Satu bulan berlalu, cerita tentang Mr. Jefry terlupakan. Tak ada satu pun siswa atau guru yang mencarinya Pria itu seolah tak pernah ada di antara mereka, seperti angin lalu saja. Bahkan Evory pun juga melupakannya, dia menjawab tidak tahu saat Lilac menanyakannya.
"Apa maksudmu kau tidak tahu, Evy?" tanya Lilac. Sepasang alis pirangnya berkerut. Mr. Jefry memang bukan guru teladan yang patut dikenang, tetapi setidaknya beliau tidak mudah dilupakan begitu saja.
"Aku juga ingin bertanya seperti itu padamu, Lily," sahut Evory tanpa menatap Lilac, dia fokus pada buku bacaan di depannya. Buku yang membahas masalah hal-hal gaib di Asia, hal yang sangat disukainya. "Kenapa kau terus bertanya hal yang sama beberapa hari ini?"
Lilac memang terus menanyakan tentang Mr. Jefry kepada Evory. Dia tidak puas dengan jawaban Evory yang sellau menjawab dengan mengedikkan bahu seolah tidak peduli.
"A ... aku hanya penasaran saja," kilah Lilac. Dia mengibaskan tangannya kacau. "Aku sudah ngin tahu apakah ada yang masih mengingat Mr. Jefry karena bagiku sangat aneh jika kalian semua melupakannya."
Evory menutup bukunya, menatap Lilac sambil memutar bola mata. "Kupikir yang aneh itu justru kau sendiri," katanya sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan bolpen yang sejak tadi berada di antara dua jarinya. "Kau terus saja menanyakan hal yang tidak kumengerti," bisiknya.
Mata biru Lilac melebar sedetik, di detik berikutnya menjadi menyipit. Mereka berada di perpustakaan, tidak bisa berbicara dengan suara keras karena akan mengganggu kenyamanan siswa lain yang —mungkin— sedang sibuk membaca atau mencari buku kegemaran mereka.
"Apa maksudmu?" tanya Lilac. "Apakah itu artinya aku menggangguku?"
"Tidak juga." Evory mengedikkan bahu. "Hanya saja, bisakah kau mencari topik yang lain untuk ditanyakan? Jika masalah Mr. Jefry kupikir wajar saja semua orang lupa, atau mereka berlagak lupa. Entahlah!" Dia menggeleng. "Seperti yang kau ketahui, beberapa siswa tidak terlalu menyukai beliau, dan mereka tidak peduli apakah Mr. Jefry masih mengajar di sini atau tidak."
"Menurutmu seperti itu?" tanya Lilac lagi. Sungguh, dia tak percaya, ternyata Evory masih mengingatnya. Hanya saja, sahabatnya sepertinya juga berusaha melupakan.
"Lagipula, siapa yang akan peduli pada guru yang bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal sebagai tanda perpisahan." Evory mengibaskan tangannya, kemudian kembali membuka buku dan melanjutkan membaca.
"Bukan seperti itu!" bantah Lilac. "Maksudku, aku yakin Mr. Jefry tidak bermaksud seperti itu."
"Terserah saja lah, aku tidak peduli!" Evory menggeleng. Baginya, pembahasan Lilac sangat tidak menarik, lebih menarik buku yang dibacanya.
Lilac tidak dapat berkata apa-apa lagi. Evory benar, dia terlalu banyak membicarakan Mr. Jefry sementara yang lain tidak peduli. Lilac mengembuskan napas melalui mulut, dia menundukkan kepala. Sepertinya dia memang harus melupakan peristiwa, tak perlu lagi mengungkitnya sesuatu yang sudah terjadi sebulan yang lalu.
Iya, sebulan yang lalu, dan dia masih belum dapat melupakannya. Rasa bersalah itu masih mengimpit dadanya membuatnya sesak dan sedikit sulit bernapas. Apalagi setelah mengetahui jika Mr. Jefry hanya dijadikan Azazel sebagai alat untuk mengancamnya. Mr. Jefry terkurung dalam lukisan karena dia yang menolak ajakan Azazel untuk ikut ke dunianya.
Seandainya ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah takdir buruk itu, dia akan mengorbankan diri. Tentu saja selain menerima ajakan Azazel dan menjadi pengantinnya.
"Hei, Lil, lihatlah!" Evory mendorong bukunya ke depan Lilac, menunjukkan sesuatu yang dibacanya.
"Apa ini?" tanya Lilac. Alisnya berkerut, tak ada apa-apa di halaman yang ditunjukkan Evory, hanya ada sebuah gambar atau foto seorang perempuan dengan wajah yang samar, seperti bayangan saja.
"Namanya adalah Galena, dia pengantin raja iblis...."
"Azazel?" tebak Lilac. Jadi, Azazel memiliki pengantin, dan masih saja melamarnya? Apa-apaan itu?
"Iya, raja iblis Azazel." Evory mengangguk manis sambil tersenyum. "Sayang sekali wajahnya buram, padahal aku yakin dia pasti sangat cantik."
Lilac menatap Evory horor. "Jangan katakan padaku jika kau seorang satanic, Evy!" tuduhnya.
"Tentu saja tidak!" bantah Evory. "Aku hanya mengaguminya saja."
"Siapa yang kau kagumi?" Lilac menarik napas dalam. Entah kenapa, tiba-tiba saja dia merasa udara di ruangan ini menipis.
"Astaga, Lily!" Evory berdecak. Dengan cepat ditariknya bukunya dari hadapan Lilac. "Hentikan pikiran konyolmu itu!" Dia menutup buku itu dan mengembalikannya ke rak di mana dia mengambilnya tadi. "Aku hanya mengagumi semua yang berhubungan dengan hal-hal gaib dan sejenisnya. Azazel dan pengantinnya adalah bagian dari itu semua."
"Benarkah?" tanya Lilac ragu. Dia tahu jika Azazel adalah sesuatu yang nyata, dan pria itu tengah mengincarnya. Ah, sialan! Untung saja dia tidak mengiyakan ajakannya karena ternyata Azazel sudah memiliki pengantin.
Lilac tersenyum. Dia merasa memiliki sebuah senjata yang bisa digunakan untuk menekan Azazel agar tidak memaksanya untuk menjadi pengantinnya lagi
"Tentu saja, Lilac Bryne. Mereka hanya mitos." Evory tertawa kecil. "Sangat konyol jika kau memercayainya," katanya.
Lilac mengangguk, berusaha untuk tersenyum juga. Seandainya saja Evory tahu jika Azazel itu benar-benar ada, entah apa dia masih bisa tersenyum seperti sekarang atau tidak.
"Memang konyol, tetapi mitos bisa menjadi nyata jika kau terlalu percaya," kata Lilac. Dia hanya mencoba mengatakan sebuah fakta.
"Aku tidak memercayai mereka semua itu nyata, Lily." Evory mengedikkan bahu. "Bagiku mitos tetap mitos. Membaca kisah mereka bagiku seperti membaca dongeng."
Lilac tertawa. Dia yakin Azazel sekarang sedang mendengarkan mereka. Sungguh, dia sangat ingin mengetahui relasi pria itu saat mendengar Evory menyebutnya sebagai bagian dari dongeng yang sering dibacakan untuk pengantar tidur anak-anak. Azazel pasti tidak akan menyukainya.
"Tentu saja, seperti dongeng pengantar tidur anak-anak. Benarkan, Evy?" Lilac menegaskan.
Evory mengangguk. Bersamaan dengan bel tanda masuk kelas berbunyi. "Ayo, kita kembali! Kita masih ada beberapa kelas sebelum sekolah berakhir."
***
Ruangan itu sebenarnya tidak seberapa besar. Dibandingkan dengan ruangan pribadinya di istananya, ruangan ini jauh lebih kecil. Namun, ia tetap menggunakannya selama berada di sekolah ini agar dapat mengawasi calon pengantinnya.
Lilac memang sangat menyusahkan, tipe pemberontak yang tak mudah untuk dijinakkan, dan ia sangat menyukainya. Sebab memang seperti itulah Galena, keras kepala, selalu menentang, dan pemberani.
Ingat Galena, Azazel mengepalkan kedua tangannya. Seharusnya, mereka sudah memerintah kerajaannya bersama. Seandainya saja Galena masih hidup. Namun, sayangnya, Galena justru harus tewas di hari pernikahan mereka, beberapa menit sebelum pernikahan itu terjadi.
Semua karena pria itu. Lucifer.
Aarrgghhh, sialan! Coba saja Lucifer berani turun ke bumi sekarang maka ia akan dengan senang hati menghabisinya. Pria b*****t yang sudah mengambil nyawa Galena, tidak akan dibiarkannya pria itu hidup. Sayangnya, peraturan di dunia mereka.tidak diperbolehkan saling membunuh sesama saudara, meskipun saudara tiri sekalipun.
Beruntungnya, Galena yang masih belum mendapatkan keabadian karena belum bersatu dengannya, selalu bereinkarnasi setiap seribu tahun sekali. Lilac adalah reinkarnasi Galena yang ketujuh, dan sangat mirip dengan kepribadiannya.
Enam reinkarnasi sebelumnya selalu saja bertolak belakang dengan sifat dan sikap Galena. Mereka semua terlalu lemah karena memuja cinta. Berbeda dengan Lilac, gadis yang tidak takut terhadap apa pun termasuk padanya.
Lilac tetap menentangnya meskipun sudah tahu segala risikonya. Gadis itu sudah tahu siapa dirinya yang sesungguhnya, dan sudah mengetahui apa bahayanya jika melakukan itu. Namun, Lilac dengan berani justru menolaknya bahkan melakukan perlawanan.
Benar-benar seperti Galena. Yang membedakannya dari Galena hanyalah hatinya. Di hati Lilac tidak ada dirinya, sementara ia adalah pemilik hati Galena.
"Lilac Bryne, takdirmu adalah bersama Azazel. Kau tidak ditakdirkan untuk bersama dengan pria lain, kecuali kau ingin mengalami nasib yang sama seperti para reinkarnasi Galena sebelumnya."
Seperti dugaan Lilac, Azazel mendengar semua yang dibicarakannya dengan Evory. Hanya saja, gadis itu salah jika menduga ia akan marah karena Evory menganggapnya hanya dongeng. Justru sebaliknya, ia sangat gembira. Melalui dongeng, ia dapat menguasai manusia. Hati manusia yang sebenarnya berwarna hitam, mereka adalah yang masuk golongannya.
Lilac tidak termasuk di antara para manusia dengan hati berwarna hitam itu. Hati Lilac murni, putrinya h bersih seperti bayi yang baru dilahirkan ke dunia. Oleh sebab itu, ia sedikit kesulitan mendekatinya.
Tidak sama seperti para reinkarnasi Galena sebelumnya, hati mereka berwarna abu-abu bahkan sebelum mereka bertemu. Gadis-gadis itu terlalu memuja pada sesuatu yang bernama cinta. Mereka bahkan rela berkorban untuk pria yang mereka cinta yang sayangnya bukan dirinya.
Seperti Galena yang rela mengorbankan nyawa untuknya. Hanya saja, mereka terlalu lemah. Jiwa Galena tidak kuat bersemayam dalam diri mereka. Kekuatan yang ditemukannya pada Lilac yang merupakan reinkarnasi ketujuh Galena.
Azazel mengembuskan napas melalui mulut dengan pelan. Ia berdiri, sudah saatnya mengajar dan bertemu dengan pengantinnya.
***
Kelas yang awalnya ribut seperti pasar tradisional langsung berubah menjadi hening selayaknya kuburan, begitu Azazel memasuki ruangan. Para siswa perempuan memandangnya dengan takjub dan penuh kekaguman, sementara para siswa laki-laki menatapnya dengan aneka perasaan.
Azazel tidak memedulikan mereka. Yang dipedulikannya hanyalah gadis berambut pirang yang duduk di barisan bangku nomor dua dari depan tepatnya berseberangan dengan mejanya.
Gadis itu sama sekali tidak memperhatikannya seperti yang lainnya. Lilac masih saja fokus menundukkan kepala, membaca buku yang terbuka di atas mejanya.
Dari tempatnya berdiri sekarang, Azazel dapat melihat apa yang dibaca Lilac. Buku pelajaran yang menjadi mata pelajarannya, sebentar lagi ia akan menjelaskannya kepada mereka.
"Baiklah, Anak-anak, saya ingat telah memberi kalian pekerjaan rumah pada pertemuan kita Minggu lalu. Saya harap kian semua sudah menyelesaikannya!" Azazel memulai percakapan di antara mereka semua. "Sander, bisakah kau mengumpulkan buku tugas teman-temanmu dan mengantarkannya ke mejaku?" tanyanya meminta.
Well, sebenarnya ia sangat sulit menjalani semua ini. Menjadi seorang guru, menggantikan guru perempuan yang mengundurkan diri bukan karena dirinya —guru perempuan itu benar-benar harus berhenti karena sebuah alasan yang menurutnya sangat klise, menikah— bukanlah sesuatu yang mudah.
Ia bukan seorang guru, mengajar kebaikan kepada para remaja berusia tujuh belas tahun bukanlah dirinya. Ia adalah seorang raja iblis yang hanya tinggal duduk di singgasananya untuk memerintah, bukan mengajar seperti ini.
Namun, demi Lilac, ia rela melakukan apa pun. Turun dari singgasananya dan ke dunia manusia hanya agar bisa bersamanya. Ia ingin menjaganya agar tidak ada seorang pun yang bisa mengganggunya seperti yang sudah-sudah.
Baiklah, katakanlah ia jera atas beberapa peristiwa sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendatangi Lilac lebih awal, beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas. Hanya itu yang dapat dilakukannya, menemuinya di alam mimpi yang menjadi salah satu alam kekuasaannya.
Jika ia menemui Lilac di dunia manusia sebelum waktunya maka Lilac akan menjadi reinkarnasi terakhir Galena. Meskipun mereka tidak bisa bersama lagi sekarang ini, Galena tidak akan bereinkarnasi lagi seperti janjinya. Reinkarnasinya terputus pada Lilac.
Azazel menatapnya sekilas, tampak Lilac juga menatapnya, sekilas. Dia memberikan buku tugasnya pada Sander Stones untuk dikumpulkan di mejanya.
"Terima kasih, Sander." Sungguh, Azazel merasa menjadi bukan dirinya setiap kali mengucapkan kata itu. Tidak ada ucapan terima kasih di dalam kamusnya, kepada siapa pun. Ia sudah terbiasa dilayani tanpa harus mengibaskan terima kasih. Namun, sekali lagi ia harus melakukannya, demi Lilac.
"Sama-sama, Mr. Adams!" Sander menganggukkan kepala kemudian kembali duduk di bangkunya yang berada di deretan keempat.
Azazel berdeham sebelum membuka suara untuk memulai sesi pelajaran mereka. Ia tahu, ilmu hitung —matematika— merupakan pelajaran yang hanya memiliki sedikit penggemar. Merupakan sebuah tantangan untuknya, bagaimana caranya agar dapat menarik minat para siswanya.
Sebenarnya mudah saja, jika ia diperbolehkan untuk menggunakan kekuatannya. Sayangnya, salah satu syarat ia boleh ke dunia manusia untuk menjemput pengantinnya adalah tidak boleh menggunakan kekuatannya kepada para siswa atau manusia mana pun, kecuali manusia itu sendiri yang mengundang kehadirannya.
Tidak sulit karena ia sudah mendapatkan beberapa, salah satunya adalah Richard Jefry yang sekarang tengah berbahagia dengan pasangannya meskipun hidup di dalam lukisan. Bahagia versi dirinya berbeda dengan bahagia versi manusia.
Satu hal yang membuat Azazel sanggup tinggal di dunia manusia adalah kekuatan yang mereka berikan kepadanya melalui kebencian dan segala macam sifat jelek yang mereka miliki. Jika tidak, ia pasti akan bosan. Dengan kekuatan itu, ia dapat bermain-main bersama mereka.
Mungkin karena pada dasarnya manusia memiliki sifat egois yang merajalela di atas segalanya, dan hanya sedikit orang yang bisa melawan sifat itu, mereka sangat mudah dikendalikan. Seperti Richard Jefry yang jatuh cinta pada wanita di dalam lukisan. Sifat buruk pria itu membuatnya memiliki kekuatan lebih untuk dapat mengendalikannya.
"Lilac Bryne, bisa kau kerjakan soal nomor satu?" tanya Azazel meminta. Tatapannya lurus pada Lilac yang menatap bingung ke arah Evory.
Azazel tahu, Lilac tidak memperhatikan penjelasannya tentang pelajaran mereka hari ini. Entah apa yang dipikirkannya, ia tidak tahu. Satu-satunya manusia yang tidak bisa dibacanya pikirannya adalah Lilac Selain itu, ia juga tidak bisa mengendalikannya. Jiwa Lilac terlalu murni untuk dapat disentuhnya.
Seseorang yang menguasai kegelapan seperti dirinya, sangat bersinggungan dengan cahaya. Ia tidak bisa menyentuh jiwa seseorang yang berlimpah cahaya, contohnya seperti bayi baru lahir, dan gadis yang kini menatapnya dengan gugup.
Azazel menarik sedikit sudut bibirnya ke atas, sangat sedikit sampai-sampai tidak ada yang menyangka jika ia tengah tersenyum. Ia tahu, Lilac tidak akan bisa mengerjakannya. Oleh sebab itu, ia menyuruhnya. Dengan ini, ia bisa mengajak Lilac ke ruangannya untuk berbicara secara pribadi tanpa dicurigai yang lainnya.
Lilac terus melawan, ia harus memberi tahu gadis itu siapa dirinya sebenarnya, jika mereka adakah pasangan, jika dirinya adalah reinkarnasi dari Galena, pengantinnya.
"Ayo, Lilac!" Azazel menatapnya dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Ia masih berdiri di depan papan tulis, menunggu Lilac untuk menghampirinya.
Gadis itu berdiri, melangkah takut-takut.
"Kerjakan soal nomor satu!" perintah Azazel setelah Lilac berdiri tepat di depan papan tulis, memunggungi teman-temannya.