Kamar Hotel bag. 1

1386 Kata
Ny. Rose urung kembali ke rumah. Beberapa foto yang dikirim oleh security apatemen Pram, menyulut api dalam hatinya. "Wanita mana yang berani keluar dari apartemen Pram pagi tadi?"gumam wanita paruh baya itu, menyuruh supirnya untuk berbalik, menuju apartemen anaknya. Memang sudah larut malam, tapi ia harus membereskan masalah itu hingga akarnya hari ini juga. Setelah lelah membujuk Katarina, ia tidak mungkin mundur, terlebih hal itu sudah menjadi bahan gosips di grub sosialita. Tak lama, sesampainya di tempat parkir apartemen, Ny Rose tak lantas turun. Ia menyuruh sopirnya menunggu karena mobil Pram belum datang. Dari infomasi yang ia dengar, seharian ini anaknya tidak berangkat ke kantor. Artinya ia sedang ada urusan di luar, bersama wanita lain. Benar saja, dua puluh menit berselang, mobil Pram masuk. Ny Rose langsung keluar, memastikan kalau ada orang lain di bagian depan mobil. Tapi ternyata dugaannya salah. Pram keluar sendirian sambil meneteng belanjaan. "Ibu? Ngapain malam-malam ke sini?" Walaupun kedatangan ny Rose terkesaan tiba-tiba, tapi Pram tidak terkejut. Ia terlihat begitu siap bahkan saat mobilnya dihampiri untuk diperiksa ulang. Padahal tanpa diketahui siapapun, Amara ada di kursi belakang, merendahkan tubuhnya sebaik mungkin. Dugaan Pram ternyata benar. Ny Rose tidak tinggal diam dan tidak akan berhenti sampai ia muak sendiri. "Kemana seharian ini? Setiap ibu panggil tidak dijawab," tuntut Ny Rose penuh selidik. Ia belum juga lega meski tidak menemukan Amara. "Biasa. Aku keluar karena sedang bosan. Lagipula sudah lama aku tidak mengambil cuti." Jawaban Pram begitu lugas dan masuk akal. Jadi, Ny Rose memutuskan untuk percaya. Terlebih ini bukan pertama kali anaknya menghilang dengan alasan bosan. Ya, awalnya semua berjalan baik-baik saja. Bahkan Ny Rose sudah berniat untuk pulang dan masuk mobilnya. Namun, semua itu berakhir berantakan hanya karena Amara bersin. Entah dari mana kesialan itu. Tanpa alasan, tiba-tiba saja hidungnya gatal. Gadis itu mengutuk refleknya karena membawanya ke dalam sebuah petaka. "Kamu bawa penumpang gelap?" Ny Rose melotot, berjalan cepat menuju ke kursi penumpang. Ia memeriksa, menempelkan wajahnya ke sana. Ia begitu yakin dan tidak mungkin salah dengar. "Buka!" seru Ny Rose mengetuk pintu bagian penumpang. Walau tidak jelas, ia bisa melihat ada seseorang yang tengah meringkuk. Pram mengusap-usap lehernya kebingungan. Sekarang, ia merasa seperti seorang laki-laki pecundang yang tidak punya keberanian. Padahal Pram tidak bersalah sedikitpun. "Buka Ibu bilang!" Ny Rose kini berteriak, hampir kehilangan kesabaran. "Buat apa? Dia juga tidak ada urusannya dengan ibu." Ucapan itu terdengar seperti sebuah pengakuan kalau ia memang menyembunyikan seseorang dalam mobilnya. Pantang bagi Pram untuk terus berkelit dari masalah. "Pram!" Melihat emosi ibunya yang tidak terkendali, Pram yakin tidak ada solusi selain pergi. Omelan Ny Rose tidak cukup satu jam dua jam. Nanti kalau ujung-ujungnya Amara diusir, ia juga yang kepikiran. Tanpa pikir panjang, Pram masuk mobil lalu berniat untuk melarikan diri. Supir sang ibu sempat ingin mencegah, tapi mobil Pram keburu tancap gas.Keadaan itu tentu saja membuat Amara kebingungan. Mereka mau ke mana di jam selarut ini? "Om? Kita mau ke mana?" tanya Amara dengan wajah bersalah. Gadis itu perlahan duduk, memijit kakinya yang kelamaan ditekuk. Rencana mereka gagal karena ketidak sengajaan. Percuma Pram marah, toh mereka harus menemukan solusi untuk masalah itu sekarang. Tidak mungkin juga untuk kembali atau tidur di luar. Pram bungkam, menatap hotel yang berjejer rapi dan menjulang di kanan kiri jalan. Haruskah mereka ke sana? Terjebak di ruang sempit berdua? "Ke hotel. Hari ini cukup melelahkan, jadi aku harus istirahat untuk kerja besok," kata Pram sedatar mungkin. Ia tidak mau Amara merasa takut padanya. Uangnya lebih dari cukup untuk memesan dua kamar tidur. Masa bodoh dengan kejadian hari ini. Itu bisa dipikirkan besok, yang penting sekarang tubuhnya harus merebah dan melepas lelah. Amara terkejut, tidak bisa menutupi kegelisahannya. Hotel? Kata itu terdengar tabu sekaligus horor di telinga remaja seperti Amara. "Kenapa? Ayo masuk, aku akan pesankan satu kamar lagi untukmu," kata Pram menoleh, memberi isyarat agar Amara tidak berpikir buruk. Sejak tadi gadis itu enggan melangkah ke bagian resepsionis. Namun, di luar dugaan, gadis itu justru mengatakan hal mengejutkan. "Pesan saja satu kamar yang ada dua tempat tidurnya," kata Amara pelan. Usulan itu tidak hanya membuat Pram spechless. Tapi orang yang mendengar pun menoleh penasaran. "Tapi aku ingin tidur dengan tenang malam ini," tolak Pram menggeleng, tidak habis pikir dengan usulan tidak masuk akal itu. Amara akhirnya diam dan menurut. Padahal ia ingin sekamar karena takut sendirian. Hotel dipenuhi lorong panjang dan asing, berbeda dengan rumah. "Maaf, hari ini kamarnya penuh. Hanya tersisa single bed." "Kalau begitu pesan dua kamar." Pram mengulurkan kartunya pada resepsionis itu. Tapi bukannya menginyakan, Pram kembali harus kecewa karena jawaban yang ia terima di luar dugaan. "Maaf, tinggal satu kamar, Pak. Hari ini karena banyak pesanan bulan lalu, jadi semua sudah terisi." "Kalau begitu kita cari hotel lain saja,"keluh Pram gusar. "Sepertinya akan sulit karena ada acara akhir tahun. Kalau boleh saya sarankan lebih baik ambil saja kamar terakhir kami. Hotel lain sudah full. Anda bisa check lewat aplikasi,"kata resepsionis itu tersenyum kecil. Amara sebenarnya tidak keberatan, tapi Pram lah yang mempersulit keadaan. Ia tidak harus tidur di ranjang nanti. Sofa panjang sudah cukup bagi Amara untuk melepas lelah. "Bagaimana, kamu mau cari ke tempat lain atau ambil ini saja?" tanya Pram terdengar pasrah dan bergantung dengan keputusan Amara. Barusan ia mengecek dan memang benar, penginapan dan hotel sekitar hampir penuh dan ketersedian kamarnya sama. Melihat situasinya yang tidak memungkinkan, Amara memilih untuk di hotel itu saja. Toh hanya untuk malam ini. Besok, Amara harus mulai memikirkan tempat tinggal. Hari ini ia sudah cukup egois karena menolak tawaran Pram untuk tinggal di yayasan sosial. "Oke, tolong siapkan kamarnya untuk kami." Pram mengusap lehernya kaku, seakan keputusannya adalah sebuah kesalahan besar. Setelah lima menit menunggu, seorang bell boy datang, memandu Pram dan Amara untuk menemukan kamar mereka. Saat pintu kamar dibuka, jantung Amara tiba-tiba ikut berdesir keras. Kini matanya langsung beralih ke punggung lebar Pram yang masuk lebih dulu untuk memeriksa bagian dalam. Selepas bell boy itu pergi, Pram langsung masuk kamar mandi. Sedang Amara sibuk mengamati isi ruangan dengan raut tegang yang aneh dan asing. Ac di sudut ruangan itu sungguh dingin, sekaligus harum. Nampak hanya ada satu selimut, itupun tidak cukup besar untuk dibagi nanti. Saat Amara mencoba sofa, ia kecewa karena tidak senyaman seperti bayangannya. Kalau nekad tidur di sana, punggungnya bisa-bisa kram. Di saat yang sama, terdengar guyuran air dari arah kamar mandi. Mungkin Pram ingin membersihkan dirinya sebelum tidur. Memang bukan hal yang istimewa, tapi di situasi tidak nyaman itu, tetesan air saja memunculkan pikiran kotor. Amara yang bahkan belum pernah menonton film dewasa, bisa membayangkan bagaimana Pram melepas baju dan menikmati air di atas kepala. Sebenarnya sekarang siapa yang kurang ajar? Bukannya Pram, jusru Amara yang punya pemikiran memalukan. Kesal , kecewa dan tidak tahu malu bercampur jadi satu. Begitu Pram keluar dengan kepala basah, Amara memutuskan untuk pura-pura tidur. Ia tidak punya nyali untuk sekedar membuka mata. Entah sejak kapan bau sampo dan sabun bisa sewangi itu. Jiwa pubertas Amara seolah bisa meledak hanya dengan membayangkannya saja. "Amara, jangan tidur di sofa. Pindah ke ranjang. Biar aku yang di sini,"kata Pram mendekat, menyentuh pundak Amara yang tetap mematung kaku.Ia tidak bodoh dan tahu kalau gadis itu belum terlelap. Memang situasi itu tergolong wajar. Ia sendiri belum pernah menghabiskan malam dengan gadis selain Kinan. "Bersihkan mulut juga badanmu sebelum tidur." Pram belum menyerah,kembali menepuk pundak Amara dan kali ini lebih kencang. Amara akhirnya risih sendiri lalu bangun, pura-pura menguap dan mengucek-ngucek mata. Padahal Pram bisa saja membiarkannya sampai pagi. Toh tidak mandi juga bukan masalah besar. Dengan mengajaknya bicara, hal itu justru memancing situasi yang tidak nyaman. Benar saja, begitu mereka saling tatap, kulit lembab dan rambut tanpa pomade milik Pram, langsung berhasil menghipnotis Amara. Boleh dibilang, tampilan alami itu hanya diperlihatkan dalam situasi intim. Tidak sembarang orang bisa melihat, sekalipun punya hubungan dekat. "Sudah kubilang, jangan menatap pria seperti itu, aku tidak suka." Pram mengalihkan pandangannya ke arah lain. Selain risih, ia tiba-tiba merasa malu. Sepertinya baru kemarin dia mengatakan tentang kehormatan, tapi dadanya kini malah mendadak disesaki hasrat memalukan. Itu karena mata Amara. Tatapan penuh keinginan itu justru datang dari gadis yang seharusnya takut dengan pengalaman pertama. Ya, hanya dengan bahasa tubuh sederhana, Pram tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Ah, sial, batin Pram
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN