Kamar hotel bag 2

1299 Kata
Dering ponsel berhasil membuat mereka tersadar. Siapapun yang menelepon, ia secara tidak langsung berhasil menyelamatkan keduanya dari pikiran kotor. Pram yang terkejut dengan gugup meraih benda pipih itu. Sedang Amara cepat-cepat masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tidak lucu juga kalau tadi mereka sama-sama terhanyut oleh suasana. Yang ada, paginya bukan hanya penyesalan, tapi hubungan yang awalnya baik berakhir rusak. Jujur saja, Amara tidak mau menukar semua itu dengan kenikmatan sesaat. Akan lebih baik kalau ia menjadi pembantu atau apa saja. Dasar, sampai kapan ibu akan menyerah pada hidupnku? Batin Pram memutuskan untuk mematikan ponselnya. Panggilan dari Ny Rose begitu menganggu hingga batrei ponselnya down. Kalau dipikir-pikir, apa yangakan terjadi kalau ponsel itu tidak berdering? Apa iya Pram yang cuek dan dingin bisa bersikap begitu mudah gara-gara kebutuhan biologis? Itupun sudah lama sekali hasratnya tidak keluar karena memikirkan Kinan. Bagaimana bisa malam ini remnya hampir blong? Itupun karena Amara, gadis remaja yang parasnya jauh dari Kinan dan para wanita kaya penggemar cream mahal. Pram frustasi sendiri, memijit kepalanya agar tetap waras. Malam sudah larut dan sebaiknya ia tidur lebih dulu. Akan terasa aneh kalau mereka kembali bicara di dekat tempat tidur. Sofanya memang tidak nyaman, tapi itu lebih baik daripada harus berbagi ranjang dengan Amara. Mungkin saat malam, monster dalam dirinya muncul, melenyapkan akal sehatnya. Namun, baru saja akan menarik selimut, suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Pram tersentak kaget,langsung berlari ke mulut pintu. Di dekat bath tub , Amara mengerang, mengelus telapak kakinya yang mungkin kram. Tadi karena terlalu kagum dengan air panas, ia tanpa sengaja terpeleset lalu jatuh ke atas lantai licin. "Ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanya Pram kebingungan. Sepertinya pintu kamar mandi tidak dikunci dan ia nyaris masuk karena penasaran. Syukurlah, akal sehatnya masih berjalan dan memilih untuk menunggu sahutan. "A-aku baik-baik saja, tapi bajuku basah. Bisa tolong ambilkan tasku?" pinta Amara menahan rasa sakit di sekitar pergelangan kakinya. Ia harus kuat agar Pram tidak memaksakan diri untuk masuk. Terlebih iatidak memakai apapun. "Oke aku ambilkan. Tunggu sebentar," kata Pram buru-buru meraih tas Amara yang tergeletak di atas nakas. Gadis itu bergumam, menarik handuk agar melilit batas d**a. "Bagaimana kamu mau mengambilnya? Maksudku sepertinya kamu jatuh tadi," kata Pram berdiri sambil mengusapi leher. Seharian ini, kebiasaan lamanya tanpa sadar kembali. Kalau gugup dan bingung, ia akan menyentuh leher atau melipat bibir. Pram sendiri merasa aneh karena sifatnya mendadak berubah hanya karena terkurung satu ruangan dengan Amara. "Aku akan mengambilnya, ulurkan tangan Om saja. Tapi jangan mengintip," sahut Amara dari balik pintu. Terdengar ujung kakinya diseret, pertanda memang ada yang salah saat ia jatuh tadi. "Cepat ambillah, aku akan menutup mataku." Pram diam-diam berdecak kesal. Ucapan Amara seakan menuduhnya sebagai pribadi yang gampang tergoda. Tapi pikiran berbeda dengan mulut. Nyatanya, mata Pram tidak mau melewatkan kesempatannya untuk melihat. Tanpa setahu Amara, ujung mata pria itu terbuka sedikit, menyusuri kulit lembab Amara yang tidak sepenuhnya tertutup. Namun, gadis itu sadar lebih dulu dan cepat-cepat menarik tasnya ke dalam. Blam! Begitu kamar mandi itu ditutup, hasrat Pram langsung hancur berserakan. Ia malu, sadar kalau tadi berbuat seperti p****************g. Mungkin karena terlalu lama tidak bersinggungan dengan wanita, ia jadi tidak bisa menahan dirinya. Itu normal, terlebih Amara tidak menolak karena itulah, pikirannya semakin lancang. Sebaiknya aku pulang saja, batin Pram mulai kalut lalu mondar-mandir sembari memikirkan solusi. Ia awalnya ingin istirahat, tapi hasilnya malah begini. Padahal tadi siang, Pram masih bisa bersikap tidak peduli. Bisa jadi saat malam, jiwa lelakinya lah yang mendadak muncul dan mengacaukan suasana. Mungkin kalau berada di kamar terpisah, Pram masih bersikap waras. "Om mau pulang?" tanya Amara tiba-tiba berjalan keluar dengan kaki terpincang. Wajah gadis itu meringis sakit dan rambut panjangnya terlihat basah kuyup karena tidak dililiti handuk. Namun bukan itu saja yang menarik perhatian Pram. Tapi seragam SMA yang entah kenapa dipakai Amara malam-malam. "Maaf, tapi bajuku benar-benar basah tadi. Aku takut masuk angin karena Acnya terlalu dingin," kata Amara menjawab tatapan Pram padanya. Pram menghembuskan napas panjang lalu memijit sisi kepalanya yang mendadak berdenyut sakit. Pikiran untuk kabur keluar langsung lenyap karena tidak tega. Bagaimana ia bisa pergi saat Amara sedang sakit? "Mana handuknya? Rambutmu kalau dibiarkan basah bisa masuk angin," ucap Pram berkacak pinggang. Suasana yang semula canggung berubah seperti biasa lagi. Pram berhasil memunculkan sikap dinginnya karena tingkah ceroboh Amara. "A-aku minta maaf,tadi...," Pram memutar matanya kesal kemudian berinisiatif mencari handuk baru di dalam laci. Tapi bukan handuk saja yang ia temukan, sebuah head dryer juga ada di sana. Amara terbilang beruntung karena bisa mengeringkan rambutnya sebelum benar-benar tidur. Tanpa banyak bicara, Pram menyuruh Amara duduk sedang dirinya mengambil sisir juga menempatkan handuk di pundak gadis yang tengah memunggunginya itu. Aroma shampoo khas hotel bintang lima menguap di udara setiap Pram menarik helaian rambut Amara. Perhatian kecil justru diberikan oleh orang asing. Ayah Amara tidak pernah menyentuh rambutnya apalagi memperlakukannya seperti seorang gadis kecil. Di masa lalu ,bahkan sang ibu tidak punya waktu untuk mengepang atau memandikan Amara dengan benar. Boleh dibilang karena hidupnya yang menyedihkan, Amara menjadi sosok yang gampang tersentuh. Sedikit perhatian kecil, menjadi begitu besar dan berharga. Kalau sudah seperti ini, mana mungkin ia mau melepas Pram begitu saja? "Kakimu masih sakit? Biar kulihat dan kupijit sedikit. Kalau besok pagi belum sembuh , aku akan membawamu ke dokter," kata Pram berjongkok, memberi isyarat agar Amara lekas mengulurkan kakinya. Amara menurut, bahkan dengan sengaja, ia merenggangkan kakinya agar roknya sedikit terangkat. Ia ingin tahu apa Pram benar-benar tidak tertarik atau hanya sedang pura-pura abai. Sejak masuk hingga sekarang ada saat di mana mata Pram membias, penuh hasrat. "Kenapa? Om tidak suka?" Amara mencoba bersikap santai, menantang Pram agar jujur dengan keinginannya sendiri. Jelas, pria itu sekilas menatap ke dalam roknya tadi. Pikir Amara, jalan untuk bertahan di sisi Pram adalah membuang harga dirinya ke tempat sampah. Kesuciannya tidak cukup berharga di banding dengan rasa nyaman saat berada di sisi Pram. Amara tidak mau menjalani hidupnya seperti dulu. Menjadikan Pram sugar daddy tidak begitu buruk. "Sebenarnya apa maumu? Apa kebaikanku tidak cukup jadi kamu mau mengotoriku?" Pram memberi tatapan serius dan cukup menusuk. "Mengotori? Kejam sekali bicara seperti itu," kata Amara langsung menurunkan roknya. Ia mendadak takut karena tiba-tiba menemukan sisi gelap Pram yang awalnya terlihat baik dan sopan. "Lalu apa? Kenapa kamu mengangkat rokmu di depan mataku?" Pram tiba-tiba mendekat, mencari mata Amara yang berlarian gelisah. Gadis remaja itu sungguh canggung dan dipenuhi kepalsuan. Pram yakin, Amara bukan gadis yang bisa ditawar dengan murah. Tapi entah kenapa tingkahnya, tidak mencerminkan semua itu sekarang. "A-aku hanya iseng, kupikir itu akan lucu." Akhirnya alasan konyol itu digunakan Amara untuk menghindar. Jarinya mendadak gemetar karena gugup dan ketakutan. Namun rupanya, Pram tidak berhenti sampai di sana. Saat wajah mereka saling berdekatan, Pram tidak lagi bisa menahan hasratnya. Niat hati ingin menakut-nakuti, dia malah terjebak sendiri. Dengan posisi menunduk, Pram mengecup bibir Amara. Awalnya sebentar, lalu di ciuman kedua semakin lama dan dalam. Amara terkejut dan sempat gelagapan. Itu adalah ciuman pertamanya, tapi lawannya malah terkesan tidak sabar dan memaksa. Kulit bibir Pram yang hangat seakan meleleh, menyatu dengan saliva Amara. Tak butuh waktu lama hingga lidah keduanya saling menaut, larut karena getaran gairah di seluruh tubuh. Tapi sebuah bisikan menyadarkan Pram dari perbuatan gilanya. Padahal saat itu kancing seragam SMA Amara sudah terlepas separuh dan lehernya penuh kissmark. Kali ini bukan dering ponsel, tapi suara mirip Kinan, kekasih lama Pram. Gairahnya langsung hancur. Di tatapnya tubuh tak berdaya Amara di bawah tekukan kakinya. Gadis itu meski pasrah, matanya memancarkan perasaan takut. Mungkin belum siap dan terkejut. Alih-alih minta maaf dan mengungkapkan penyesalan, Pram malah melontarkan kalimat kejam. "Jangan memancingku. Aku bisa melakukan hal yang lebih buruk. Amara, seperti kataku tadi, lebih baik kamu pergi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN