Amara POV

1260 Kata
Rasanya aku hampir mati karena terkejut. Sentuhan Pram di leher juga dadaku serasa membekas meski lelaki itu tiba-tiba memutuskan untuk berhenti di tengah jalan. Ia menjauhi wajahku, melepas bibirnya yang sempat melumat mulutku. Di saat bersamaan, Pram seperti sadar dengan perilaku gilanya barusan. Pria itu menyingkir, memperbaiki letak baju juga celananya dalam bisu. "Jangan memancingku. Aku bisa melakukan hal yang lebih buruk. Amara, seperti kataku tadi, lebih baik kamu pergi," ucap Pram menatapku kesal. Ia kemudian menunduk, seperti mengutuk perbuatannya juga. Anehnya, aku tidak merasa sakit hati. Entah bagaimana aku justru lega karena Pram sadar tepat waktu. Kalau sampai berlanjut, itu akan menjadi penyesalan besar. Punggung Pram juga garis tubuhnya yang mengintip di balik kaus benar-benar hampir membuatku hilang akal. Syukurlah, ia yang menarik batasnya lebih dulu. "Om, aku tidak takut pada siapapun. Aku tahu Om itu pria baik dan tidak mungkin mau menyakitiku. Aku hanya akan menganggapnya sebagai kesalahan tadi." Aku berkata tanpa menatapnya. Wangi cologne serasa masih berjejak di leherku. Ya, aku tidak menyesal untuk kejadian barusan. Pram menghembuskan napasnya kuat lalu mengusapi lehernya lagi. "Kakimu bagaimana? Apa masih sakit?" Aku mengangguk pelan, tapi tidak berharap Pram akan memeriksanya lagi. "Tidur saja, aku mau keluar sebentar." Ia berdiri, meraih kemejanya yang sempat dibuang ke lantai. "Om pasti ke sini lagi, kan? Aku takut sendirian," ucapku takut ditinggal pergi. Pram menatapku lalu mengangguk kecil. "Ada apotek di seberang jalan. Aku akan kembali dalam waktu setengah jam. Aku butuh obat tidur." Setelah itu, Pram keluar, meninggalkanku yang duduk untuk mengacingkan seragam. Setelah apa yang terjadi, mungkinkah hubungan kami akan baik-baik saja? batinku menyentuh bibir, merasakan sisa keintiman tadi. Jujur, aku tidak ingin berhenti. Meski takut dan tegang, tapi hal itu justru membuat keinginanku untuk memilikinya menjadi lebih besar. Aku perlahan terbaring, menarik selimut lalu meringkuk ke bawahnya. Kakiku sepertinya benar-benar terkilir karena sedikit bergerak saja, sudah serasa sakit. Entah kapan aku tiba-tiba terlelap tanpa sadar. Tahu-tahu saat membuka mata, jendela di dekat balkon kamar sudah memancarkan cahaya pagi. Hal yang pertama aku lakukan adalah mencari Pram. Aku berlahan duduk, menatap sekeliling ruangan itu. Tidak ada siapapun. Sofa juga ruang si sebelahku terlihat rapi, seperti tidak ditiduri. Apa dia tidak pulang semalam? Tapi bantal di sebelahku ada di sofa yang artinya Pram sempat tidur di sana. "Kamu sudah bangun? Aku mau berangkat kerja sebentar. Jadi jangan ke mana-mana karena kakimu bengkak." Tiba-tiba Pram keluar dari dalam kamar mandi, masih menggunakan kaus semalam dan celana pendek. Aku terkejut, memeriksa ke bawah selimut. Benar saja, pantas kakiku bertambah sakit. Bagaimana aku bisa beraktivitas nanti? "Apa mau ke rumah sakit?" Pram bertanya sambil menyisir rambutnya. Aku menggeleng kaku. Itu hanya akan merepotkannya. Bengkak bisa hilang kalau dibawa istirahat. "Aku akan kembali saat istirahat. Ganti bajumu dan makanlah, itu sarapannya." Pram menunjuk baki berisi nasi goreng di atas nakas. Aku lagi-lagi mengangguk, terus menatapnya yang terlihat menghindariku. "Om, a-aku...," "Amara, jangan panggil Om lagi padaku. Aku masih 28 tahun." Pram mendelik, menunjuk padaku sekilas. Aneh, sejak pertama bertemu ia tidak pernah memprotesku tentang itu. Kenapa tiba-tiba mempermasalahkannya? "Lalu aku harus panggil apa?" "Aku kan punya nama," sahut Pram memakai jam tangannya dengan tergesa. "Pram? Tapi itu tidak sopan." Aku mengeryit aneh dan keberatan dengan usulannya itu. "Sudahlah, terserah. Aku sepertinya terlambat," keluh Pram mengambil tasnya tanpa menatapku lagi. Di menit berikutnya, sosok tingginya sudah menghilang ke luar kamar. Pram itu bodoh atau memang punya niat lain padaku? Dia tanpa sadar berdalih tidak mau melepasku karena hutang, padahal dengan mengurusku malah semakin banyak pengeluaran, batinku menggeleng bingung. Tak lama setelah menghabiskan sarapan pagiku, aku memutuskan untuk menonton televisi. Andai saja Lita ada di sini, aku akan memamerkan seluruh fasilitas mewah ini padanya. Ranjang empuk, AC juga makanan enak sungguh benar-benar surga dunia. Andai saja Pram sedikit lebih santai, ia akan cocok dengan sebutan sugar daddy. Ya, aku tidak munafik dan ingin hidup senyaman ini. Tapi itu terdengar mustahil. Mana mungkin Pram mau mengurusnya? Dia lebih suka kalau aku ke yayasan sosial daripada terus merepotkan. Terus memikirkan hal aneh ternyata bisa memancing rasa kantuk. Aku tanpa sadar kembali tertidur, tanpa sempat mengganti baju. Tahu-tahu saat aku bangun, Pram sudah ada di sofa dan sibuk dengan laptopnya. Pria yang tadi pagi berangkat dengan dandanan ala kadarnya itu kini berubah menjadi pria berdasi. "Kapan kamu kembali? Aku mengantuk jadi tertidur tadi," ucapku tidak enak. Pram hanya berdehem, kembali fokus pada layar laptop. "Ganti bajumu, kita akan check out sebentar lagi. Aku sudah menemukan tempat tinggal yang cocok, dekat pabrik." Aku terkejut, tidak tahu harus mengekspresikan kabar itu dengan senyum atau bagaimana. Jujur, aku sedih karena tiba-tiba pergi dan pastinya susah untuk melihat Pram setiap hari. "Apa kontrakannya jauh dari sini?" tanyaku pelan. "Iya, ada di pinggir kota. Temanku menjabat HRD di pabrik sepatu. Aku kebetulan bertanya dan ada lowongan bagus untukmu," kata Pram terdengar cukup lega saat mengatakannya. "Om sengaja sengaja mengusirku?" Aku mengeryit, tiba-tiba kesal karena merasa dipermainkan. "Kok kamu ngomongnya gitu? Sejak awal kan aku sudah punya keinginan untuk mengambilmu sebagai anak asuh." Pram terlihat tidak terima dengan ucapanku. Kini matanya beralih padaku. Alih-aluh takut, jantungku malah berdebar kencang. Ah, apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mungkin aku terus menempel padanya seperti ini. "A-aku tidak punya siapapun dan sudah merasa nyaman di dekatmu." Aku kandung menurunkan nada suaraku karena bingung. Pram menghembuskan napasnya kuat lalu kembali duduk, menatap langit-langit di atasnya. Mungkin, ia sebenarnya tidak cukup kejam melepasku setelah apa yang terjadi semalam. "Untuk sekarang, lebih baik kamu ke sana. Amara, aku ini pria jahat dan bisa membuatmu menderita. Aku tidak sebaik itu sampai mau merawatmu tanpa imbalan apapun," gumamnya tetap bersikeras agar aku tidak menolak tawarannya kali ini. "Aku akan membayarmu dengan apapun." Aku bahkan tidak percaya dengan apa yang sedang kami bicarakan. Ucapanku benar-benar terdengar seperti seorang gadis yang menawarkan tubuhnya sendiri. Murah sekaligus memalukan. "Apa? Kamu gila?" pekik Pram kesal. Ia pasti tidak berharap aku bisa berkata serendah itu. Atau bisa saja Pram merasa jijik karena sadar aku tidak beda jauh dengan gadis bar. Namun, belum selesai bicara, bel kamar lebih dulu menganggu kami. Itu mungkin layanan pesan antar untuk makan siang. Pram terpaksa menahan emosinya lalu berbalik pergi untuk membuka pintu. Namun apa yang menantinya sungguh tidak terduga. Aku bisa mendengar suara pertengkaran dari kejauhan. Hingga kemudian, semua orang berhasil masuk ke dalam. "Ibu! kita bisa membicarakannya baik-baik!" seru Pram mengikuti ibunya yang tetap nekad menerobos masuk. Di belakang mereka, ada wanita muda bertubuh langsing. Itu Katarina, sosok cantik yang dibanggakan oleh ibu Pram untuk dijodohkan. Aku specchless, terlambat menyembunyikan diri. Rasa terkejut membuat otakku terlambat berpikir. Tanpa bicara, ekspresi keterkejutan saat Katarina dan Ibu Pram saja sudah menjelaskan segalanya. Aku sadar, keadaanku terlihat sangat kacau. Terlebih seragam juga bekas kissmark di sekeliling leherku, tidak sempat disembunyikan dengan selimut. Tamat sudah, game over. Plak! Sebuah tamparan menyapa kulit pipiku. Bukan sekali, tapi dua kali ibu Pram melampiaskan marahnya dengan kekerasan. "Ibu! Hentikan, aku bisa menjelaskan semuanya. Itu tidak seperti yang terlihat!" seru Pram menahan pergelangan tangan ibunya. Tapi anehnya aku tidak sedih sama sekali. Wajah marah Ibu Pram dan Katarina justru menyenangkan untuk dilihat. Tamparan itu tidak seberapa sakit dan aku bisa menahannya meski dilakukan puluhan kali dalam sehari. Yang lebih mengerikan dari semua itu justru kehilangan sosok Pram dalam hidupku. "Dasar gadis murahan! Berani benar kamu merayu anakku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN