lidahnya terbelit saat mengatakan kalimat terakhir. Tidak terlalu suka dengan penyebutan kata 'rumah baru' yang mana itu berarti sebuah bangunan mewah yang dingin, dengan sesosok pria kutub yang arogan dan bossy di dalamnya. Ah, dan jangan lupakan pagar hidup yang menjaga tiap sisi rumah itu 24 jam. Hanya membayangkannya saja sudah membuat Alice bergidik ngeri, malas sekali jika harus menginjakkan kaki di sana.
"Tapi kan, aku jadi enggak bisa jahilin Kakak lagi. Nanti yang nemenin aku main siapa? Yang nganter beli es depan komplek juga siapa?" suara Randi terdengar merengek, persis seperti anak usia empat tahun yang minta dibelikan permen. Sangat bukan Randi yang biasanya.
Bibir Alice hendak terbuka untuk menjawab. Namun kemunculan Aurin di ambang pintu membuat Alice kembali mengatubkan mulut.
Aurin berkacak pinggang. "Randi sini. Jangan gangguin Kak Alice. Nanti enggak selesai-selesai beres-beresnya."
"Enggak mau." Randi menoleh sekilas. Melihat muka ibunya yang menampilkan raut garang. Ia bergidik dan kembali memeluk Alice erat. Tapi, Aurin maju selangkah dan menarik bahunya.
Alice terkesiap saat Randi menyelipkan sesuatu di tangannya. Baru saja hendak bertanya, tapi keduanya sudah keburu menghilang dibalik pintu. Kening Alice berkerut, membuka lembaran kertas yang diselipkan Randi dan tersenyum kecil saat melihat isinya. Sebuah foto box dirinya dan Randi sekitar satu bulan lalu. Alice menaruh foto itu ke dalam saku piamanya. Mulai bersiap untuk membereskan barang-barang yang ia perlukan untuk pindah ke rumah Levin.
***
Alice menggelung rambutnya ke atas. Satu jam beres-beres membuatnya sedikit gerah. Alice sudah menaruh buku-buku yang ia perlukan untuk kuliah ke dalam kardus. Mungkin besok pagi Alice akan ke kampus untuk meminta cuti sementara waktu.
Sekarang tinggal mengemas pakaiannya. Alice akan membawa cukup banyak, mengingat dirinya tidak terlalu suka dengan puluhan dress yang Levin persiapkan untuknya. Tapi, gerakan Alice agak meragu. Sebuah pemikiran melintasi benaknya. Buat apa Alice bawa pakaian terlalu banyak jika dia tidak berniat untuk tinggal di rumah itu terlalu lama?
Alice sudah memikirkan sebuah rencana yang ia kira bisa membuat Levin membatalkan pernikahan ini secara sepihak. Mungkin agak sedikit kekanak-kanakan, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba kan?
Alice kembali memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari. Tiba-tiba dirinya teringat sesuatu. Kalau tidak salah, Aurin pernah bilang jika dia masih menyimpan benda-benda peninggalan ibunya di gudang belakang. Selama ini Alice merasa belum siap jika harus menginjakkan kaki ke sana. Takut jika membuka kenangan lama akan menimbulkan sakit di dadanya.
Tapi sekarang, Alice harus memberanikan diri, menekan ketakutan-ketakukan yang selama ini menghantuinya kuat-kuat. Mungkin saja ia bisa menemukan beberapa benda yang bisa mengingatkannya dengan kepingan masa lalu yang hilang.
Atau mungkin juga, Alice bisa menemukan sesuatu, sesuatu yang cukup kuat untuk menolak pernikahan ini dengan tegas. Ya, Alice tidak boleh menyerah begitu saja.
Maka, Alice bergegas bangkit. Meninggalkan seluruh pekerjaannya yang belum beres dan setengah berlari menuju gudang belakang.
***
Alice mencengkeram gangang pintu di depannya erat. Sejenak, langkahnya meragu. Ketakutan itu datang lagi. Kali ini sanggup membuat tubuhnya gemetar. Sebab, pada kenyataannya, teori memang lebih mudah dari dari praktek. Namun, mau tak mau, Alice harus mampu meredam ketakukannya kan? Demi sebuah kebenaran... demi masa depannya.
Alice mengambil napas dalam-dalam, melegakan paru-parunya yang sesak. Pelan, pintu itu terbuka, dan Alice tetap tidak bisa mengontrol degupan jantungnya memompa keras. Semua akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu ditakutkan....
Bau khas debu langsung mennyergap hidung Alice ketika pintu mulai terbuka sempurna. Sedikit terbatuk-batuk, Alice menutupi hidungnya dengan telapak tangan dan mulai melangkah masuk. Pandangannya bertemu dengan beberapa perabotan yang tertutup debu, dipenuhi sarang laba-laba dan kotor. Tapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan tekadnya untuk mencari tahu lebih jauh.
Mata bulat Alice mulai mengedar. Pada guci keramik di sudut ruangan, sofa tua yang tertutup kain putih, meja rias yang kacanya sudah mulai retak, dan juga... sebuah lukisan berdebu yang tergantung di dinding. Lukisan itu tidak terlalu jelas terlihat karena tumpukan debu.
Alice melirik sekitar. Mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membereskan debu dengan cepat, setidaknya supaya lukisan itu bisa terlihat. Senyumnya tersungging saat menemukan sapu ijuk yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Di dorong oleh penasaran, Alice mulai membersihkan lukisan itu. Tak lupa menutupi hidungnya agar tidak ada kotoran yang masuk. Perlahan, bentuk lukisan itu mulai terlihat, dari sapuan putih yang ternyata sebuah gaun pengantin, tuksedo hitam sang mempelai pria, sebuah tangan yang melingkar di pinggang, dan juga dua wajah manusia yang tersenyum lebar, dengan tatapan penuh cinta.
Dan, Alice merasa tersihir. Tiba-tiba, sebuah kerinduan menyusup dalam pori-pori tubuhnya, mengalir lembut hingga ke jantung, membuatnya berdegup dua kali lebih kencang. Alice menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan dorongan mendessakkan air matanya keluar.
Alice merasa jika dirinya pernah begitu dekat dengan kedua sosok itu. Sorot mata teduh milik sang mempelai wanita begitu mirip dengannya, juga senyuman serupa buah ceri yang masak, persis dengan miliknya. Alice yakin sekali jika lukisan ini adalah lukisan kedua orangtuanya saat menikah dulu. Dan, Alice merasa jika lukian ini begitu hidup, seolah menariknya pada pusaran masa lalu.
Alice berkedip. Pipinya basah. Ia buru-buru mengusapnya dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Lalu, matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang diletakkan di atas meja, tidak jauh dari lukisan tadi diletakkan. Menjulurkan tangan, Alice mengambil bingkai itu dan melihat fotonya lekat-lekat. Dua anak laki-laki—yang lebih cocok disebut remaja, berdiri di antara satu anak perempuan yang lebih kecil. Mereka tersenyum lebar ke arah kamera, menampilkan deretan gigi s**u yang bersih. Dengan tangan saling merangkul dan terlihat begitu dekat.
Mereka, siapa?
Tidak ada satu pun ingatan Alice yang mengarah pada mereka, pada kenangan yang pernah mereka alami sejak kecil. Apa mungkin jika anak perempuan itu adalah dirinya semasa kecil?
"Alice!"
Terkesiap, Alice nyaris menjatuhkan bingkai yang ia pegang. Suara bibinya terdengar dari arah dapur.
"Makan malam dulu," lanjut sang bibi lagi.
"Iya Bi, sebentar."
Alice buru-buru membuka bingkai itu, mengambil foto usangnya dan menaruhnya pada saku piama. Mungkin, suatu saat nanti foto ini akan berguna, pikirnya. Setelahnya, Alice segera beranjak. Menuju tempat sang bibi yang tengah menunggu kehadirannya.
****
"Kenapa aku harus tinggal di sana sebelum menikah Bi? Kenapa tidak tinggal di sini saja? Dan kenapa harus terburu-buru?" wajah Alice menekuk ke bawah ketika dirinya mulai menuruni anak tangga. Di belakangnya, Aurin membantu membawakan tas yang akan Alice bawa ke rumah Levin.
Rasanya~ Alice masih belum paham dengan semuanya. Pernikahan ini terasa tidak masuk akal. Tidak logis. Jika memang dirinya dan Levin waktu kecil memang saling mengenal, kenapa tidak menjalin hubungan baik saja? Kenapa harus menikah?
"Nanti Levin sendiri yang akan menjawab pertanyaan itu, Alice. Sekarang cepatlah turun karena calon suamimu sudah menunggu di bawah."
Alice berdecak. Sengaja menghentakkan kakinya kuat-kuat ketika berjalan lagi. Kenapa tidak ada satu orang pun yang mau membela Alice atau pun mendengar keinginannya?
Tiba-tiba, sebuah jarum menusuk hatinya. Memangnya, kamu itu siapa, Alice? Apa yang kamu punya sampai berharap ada orang yang akan mendukungmu? Bahkan, kedua orang tuamu pun sudah tidak ada...
Alice mengambil napas dalam. Mengerjabkan mata beberapa kali untuk menghalau air mata yang hendak jatuh. Ia hanya diam saja ketika Aurin berjalan mendahuluinya menuju pintu keluar. Yang Alice tahu, sekarang ini, pak tua Levin yang terhormat itu sedang menunggu kedatangannya di ruang tamu. Dan, mau tidak mau, Alice harus menyapa kedatangan pria itu dengan senyuman lebar. Ah, sialan.
Ketika langkah Alice membawanya ke arah ruang tamu, ia tertegun, sejenak. Ada yang aneh dengan pemandangan yang kini tersaji di hadapannya. Kedua pria itu—Levin dan paman Beni sedang duduk berhadapan, dengan dua cangkir kopi dan beberapa camilan di atas meja. Tapi, bukan itu yang membuat Alice tertegun. Melainkan, suara tawa keduanya yang terdengar lepas, seolah tanpa beban. Alice sendiri sangat tahu sifat paman Beni. Dia tipe orang yang dingin, tidak gampang akrab dengan orang baru, bahkan tersenyum pun juga jarang. Tapi kenapa sekarang...
Alice terkesiap saat paman Beni berujar, menyuruhnya mendekat. Sekilas, dirinya bisa melihat tatapan milik Levin yang menghujam tajam ke arahnya, membuat Alice menelan ludahnya gugup. Mencoba mengulum senyum, Alice mendekati keduanya dengan langkah hati-hati.
Dan, Alice tidak bisa menahan debaran jantungnya untuk bertalu lebih cepat. Berada di jarak yang terlalu dekat dengan Levin menimbulkan sikap waspada dalam dirinya. Seolah-olah, lelaki itu bisa kapan saja menunjukkan taringnya dan mengoyak Alice tanpa ampun.
Hingga kemudian, suara berat dan dalam pria itu merayapi pendengarannya. "Kamu takut denganku, Alice?"
***