Aroma daging terbakar pekat menusuk indra penciuman. Lilac masih memejamkan mata, masih mengatur napasnya yang tak beraturan. Dia tersengal, dadanya terasa panas seakan mau meledak, tenggorokannya rasanya tercekik, suaranya masih hilang. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana Azazel menghabisi tiga orang pria yang sudah berlaku kurang ajar terhadapnya.
Tubuh ketiga pria itu perlahan menghilang, semakin menipis seperti asap. Lilac masih ingat bagaimana mereka melolong kesakitan dan berteriak meminta tolong. Namun, tak ada seorang pun yang datang, padahal mereka masih berada di daerah pemukiman.
Lilac yakin, suara teriakan mereka yang sangat keras pasti terdengar oleh warga. Anehnya, mereka semua seolah tak peduli, atau mereka memang tidak mendengar? Sedikit mengherankan, tetapi sepertinya para penduduk yang tidak nggak di sekitaran jalan ini memang tidak menyukai ketiga pria ini sehingga mereka membiarkan saja.
Lilac masih belum berani membuka mata. Dia takut akan kembali melihat bagaimana tubuh-tubuh mereka mengurai seperti partikel, kemudian hilang tak berbekas. Hanya tertinggal asap tipis yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan. Menyisakan aroma daging terbakar yang menusuk indra penciuman.
"Buka matamu, Lily, mereka sudah tidak ada lagi."
Lilac tak menuruti perkataan Azazel. Dia masih memejamkan matanya kuat-kuat, tanpa sedikit pun berniat untuk membukanya. Dia khawatir Azazel hanya membohonginya saja. Sebagai raja iblis yang penuh tipu daya, Azazel adalah hal terakhir yang akan dia percaya.
"Jika tidak mau, aku akan menciumnya!" ancam Azazel.
Lilac membuka mata dengan cepat, menggelengkan kepala sama cepatnya seperti dia membuka matanya. Azazel benar, pria itu tidak membohonginya, ketiga pria itu benar-benar sudah tidak ada. Maksudnya, pria itu benar-benar menghilangkannya bahkan sampai aroma mereka.
Tak ada lagi aroma daging panggang pekat, udara sudah kembali bersih seperti sediakala. Lilac mengembuskan napas lega, setidaknya dia dapat sedikit melupakan peristiwa yang terjadi beberapa saat yang lalu.
"Ayo, pulang sekarang!" Azazel melepaskan pelukan, menggantinya dengan menggenggam tangan Lilac erat. "Aku akan mengantarkanmu pulang!"
Azazel tahu, Lilac tidak pulang naik kendaraan umum karena ingin sendirian agar dapat berpikir. Oleh sebab itu, dia memilih untuk berjalan kaki saja, tanpa dia sadari bahaya yang mengancam. Seandainya ia tak menolongnya, mungkin Lilac sekarang sudah tak bernyawa. Ia tahu apa yang dipikirkan para b******n itu. Mereka akan menghabisi nyawa korban setelah puas menyalurkan nafsu binatang mereka.
Memang, jika Lilac mati maka ia akan mudah membawanya ke dunianya. Namun, ia tidak menginginkan Lilac mengalami kematian yang tragis, apalagi sampai mengalami pelecehan yang parah. Tidak ada seorang pun yang oleh menyentuh Lilac selain dirinya. Ia akan menghabisi siapa saja yang berani menyentuh pengantinnya.
"Aku tidak apa-apa." Lilac menggeleng, berhenti melangkah. "Aku bisa pulang sendiri, kau tidak perlu mengantarkanku."
Azazel ikut berhenti, tidak ingin memaksa Lilac untuk mengikutinya. Ia tahu, gadis itu tengah terguncang. Padahal kengerian yang dilihatnya hanyalah sedikit dari yang akan dihadapinya nanti.
"Dengan resiko kejadian yang sama kembali terulang?" Azazel tersenyum mengejek.
Lilac gemetar. Tentu saja dia tidak ingin kejadian mengerikan yang baru saja terjadi padanya kembali terulang. Namun, untuk menerima tawaran Azazel, dia.juga tidak menginginkannya lagi. Sampai sekarang saja dia masih ketakutan. Rasanya trauma untuk berjalan kaki sendirian meskipun itu di siang hari.
"Ayo!" Azazel mengulurkan tangannya yang tadi disentak Lilac. "Jangan khawatir, kali ini aku tak dak akan meminta imbalan apa pun. Aku tidak sejahat itu pada pengantinku."
Lilac menatap Azazel lekat, berusaha mencari kebohongan di mata birunya yang secerah langit di musim semi. Akan tetapi, dia tak dak menemukannya. Mungkinkah Azazel berkata yang sebenarnya?
Lilac menggeleng. Tidak, tidak mungkin Azazel berkata jujur. Pria itu sudah terbiasa dengan kebohongan, dia tak dak boleh memercayainya.
"Kau melukai harga diriku, Lily," kata Azazel miring. Ia berniat menarik tangannya kembali, sebelum sebuah tangan yang terasa dingin menyambut uluran tangannya.
Sedetik Azazel membeku. Di detik berikutnya ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah senyum tipis. Senyum yang tak pernah muncul lagi sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Tepatnya sejak kepergian Galena untuk selamanya.
Azazel memejamkan mata sedetik, kemudian segera menarik tangan Lilac meninggalkan tempat itu.
Tidak ada percakapan di antara mereka. Lilac memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat, tak ingin memulai percakapan. Rumahnya masih jauh dari sini, entah berapa jam lagi baru sampai. Namun, sungguh dia tak berniat untuk mengajak Azazel mengobrol.
Lilac berjalan dengan menundukkan kepala. Tatapannya jatuh pada tangannya yang berada di genggaman Azazel. Rasanya hangat. Hawa dingin yang berasal dari tiupan angin malam di musim gugur tak terasa di tubuhnya. Kehangatan dari tangannya mengalir ke seluruh tubuh.
Azazel dapat membaca pikiran seseorang jika dia menghendakinya, tetapi tak mampu membaca pikirannya. Itu yang diyakini Lilac dari beberapa pembicaraan mereka. Sepertinya, pria itu hanya bisa melakukannya jika mereka berada di dunianya.
Azazel juga tidak memprotes atau mencoba mengajaknya mengobrol sehingga Lilac berpikir jika pria itu juga lebih menyukai keheningan. Beruntung dia masih dalam keadaan syok sehingga tidak banyak bicara seperti biasanya.
"Ayo, naik bus!" ajak Azazel. Ia tahu Lilac kelelahan. Tak hanya fisik, tetapi juga psikisnya sedikit terganggu gara-gara kejadian yang baru saja menimpanya.
Tangan Azazel yang bebas mengepal mengingat semua itu. Ia memastikan ketiga pria itu menjadi penghuni neraka abadi. Ketiganya akan mendapatkan siksaan yang teramat pedih sampai mereka menyesal karena sudah dilahirkan. Ia sendiri yang akan menyiksanya setelah memastikan keamanan Lilac.
"Aku tidak mau." Lilac menggeleng. "Kita jalan kaki saja," katanya lirih.
"Kau tidak lelah?" tanya Azazel. Ia melirik ke sebelah kanannya, di mana Lilac melangkah sambil menundukkan kepala. "Apa kakimu tidak sakit kau bawa berjalan terus?"
Lilac tidak menjawab. Kakinya sudah sangat sakit, tetapi dia menahannya. Dia ingin mengalihkan perhatiannya dari kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi padanya belakangan ini.
Sekali lagi Azazel mengalah. Sangat bukan dirinya memang, tetapi ia selalu saja tak berkutik bila di depan gadis ini. Sejak dulu, ia selalu menuruti keinginannya. Ia juga tak berniat untuk memperpendek jarak tempuh mereka, dengan kekuatannya. Biarkan saja semuanya berjalan seperti adanya di mata manusia.
***
"Selamat tidur, Lily," ucap Azazel sambil mengusap rambut pirang Lilac.
Gadis itu masih tidak bereaksi. Dia langsung memejamkan matanya. Entah bagaimana caranya Azazel bisa masuk ke rumahnya, bahkan ke kamarnya. Lilac berpikir, pria itu hanya akan mengantarkan sampai di depan pintu rumah saja, tidak mengira akan ikut masuk sampai ke kamar tidurnya.
Saat dia membersihkan diri di kamar mandi, Azazel menungguinya duduk di salah satu single sofa yang ada di dalam kamarnya. Padahal dia mengira pria itu sudah pergi karena diabaikan.
"Jangan memikirkan apa pun, anggap saja semuanya hanya mimpi."
Lilac menarik napas dalam, mendiamkannya di paru-parunya selama beberapa detik sebelum mengembuskannya dengan pelan. Anggap semua hanya mimpi, begitu mudah Azazel mengatakannya seperti meminta seseorang untuk makan saja.
Tak mungkin dia bisa melupakan semuanya begitu saja, tidak akan bisa. Dia bukan seseorang yang tidak memiliki hati, yang bisa bersikap biasa saja saat ada beberapa nyawa melayang karena dirinya. Meskipun orang-orang itu adalah orang jahat, tetapi mereka tidak pantas mendapatkan hukuman sekejam itu.
"Selamat tidur."
Beberapa menit setelah suara itu menghilang, Lilac baru membuka mata. Dia memastikan Azazel benar-benar sudah benar-benar pergi dari kamarnya barulah matanya terbuka sempurna.
Sekali lagi Lilac menarik napas panjang, kali ini langsung mengembuskannya bersaman dengan dua bulir bening yang menuruni sudut matanya. Dia tak dapat melupakan raut kesakitan dari tiga orang pria itu.
Ketiganya memang bersalah karena sudah mencoba melecehkannya, tetapi rasanya hukuman yang diberikan Azazel terlalu berlebihan, meskipun untuk pelaku kejahatan seperti mereka. Bukannya dia lemah, dia hanya tidak tega.
Wajah kesakitan mereka selalu terbayang, begitu juga dengan teriakan kesakitan mereka. Rasanya lolongan itu selalu terdengar, berulang-ulang seperti suara dari sebuah kaset rusak. Percuma dia menutup telinga, suara mereka masih terdengar saja.
Satu-satunya agar perhatiannya teralihkan adalah dengan dirinya merasakan sakit juga. Berjalan kaki selama beberapa jam memang tidak cukup untuk merasakan sakit seperti yang mereka rasakan, tetapi hanya itu yang bisa dilakukannya.
Itu pun tidak cukup untuk kesakitan yang dirasakan Mr. Jefry. Lilac masih bisa mendengar jeritan minta tolongnya beberapa saat yang lalu, sekarang sudah tidak lagi. Mr. Jefry terkurung di dalam lukisan karena dirinya, ketiga penjahat itu juga tewas dengan cara mengerikan karenanya. Dia yang meminta Azazel untuk menghabisi mereka bertiga.
Ketakutannya kepada mereka membuatnya mengucapkan sebuah keinginan yang berbahaya. Kebenciannya membuat ketiga orang itu mengalami ajal yang mengerikan.
Sungguh, dia tak sengaja mengucapkannya. Dia sangat ketakutan, pikirannya kosong sehingga Azazel dapat memengaruhinya. Sekarang dia sangat menyesal, seandainya dapat mengulang waktu dia tidak akan mengucapkan keinginan yang seperti itu. Meskipun menginginkan mereka mati, tetapi maksudnya tidak sekarang dan tidak dengan cara mengerikan seperti itu.
Lilac mencoba memejamkan mata sekali lagi. Hanya beberapa detik, mata birunya kembali terbuka. Matanya basah, dia menangis. Dia berdosa, apa yang harus dilakukannya untuk menebusnya?
***
Satu minggu berjalan sangat cepat bagi Lilac. Dengan langkah tergesa dia memasuki bus kota yang akan membawanya ke gedung yang sama tempat pameran berlangsung seminggu ini. Kemarin malam adalah penutupan, dan celakanya dia tidak bisa datang. Evory sibuk dengan keluarganya yang baru datang dari Asia, sementara Papa juga tidak bisa menemani karena harus keluar kota mengurus bisnisnya.
Hari ini Lilac bisa ke sana, seorang diri sepulang dari sekolah. Kali ini dia memilih untuk naik bus kota daripada berjalan kaki. Beberapa hari kakinya masih terasa pegal karena berjalan kaki malam itu. Namun, entah kenapa Lilac merasa masih belum bisa membayar seluruh rasa sakit orang-orang yang terluka karena dirinya.
Gedung tempat museum berlangsung masih ramai. Beberapa mobil box terparkir di halaman gedung. Para petugas terlihat sibuk berlalu-lalang, mereka mengangkut lukisan, memindahkannya ke dalam mobil box.
Lilac memasuki gedung pameran. Masih banyak pengunjung juga hari ini meskipun pameran sudah ditutup tadi malam. Lilac langsung menuju tangga, dia ingin melihat lukisan yang di dalamnya terdapat Mr. Jefry.
Sudah berkali-kali dia mencoba bernegosiasi dengan Azazel mengenai Mr. Jefry. Lilac ingin menukarnya dengan apa saja asalkan bukan sesuatu yang bernyawa. Dia akan sekuat tenaga mencari benda itu jika saja Azazel mau mengubah keputusannya.
Sayangnya, Azazel menolak. Pria itu dengan sombongnya mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mengubah apa yang sudah dibuatnya, termasuk dirinya. Yang paling mengejutkan Lilac adalah Azazel yang mengatakan jika itu semua memang merupakan takdir Mr. Jefry yang sudah digariskan oleh Yang Kuasa.
Memang sangat sulit dipercaya, tetapi Lilac tidak memiliki pilihan lain. Dia memutuskan untuk ikhlas dan merelakan nasib mengerikan Mr. Jefry. Lagipula, Azazel mengatakan bahwa gurunya itu sudah berbahagia karena bisa tinggal bersama dengan gadis yang dicintainya.
Itulah alasan kenapa Lilac kembali ke gedung pameran hari ini. Dia ingin membuktikan perkataan Azazel tentang Mr. Jefry yang sudah tidak menginginkan untuk keluar lagi dari dalam lukisan. Dia tak percaya, dan ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Lilac membuat sebuah perjanjian dengan Azazel. Dia tidak akan mengungkit mengenai Mr. Jefry lagi jika Azazel tidak berbohong. Dia akan berusaha menerimanya jika memang ini yang diinginkan oleh gurunya itu. Sebagai seorang siswa, dia hanya bisa mendoakan kebahagiaan Mr. Jefry, dan mencoba melupakan jika gurunya itu adalah korban.
Mata biru Lilac mengerjap beberapa kali sebelum melebar sempurna. Mulutnya juga menganga selama beberapa detik. Begitu tersadar, dia menutup mulutnya menggunakan kedua tangan yang bebas.
Lukisan itu berubah. Mr. Jefry tak lagi bersembunyi di balik mulut gue, tak lagi memperhatikan secara diam-diam. Ia sudah berdiri di samping wanita yang memetik bunga. Posisi wanita itu juga berubah, tak lagi setengah membungkuk ingin memetik bunga, dia berdiri berdampingan dengan Mr. Jefry.
Tangan mereka saling menggenggam. Senyum manis yang memancarkan kebahagiaan menghiasi bibir mereka. Tangan kanan wanita cantik itu memegang beberapa tangkai bunga.
Lilac melihat ke kanan kirinya, menggeleng beberapa kali melihat para pengunjung dan petugas yang tampak biasa saja. Mereka seolah tidak menyadari perubahan pada lukisan ini. Ingin Lilac bertanya, tetapi takut mereka mentertawakannya.
"Sekarang kau percaya?"
Lilac berjengit mendengar pertanyaan itu. Dia menoleh ke arah kanannya. "Azazel?"
Entah sejak kapan pria itu berdiri di sampingnya, Lilac tak merasakan kehadirannya.
"Asal kau tahu, Lily. Aku memang menggunakan Richard sebagai contoh dari salah satu hal yang akan terjadi pada orang-orang yang kau sayangi dan mereka yang kau kenal. Kuharap kau memikirkan kembali tawaranku."
Lilac menggigil tanpa sadar mendengar suara dingin itu. Apalagi Azazel kembali mengingatkannya tentang tawaran yang diberikannya beberapa hari yang lalu.
Astaga! Apakah Mr. Jefry adalah korban karena dirinya? Apakah Azazel menjadikan Mr. Jefry sebagai pelajaran untuk dirinya, agar dia mau menerima tawarannya untuk pergi ke dunianya dan menjadi pengantinnya?
Lilac menatap Azazel dengan mata menyipit. Jika benar apa yang dipikirkannya maka dia tidak akan memaafkan pria itu.
"Ikut ke duniaku dan menjadi pengantinku, atau terus menyaksikan orang-orang yang kau kenal mengalami penderitaan karena kekeraskepalaanmu? Silakan, Lilac Bryne, mana yang kau pilih?"