Bab 11. A Dangerous Wish

2058 Kata
Lilac tidak salah lihat, pria itu memang Azazel. Dia sengaja datang ke museum dan menunggunya di depan lukisan Mr. Jefry. "Azazel!" Pria itu menoleh, ia tersenyum. "Bagaimana hadiahku?" tanyanya setelah Lilac berdiri di sampingnya. Kedua tangan Lilac mengepal, Azazel mengakui perbuatannya. "Kenapa kau lakukan?" tanya Lilac lirih penuh penekanan. "Kenapa kau mengurung Mr. Jefry di dalam lukisan? Apa kesalahannya?" Azazel mengedikkan bahu. "Aku hanya ingin," jawabnya asal. "Sudah lama aku tidak melakukannya, ternyata aku masih semahir dulu." Tubuh Lilac bergetar. Bagaimana mungkin Azazel bisa mengatakan semua kalimat itu dengan santai, seolah tak ada beban sedikit pun? "Bagaimana, apa kau menyukainya?" tanya Azazel tanpa menoleh. Ia menatap lukisan di depannya dengan penuh minat. "Kau gila jika berpikir aku menyukainya!" maki Lilac dengan gigi terkatup. Wajahnya memerah, napasnya memburu, dia siap membunuh Azazel. Seandainya saja bisa, sayangnya pria itu tak tersentuh. Apalagi jika Azazel benar-benar seorang raja iblis, sepertinya dia akan hidup selamanya. Azazel menghela napas. "Sayang sekali kau tidak menyukainya karena aku membuatnya khusus untukmu," katanya seolah kecewa. "Itu artinya aku gagal menyenangkanmu." Ia menoleh ke samping kirinya di mana Lilac berada. Lilac menggeleng. "Kau harus mengembalikan Mr. Jefry. Apa untungnya kau mengurungnya di sana?" tanyanya dengan suara bergetar. "Entahlah, kupikir aku hanya ingin bersenang-senang saja." Azazel mengedikkan bahunya tak peduli. "Tidak ada salahnya menambah satu atau dua orang yang terjebak di duniaku." "Lepaskan Mr. Jefry!" pinta Lilac. Suaranya serak, matanya sudah berair. "Apa katamu?" tanya Azazel tanpa menatap. Ia masih menatap lukisan di depannya, menikmati wajah ketakutan Richard Jefry yang terkurung di dalam sana. Masih diingatnya pekikan pria itu yang meminta tolong untuk dikeluarkan dari dalam lukisan yang gelap. Sampai malam masih seperti itu, sampai suara minta tolongnya berhenti sendiri karena dia merasa kelelahan. Suaranya juga menghilang. Semua bukan salahnya, pria itu sendiri yang ingin berada di dalam lukisan itu, ia hanya mengabulkannya saja. Richard berkata, betapa senangnya berada di dalam lukisan pria terkenal, saat melihat di pamflet yang dibagikan seorang siswa. Kemudian ia bertanya apakah pria yang masih membujang di usianya yang sudah tidak muda lagi itu, apakah dia serius atau tidak menginginkannya. Richard Jefry menjawabnya dengan anggukan kepala yang sangat yakin. Sebagai raja iblis, ia merasa perlu mengabulkan keinginan itu. Apalagi Richard mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada wanita di lukisan itu. Katanya, seandainya saja bisa bertemu, dia akan mengajaknya menikah. Oh, ayolah! Kurang baik apa lagi dirinya yang sudah mengabulkan keinginan rekan kerjanya. Ia sudah menghidupkan wanita di dalam lukisan hanya untuk menyenangkan Richard, kemudian membuatnya hidup bersama untuk selamanya. Azazel menceritakan semuanya pada Lilac setelah mereka duduk di bangku taman. Hari sudah sore, Lilac tak bertemu lagi dengan Evory. Sahabatnya tidak dapat menemukan keberadaannya karena Azazel yang menyembunyikannya. Pria itu mengatakan mereka berkencan. Azazel membawanya ke taman kota dengan cara manusia. Maksudnya, tidak menghilang kemudian langsung muncul di taman. Tidak seperti itu. Mereka menggunakan bus kota, Azazel ingin menunjukkan sesuatu padanya yang berhubungan dengan jiwa manusia. Ada tiga warna jiwa, putih, hitam, dan abu-abu. Lilac menemukan ketiganya di dalam bus. Seorang pria berpakaian seperti seorang preman justru memiliki jiwa yang putih. Benar kata orang-orang, jangan pernah menilai seseorang dari luarnya. Pria yang mengenakan jaket kulit dan celana jeans robek-robek itu mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk pelayanan masyarakat. Dia tidak bersalah, tidak mendapat hukuman, dia melakukannya dengan sukarela. Entah apa yang dilakukannya di masa lalu sehingga berbuat seperti itu., Azazel tidak memberi tahunya. "Aku hanya mengabulkan keinginan Richard Si Bujang Lapuk, Lilac. Lalu, di mana letak kesalahannya?" tanya Azazel dengan wajah tanpa dosa. "Jika menurutmu membantu seseorang itu bersalah, berarti apa yang kau lakukan sekarang ini juga merupakan sebuah kesalahan." Lilac membuang napas melalui mulutnya dengan sedikit kuat. Sepertinya dia salah menuruti permintaan Azazel untuk berbicara di taman ini. Pria itu semakin besar kepala. "Apa yang aku dan kau lakukan itu berbeda, Azazel." Lilac menatap pria itu sungguh-sungguh. "Apa yang kau lakukan kepada Mr. Jefry tidak bisa disebut sebagai pertolongan. Aku yakin kau pasti mengerti itu!" katanya penuh penekanan. Azazel tak menyahut, ia hanya mengedikkan bahu. Bersikap seperti seorang yang bodoh ternyata menyenangkan. Lilac menjadi banyak bicara, menjelaskan semua hal yang ia sudah tahu artinya. Terdengar membosankan memang, tetapi tak apa jika untuk bersama Lilac lebih lama. "Kau sama sekali tidak menolong Mr. Jefry, kau justru membuatnya berada di dalam kesulitan. Tidakkah kau lihat bagaimana raut wajahnya?" "Sangat menyedihkan," jawab Azazel. Ia tersenyum puas dalam hati. Apa pun yang dikatakan Lilac, tidak akan membuatnya merasa bersalah karena sudah memasukkan Richard ke dalam lukisan itu. Itulah adalah keinginannya, Richard juga tidak akan menyesalinya. Lilac mengangguk. "Tepat sekali!" katanya cepat. "Apakah kau tidak merasa kasihan padanya?" tanyanya lagi mencoba mengetuk pintu hati Azazel. Dia tahu, seorang iblis tidak mungkin memiliki hati. Iblis adalah jiwa pemilik segala keburukan dan sumber kejahatan. Apalagi Azazel yang merupakan raja iblis. Namun, tidak ada salahnya berharap, 'kan? Lilac yakin, selama manusia hidup harapan akan selalu ada. "Tidak!" Azazel menggeleng. "Aku tidak pernah menyesal atas apa yang kulakukan. Lagipula, aku membuat seseorang bahagia. Bukankah itu tidak boleh disesali?" tanyanya. "Apa maksudmu?" tanya Lilac mengerutkan keningnya. "Tidak mungkin Mr. Jefry bahagia. Aku mendengar teriakan minta tolongnya, Azazel. Kau jangan bercanda!" Untung saja taman sudah mulai sepi. Jika tidak, mereka pasti akan menjadi pusat perhatian karena pekikan Lilac. "Aku tidak bercanda." Azazel menatap Lilac tajam. "Aku tidak pernah bercanda dalam setiap tindakanku, Lilac Bryne!" Napas Lilac memberat, seolah udara di sekitarnya menipis. Tubuhnya bergetar hebat dengan jantung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia juga merasa lemas seakan tidak bertenaga. Tatapan dan perkataan seperti menyedot tenaganya. "Semua yang kukatakan adalah sebuah kebenaran." Azazel berdiri. "Satu hal, ini adalah peringatan untukmu. Aku bisa melakukan apa saja kepada seseorang yang menentangku!" Dengan kekuatan tersisa, Lilac mencoba berdiri. Tubuhnya sempoyongan, rasanya sangat ringan. Sedetik Lilac menyadari diana mereka berada. Ini taman lagi taman kota, ini adalah taman di dimensi lainnya. Apakah ini di dunia Azazel? Lilac menggeleng sekuat tenaga. "Kau tidak bisa mengancamnya dengan melibatkan orang-orang tidak bersalah seperti Mr. Jefry!" pekik Lilac serak. Dia sudah menangis sekarang. Ini adalah pertama kalinya dia menangis di depan Azazel. Lilac tahu, tak seharusnya dia menunjukkan kelemahannya kepada pria itu. Namun, dia sudah tidak dapat bertahan lagi. Jika kemalangan dan penderitaan itu terjadi padanya, ia yakin masih dapat menahannya. Namun, tidak jika terjadi terhadap orang lain. "Tidak bersalah katamu?" tanya Azazel dingin. Air mata Lilac tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. "Asal kau tahu, Lily, tidak ada seorang pun yang akan tergoda oleh bujukan iblis jika dia tidak menginginkannya. Seandainya saja Richard memiliki hari yang bersih, atau minuman mal dia tidak memiliki keinginan macam-macam terhadap wanita di dalam lukisan itu, dia sudah dapat keluar dengan sendirinya. Namun, dia masih di dalam sana. Menurutmu, apa yang ada dalam pikirannya?" Lilac memeluk tubuhnya kala angin bertiup lebih kencang. Akhir musim gugur, semua akan terasa lebih dingin sampai musim dingin tiba. Akan tetapi, angin ini tak biasa. Lilac menggigil, sementara tubuhnya berkeringat. "Jangan pernah mengatakan sesuatu secara sembarangan, Lilly, sebab kau tidak tahu apa atau siapa yang mendengarnya." Azazel melangkah menjauh, meninggalkan Lilac yang menutup wajahnya. "Berkatalah dengan hati-hati karena bisa jadi perkataanmu merupakan sebuah keinginan yang berbahaya." Lilac menutup telinganya. Teriakan minta tolong Mr. Jefry seakan kembali didengarnya, bergantian dengan suara Azazel. Benarkah apa yang dikatakan Azazel, jika semua itu memang keinginan Mr. Jefry? Entah kenapa, jauh di lubuk hatinya Lilac memercayai apa yang dikatakan Azazel. Iblis juga ciptaan Yang Kuasa. Tidak mungkin semudah itu membawa manusia ke jalannya jika tidak mendapatkan izin dariNya. Hanya orang-orang yang memiliki keinginan buruk saja yang akan tersesat. Sementara mereka memiliki hati yang bersih, akan mampu bertangan meski sekuat apa pun godaan itu. Daun maple berguguran di setiap kalan yang dilalui Lilac. Dia memilih untuk berjalan kaki daripada menaiki bus kota atau angkutan umum lainnya untuk membawanya pulang. Jarak dari taman kota dan rumahnya menang sangat jauh, jika dia benar-benar menempuhnya dengan berjalan kaki kemungkinan besar akan tiba besok pagi. Apalagi dia berjalan dengan lambat karena terus memikirkan nasib Mr. Jefry dan orang-orang lainnya seperti yang disebutkan Azazel. Namun, meskipun seperti itu, Lilac tetap ingin berjalan kaki. Dia tak ingin sampai ke rumah dengan cepat, masih ingin berada di luar sini. Dia yakin dapat menahan dingin, bajunya cukup tebal dan hangat. Dingin mungkin masih bisa dilawan Lilac dengan memeluk tubuhku buahnya sendiri sambil berjalan. Akan tetapi, dia tidak akan bisa melawan beberapa orang pria yang menatapnya dengan seringai lapar. lilac bahkan tidak melihat mereka, dia berjalan dengan menundukkan kepala. "Halo, Manis, kelihatannya kau kedinginan. Bolehkah kami menghangatkanmu?" Lilac mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan itu. Dia tak memedulikannya dan terus melangkah menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai lagi. Warga lebih memilih untuk berada di dalam rumah mereka, duduk di depan perapian sambil menikmati secangkir cokelat panas. "Gadis yang angkuh!" Salah seorang dari tiga pria berpenampilan berantakan itu memaki. "Kita lihat apakah dia masih mengabaikan kita setelah kita menidurinya." Tawa bergelak terdengar di belakang Lilac. Para pria berandalan itu mengikutinya. Lilac mempercepat langkah, dia baru menyadari bahaya yang mengancamnya. Ketiga pria itu juga mempercepat langkah mereka. Langkah mereka yang lebar membuat mereka sudah berada di depan Lilac dalam beberapa detik saja. Mereka mengelilinginya sambil menatap dengan tatapan melecehkan. Lilac ingin menangis, tetapi ditahannya kuat-kuat. Seharusnya dia tidak terlalu terbawa perasaan tadi. Seharusnya dia menaiki kendaraan umum saja, atau meminta Papa untuk menjemputnya. Tubuh Lilac menggigil, kali ini karena ketakutan. Dia tidak ingin bernasib buruk seperti gadis-gadis lainnya yang menjadi korban perkosaan preman jalanan. Namun, tak ada jalan untuk melarikan diri. Seandainya bisa lari pun, ketiga preman ini pasti dapat mengejarnya. Lilac memejamkan mata, kembali membukanya merasakan cekalan di lengannya. Dengan cepat dia menepisnya, menutup telinga saat mendengar tawa mereka yang menyeramkan. Dia baru menyadarinya, ternyata ada tawa yang lebih menyeramkan dari tawa Azazel. Eh, Azazel? Tiba-tiba saja Lilac mengingatnya. Apakah ketiga orang ini merupakan orang suruhan Azazel untuk menakut-nakutinya? Sepertinya tidak karena dia melihat jiwa mereka yang berwarna hitam. Setahunya, orang-orang suruhan Azazel tidak memiliki jiwa. Pria itu yang mengatakannya. Lilac memekik antara kaget saat seorang dari tiga pria itu memeluknya dari belakang. Bahkan dengan kurang ajarnya mengusap perutnya dari luar pakaiannya. Walaupun dari luar, tetap saja namanya itu pelecehan, dan dia tidak menerimanya. Lilac menjerit meminta tolong, tetapi tak ada siapa pun yang masih berkeliaran di jalanan yang dilewatinya. Sepertinya dia salah memilih jalan untuk pulang. Sekuat tenaga Lilac meronta, memukul tangan yang membelit perutnya membabi buta. Tak peduli jika pukulannya ada yang mengenai tubuhnya sendiri. Namun, dia tetap tidak berhasil. Bukannya menjauh, pria itu justru semakin menempel di punggungnya seperti seekor lintah, memeluknya semakin erat. Lilac menangis, meratapi nasibnya yang sangat buruk. Mungkin setelah ini mereka akan menemukannya di jalan ini tergeletak tanpa busana dan tanpa nyawa. "Jangan pernah berpikir yang tidak-tidak!" Sebuah suara terdengar di telinga Lilac. Suara tanpa wujud yang sangat familiar. Azazel. "Kau bisa meminta bantuanku, aku akan membantumu tanpa pamrih." Lilac menggeleng. Dia tidak akan meminta bantuan pada iblis. Mereka semua pembohong dan sangat suka memutar balikkan fakta. Sekali kau memercayai mereka, kau akan tersesat selamanya. "Aku tidak akan melakukannya padamu, Lily!" Suara Azazel terdengar meninggi. Lilac juga mendengar suara gertakan gigi. Apa Azazel sedang marah? "Dan, aku tidak akan membiarkan para penjahat kotor seperti mereka menyentuh pengantinku!" Lilac tidak merasakan apa-apa lah, tubuhnya seolah mati rasa. Pandangannya berkunang-kunang, entah apa sebabnya. Namun, penglihatannya tidak bermasalah. Dia melihat jaketnya dilemparkan ke sembarang arah, entah oleh siapa. Kemudian dia melihat tangannya diangkat tinggi-tinggi oleh pria yang berada di belakangnya. Lilac tahu apa yang akan dilakukan mereka, tetapi dia tidak melihat bajunya bernasib sama seperti jaketnya. Dia justru mendengar pekikan terkejut, tak hanya dari satu orang pria, tetapi tiga orang. Dirinya kembali. Lilac mendapatkan seluruh kesadarannya. Dia merasakan dingin yang menusuk, juga merasakan sakit dan nyeri di lengannya, perutnya juga mendadak mual. Beberapa detik kemudian dia merasa hangat. Seseorang memeluknya, dan orang itu adalah Azazel. "Kau tidak apa-apa?" tanya pria dingin. Lilac mengangguk lemah. Dia kembali merasa tidak bertenaga. "Orang-orang rendah seperti kalian berani sekali memiliki pikiran kotor terhadap pengantin Azazel. Kalian tahu apa hukuman untuk orang-orang seperti kalian?" Lilac mengangkat kepala, menatap Azazel dalam keremangan cahaya lampu di pinggir jalan. "b*****t! Kau pikir kami takut denganmu?" hardik salah seorang pria itu yang berambut pirang. Ia meludah ke tanah, mengejek. "Apa yang kau inginkan sekarang, Lily?" tanya Azazel berbisik. "Apa hukuman yang pantas untuk mereka?" Mata Lilac berkilat. Dia seperti kembali merasakan saat tubuhnya mendapatkan sentuhan kurang ajar dari ketiga pria itu. "Aku ingin mereka mati!" katanya tanpa sadar jika sudah mengucapkan keinginan yang berbahaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN